Rabu, 16 Januari 2013

SISTEM DAN DAMPAK “EKONOMI DENG XIAOPING” DI REPUBLIK RAKYAT CHINA (RRC) 1978-SEKARANG

Nama   : Taufik Hidayat
NIM    : 0906104

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       LATAR BELAKANG MASALAH
Pasca perang dunia II, dunia dibagi secara sepihak oleh dua kekuatan besar negara pemenang perang yakni Blok Barat (Inggris, Perancis, Australia, dan sebagainya) yang dipimpin oleh amerika serikat, dan Blok Timur (China, Korea Utara, Vietnam Utara, dan sebagainya) yang dipimpin oleh Uni Soviet. Seketika itu pula persaingan pengaruh dimulai yang lazim disebut perang dingin.
Januari 1949 Mao dengan ideologi komunisnya mengambil alih Beijing tanpa sebuah perlawanan. 1 Oktober pada tahun yang sama, secara formal Mao memproklamasikan Republik Kerakyatan China. Sedangkan jumlah anggota partai yang dipimpinnya, CCP (Chinese Communist Party) berjumlah 4,5 juta. Mao adalah ketua partai yang diagungkan sebagai pahlawan revolusi yang paling utama (Tim Narasi, 2006: 127).
CCP merupakan satu-satunya partai yang menguasai pemerintahan di China pada saat itu. Maka, pemerintahan atau kepemimpinan di China akan sama sesuai dan berkaitan dengan kebijakan untuk partai komunis China tersebut.
Selama kurang lebih 25 tahun, sistem komunis yang dijalankan Mao tidak memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi. Kebijaksanaan “loncatan besar ke depan” yang dicanangkan Mao untuk mengimbangi gebrakan Nikita Khruschev di Uni Soviet menuai bencana. Hasil panen gandum yang melimpah pada tahun 1958 terpaksa dibiarkan membusuk di ladang, karena kaum pria yang seharusnya bertugas memanennya dikerahkan bekerja di pabrik (Taniputera, 2009: 585).
Kegagalan lomptan besar ke depan menyebabkan pengunduran diri Mao sebagai ketua umum Republik Rakyat China pada tahun 1959, dan sebagai gantinya diangkat Liu Shaoqi. Tokoh-tokoh pemikir seperti Deng Xiaobing (Deng Xiaoping) diberi kesempatan untuk tampil ke depan. Mao mundur ke belakang layar  (Taniputera, 2009: 586).
Deng memang bukanlah presiden maupun ketua partai komunis China, tetapi Ia mempunyai posisi strategis untuk menentukan kebijakan-kebijakan negara, ditambah opini publik yang memberikan nilai negatif terhadap Mao. Deng dikembalikan pada jabatan  lamanya sebagai anggota Politibiro Standing Comitte, wakil pertama menteri pada dewan negara (state cuoncil), wakil komisi militer (military commission), serta pimpinan staf umum tentara pembebasan rakyat. Semuanya adalah posisi-posisi puncak dalam kemiliteran, partai, dan pemerintahan.
Berangkat dari uraian latar belakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai sistem dan dampak “ekonomi Deng Xiaoping” di Republik Rakyat China (RRC) yang dimulai pada tahun 1978 yang dampaknya sampai pada saat ini.

I.2.   Rumusan dan Pembatasan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis menentukan permasalahan utama yang menjadi bagian penting dalam makalah ini, yakni bagaimana sistem  dan dampak “ekonomi Deng Xiaoping” di Republik Rakyat China (RRC) 1978-sekarang?
Agar permasalahan dapat terarah dan memudahkan dalam pembahasan yang mengacu pada pokok permasalahan di atas, maka penulis merumuskan dan membatasi permasalahan tersebut dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan “ekonomi Deng Xiaoping?
2.      Bagaimana pelaksanaan dari sistem “ekonomi Deng Xiaoping” tersebut?
3.      Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari sistem ekonomi Deng Xiaoping?

I.3.  Tujuan Penulisan Makalah
1.      Mendeskripsikan mengenai ekonomi Deng Xiaoping
2.      Memberikan gambaran mengenai pelaksanaan sistem ekonomi Deng Xiaoping
3.      Mendeskripsikan mengenai dampak yang ditimbulkan dari sistem ekonomi Deng Xiaoping

I.4.  Manfaat Penulisan Makalah
             Uraian penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Baik masyarakat akademis, masyarakat jurnalistik, atau masyarakat umum. Dalam dunia ilmu maupun pengetahuan, makalah ini diharapkan akan menambah wawasan keilmuan dan bahan perbandingan bagi para pembaca dan peneliti. Khususnya pengetahuan mengenai sistem ekonomi di RRC pasca Mao Ze Dong, dan umumnya mengenai sejarah perekonomian di RRC. Bagi mereka yang tertarik perhatiannya terhadap ilmu atau pengetahuan sejarah, maka mudah-mudahan karya tulis ini akan menjadi tambahan sumber terhadap data-data sejarah yang sudah ada sebelumnya.

1.5  Sistematika Penulisan

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
I.2 Rumusan dan Batasan Masalah
I.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat penulisan
I.5 Sistemaika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
II.1  Pengertian “ekonomi Deng Xiaoping”
II.2  Pelaksanaan dari sistem “ekonomi Deng Xiaoping”
II.3  Dampak yang ditimbulkan dari sistem “ekonomi Deng Xiaoping”
BAB III PENUTUP
III.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA



BAB II
SISTEM DAN DAMPAK EKONOMI DENG XIAOPING DI REPUBLIK RAKYAT CHINA (RRC)

2.1. Ekonomi Deng Xiaoping
            Sejak berdirinya tanggal 1 oktober 1949, RRC dipimpin oleh Mao ze dong, pemimpin partai komunis China. Dengan demikian, sistem kenegaraannya diatur berdasarkan pada ideologi dan ajaran komunis. Baik politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan sebagainya. Setelah sekitar 25 tahun berjalan, sistem komunis tersebut banyak dihujat karena tidak mendatangkan kemakmuran rakyat, khususnya dari segi ekonomi.
            Pemerintahan di RRC yang pada masa Mao Ze Dong  adalah sistem komunis di segala bidang, serta politik dijadikan sebagai senjata utama kedigdayaan negara, pada masa setelahnya ekonomi dijadikan sebagai fokus utama dalam memajukan negara. Deng Xiaoping yang mempunyai posisi penting dalam pemerintahan, politik, dan partai telah melakukan “revolusi” ekonomi tersebut.
            Tahun 1976 Mao wafat dan terjadi pergolakan antara pendukung Mao dan “oposisinya”. Oposisinya mendapat tempat-tempat penting dalam jajaran pemerintahan. Deng Xiaoping menjadi inti pimpinan baru Tiongkok. Setelah merenungkan kembali secara mendalam keadaan perkembangan lamban Tiongkok akibat menjiplak model pembangunan Uni Soviet sebelum bubar, beliau menyadari bahwa apabila Tiongkok hendak mencapai perkembangan pesat, haruslah mengambil model perkembangan baru. Oleh karena itu beliau mengambil keputusan untuk mengadakan reformasi atas banyak praktek di masa lalu di dalam negeri dan ke luar dengan lebih inisiatif melaksanakan politik terbuka(China Radio International).
            Keterbukaan terhadap hubungan dengan luar negeri, khususnya dengan negara-negara maju di Eropa merupakan salah satu hal yang menurutnya harus dilakukan. Dengan mengisolasi diri, tidak mustahil RRC tidak dapat menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dari negara-negara maju. Relevansi terhadap sistem ekonomi komunis, sudah sedikit dibuktikan dengan “gagalnya” lompatan jauh ke depan dan revolusi kebudayaan yang dicetuskan Mao.
            Salah satu prestasi gemilang Deng Xiaoping dalam sejarah Tiongkok memang salah satunya adalah reformasi dan keterbukaan, yang dipimpinnya mulai akhir tahun 70-an abad lalu dan mendatangkan perubahan maha besar kepada Tiongkok. Oleh karena itu ia disebut sebagai arsitek kepala reformasi dan keterbukaan Tiongkok (China Radio International).
            Reformasi terhadap kebijakan dalam negeri Deng Xiaoping terutama termanifestasi dalam 2 aspek. Pertama, Ia menganggap harus mengakhiri keadaan Tiongkok selama puluhan tahun lalu yang terus menerus mengadakan gerakan politik, sehingga pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan dengan normal. Harus berupaya memelihara stabilitas negara, untuk menciptakan iklim sosial yang diperlukan demi pembangunan ekonomi. Beliau menekankan keharusan untuk dengan teguh tak tergoyahkan menjadikan pembangunan ekonomi sebagai inti pekerjaan partai berkuasa dan seluruh negara; Kedua, dengan setapak demi setapak mengubah cara pengelolaan negara terhadap pekerjaan ekonomi, yaitu dari semula yang sama sekali bersandar pada perencanaan dan pengontrolan pemerintah berubah menjadi mengakui peranan pengaturan penting pasar dalam operasi ekonomi. Sementara itu, Deng Xiaoping menekankan pula keharusan mendorong secara menyeluruh reformasi negara atas sistem-sistem Iptek, pendidikan, kebudayaan dan kesehatan di atas dasar perkembangan ekonomi (China Radio International).
            Konteks ini mungkin dapat dianalogikan dengan peralihan ekonomi Indonesia, dari ekonomi orde lama kepada orde baru. Dimana pada masa orde lama, politik, ideologi, dengan segala konsepnya sangat dikedepankan demi politik mercusuar presiden Soekarno. Sedangkan pada masa orde baru, presiden Soeharto mengedepankan ekonomi sebagai panglima. Hanya bedanya RRC tidak seluruhnya mematikan komunis sebagai ideologi negara, hanya dalam hal ini ekonomi “dibebaskan dari belenggu sistem komunis”.
            Secara sederhana ekonomi Deng Xiaoping dapat diartikan sebagai sistem ekonomi yang dijalankan oleh Deng Xiaoping selama Ia menempati posisi-posisi penting dalam pemerintahan republik rakyat China. Dari paparan data diatas, ekonomi Deng Xiaoping dapat disimpulkan sebagai sistem ekonomi yang didasarkan pada keterbukaan dan reformasi negara khususnya dalam bidang ekonomi yang berorientasi pada pasar. Atau dalam kesimpulan lain (China Radio International) yakni ekonomi yang bercirikan, “menganjurkan perkembangan ekonomi sistem hak milik lain dengan prasyarat tetap mempertahankan ekonomi hak milik umum sebagai induk: memadukan dengan efektif sosialisme dengan ekonomi pasar”.

2.2. Pelaksanaan dari Sistem “Ekonomi Deng Xiaoping” (Beserta Kajian Teorinya)
            Dalam studi teori modernisasi klasiknya, Lipset mengaitkan pembangunan ekonomi dengan demokrasi. Studi penelitiannya memang tidak ditujukan khusus untuk permasalahan peralihan sistem komunis era Mao kepada sistem ekonomi kapitalis pasca Mao di Republik Rakyat China (RRC), tetapi melihat keadaan di lapangan setidaknya dapat dijadikan relevansi antara keadaan ekonomi dengan demokrasi yang ada.
            Lipset menemukan kenyataan bahwa negara dengan pemerintahan demokratis selalu memiliki derajat pembangunan ekonomi yang lebih tinggi dibanding negara dengan pemerintahan diktator. Dengan kata lain, semakin demokratis suatu negara, semakin tinggi rata-rata kekayaannya, semakin tinggi derajat industrialisasi dan urbanisasinya, dan semakin tinggi derajat pendidikan rakyatnya (Suwarsono & So, 2006: 43).
            Secara logika, orang atau masyarakat yang tidak dikekang akan melakukan kreatifitas seluas-luasnya, dalam artian kreatifitas tersebut akan berbuah potensi yang dapat melakukan terobosan-terobosan positif yang nantinya akan memproduksi berbagai hal, baik yang bersifat gagasan maupun bersifat materi. Walaupun faktor kondisi masyarakat (budaya, dan sebagainya) tidak dapat dikesampingkan pula.
            Hal ini pula yang mungkin menginspirasi Deng Xiaoping untuk merevolusi sistem ekonomi dari sistem komunis menjadi kapitalis. Ia melihat bagaimana “pengekangan” rakyat dibawah sistem komunis, rakyat tidak bebas untuk “memperkaya diri”.  Pemerintahan menjadi pengatur sistem ekonomi yang terencana.
            Sejak wafat Mao, Tiongkok telah memulai suatu program mahabesar liberalisasi budaya dan ekonomi, seiring dengan hubungan yang makin akrab dengan Amerika Serikat, Eropa Barat Dan Jepang, benteng-benteng kapitalisme dunia. Dana-dana dari negeri kapitalis, dan dari perusahaan-perusahaan kapitalis di kalangan orang  Tionghoa perantauan, dicari dengan penuh gairah untuk ikut membantu program modernisasi negeri itu. Dogma politik yang kaku dan kultus individu pemimpin perseorangan telah dikesampingkan demi prestasi ekonomi yang lebih baik (Bonavia, 1990: 173).
            Hal ini dapat menggambarkan bahwa euforia dari masyarakat RRC mengenai dibukanya keran kebebasan ekonomi adalah sangat besar. Sistem ekonomi kapitalisme menjadi awal mula penuh harapan terhadap kemakmuran dan pemenuhan kebutuhan. Baik kebutuhan sendiri, maupun kebutuhan ekspor.
            Bonavia (1990) juga mengatakan bahwa di bawah Mao, kebanyakan perdagangan dan penjajaan kecil-kecilan dikecam sebagai “kapitalis” dan hanya diizinkan dalam ukuran kecil, di daerah pedesaan ataupun di kota-kota yang yang lebih terpencil di mana orang-orang asing jarang masuk untuk menyaksikannya. Kini hal itu telah menjadi sebuah sumber utama penghidupan bagi pemuda dan pemudi yang berbondong-bondong pulang dari pedesaan ke Peking dan kota-kota besar lainnya setelah sebelas tahun, dan daerah Qianmenwai telah berubah menjadi sebuah pasar jalanan yang hampir sebanding dengan Petticoat Lane di London atau pasar rombengan di Paris.    
            Sejak tahun 1978, RRC mencanangkan program “modernisasi empat” yang merupakan upaya para pemimpin RRC pasca Mao antara lain untuk mengatasi keterbatasan domestiknya, yakni modernisasi pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi serta militer. Pengembangan ekonomi menjadi prioritas utama, mengingat kelemahan ekonomi merupakan sumber fundamental dari kerentangan nasional (Rudy, 1997: 199).
            Begitu pula dengan pendapat Taniputera (2009) bahwasannya beberapa gebrakan yang dilakukan demi memajukan China adalah apa yang disebut empat modernisasi yang meliputi pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta pertahanan nasional. Empat modernisasi itu telah dijadikan sebagai konstitusi partai, sehingga akan tetap dijalankan kendati terjadi pergantian kepemimpinan.
            Mengingat kegagalan ketika revolusi kebudayaan yang dicanangkan Mao (pertanian gandum yang membusuk di ladang), nampaknya Deng sadar bahwa diantara keempat potensi ekonomi diatas, pertanian adalah yang paling potensial untuk pertama kali dikelola dalam programnya.  
            Program modernisasi empat merupakan komitmen pemerintah RRC dalam mengembangkan perekonomiannya.  Hal ini menuntut adanya upaya memperbaharui sistem ekonomi ataupun strategi pembangunan ekonomi dalam sektor pertanian maupun industri. Pada dasarnya pembaharuan ekonomi RRC berintikan pada reformasi sitem ekonomi dimaksudkan untuk meningkatkan efisien produksi dan alokasi sumber-sumber daya, sementara strategi pertumbuhan diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dari ekspor komoditi manufaktur (Dollar, Asian Survey, vol. xxix, no 12, 1989: dalam Rudy, 1997).
            Dalam menjalankan revolusi ekonominya, Deng mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dianggap sebagai aplikasi dari gagasannya, salah satunya adalah kebijaksanaan yang disebut sistem tanggung jawab (baogan daohu). Baogan daohu merupakan kebijakan yang diperuntukkan untuk petani yang diberikan tanggung jawab mengelola tanah negara, kemudian hasilnya akan dibagi untuk rakyat (petani) dan negara.
Menurut Taniputera (2009) bagian yang diperoleh petani dari baogan daohu tersebut menjadi hak milik dan boleh dijual di pasar bebas. Mereka diberi kebebasan dalam melakukan proses penanaman mulai dari awal hingga akhir. Dengan demikian, kendali ketat negara semasa pemerintahan Mao makin diperlonggar. Hal ini malah mendongkrak hasil pertanian. Kerja di ladang hanya membutuhkan waktu 60 hari setahun, dibandingkan dengan 250-300 hari semasa Mao. Waktu yang tidak dipergunakan untuk mengolah ladang itu dipergunakan bagi kegiatan lainnya yang mendatangkan profit. Karena itu, kemakmuran menjadi meningkat. Rumah bata, televisi, dan mebel baru mulai menghiasi tempat kediaman rakyat.
Dibawah ini adalah beberapa tabel indikator kemajuan pelaksanaan sistem ekonomi Deng Xiaoping.
Tabel peningkatan berbagai hasil produksi pertanian

1978
1980
1984
1987
Gandum
304, 77
320, 56
407, 31
402, 41
Kapas
2, 16
2, 07
6, 25
4, 19
Tumbuhan penghasil minyak
5, 21
7, 69
11, 91
15, 25
Tebu
21, 11
22, 80
39, 51
46, 85
(Beijing Review, 7-13 Maret 1988, dalam Taniputera, 2009: 598)
            Mengenai pembandingan kebijakan ekonomi komunis dengan kapitalis tersebut, Lebih lanjut Taniputera (2009) mengungkapkan bahwa sebelumnya, para pekerja sektor industri diberikan gaji yang sama terlepas dari jenis pekerjaan serta kinerja mereka (sebagaimana yang umum di negara-negara komunis). Akibatnya, tidak ada semangat untuk meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas produksi. Mirip dengan reformasi pada bidang pertanian, para pekerja diberi insentif untuk meningkatkan produksinya. Jika ternyata keuntungan perusahaan melebihi yang ditetapkan negara, kelebihan itu menjadi hak pekerja dan diebrikan dalam bentuk bonus, tunjangan, serta pembiayaan bagi inovasi di perusahaan itu.
            Dengan demikian, sistem penggajian atau pengupahan akan disesuaikan. Bagi pekerja keras, ulet, dan beretos tinggi, maka akan mendapatkan Insentif atau honor yang sesuai dengan apa yang dilakukannya. Begitu sebaliknya, bagi yang malas, tidak disiplin, beretos rendah, maka akan disesuakan pula honornya. Prinsip ini dirasa seseuai untuk membentuk karakter rakyat China yang dicanangkan kembali untuk menanamkan nilai-nilai filsafat Konfucius.
            Dalam sistem ekonomi kapitalis ini, kepala pabrik dapat memecat pegawainya yang tidak mematuhi peraturan perusahaan, menentukan gaji dan bonus untuk pegawai, dan bebas menentukan sendiri harga jual produknya. Sebelumnya pegawai dipekerjakan selama seumur hidup, dan harga barang hasil produksi ditetapkan oleh negara. Kebijakan ini cukup meningkatkan hasil industri di China.
Tabel peningkatan berbagai hasil industri

1978
1981
1984
1987
Batu bara
(dalam 100 juta ton)
6, 18
6, 22
7, 89
9,20
Minyak mentah
(dalam 1 juta ton)
104, 05
101, 22
114, 61
134
Gas alam
(dalam 100 juta m³)
137, 30
127, 40
124, 30
140, 15
Tenaga listrik
(dalam milyar kwh)
256, 6
309, 3
377
496
Baja gulungan
(dalam juta ton)
22, 08
26, 70
33, 72
43, 91
Baja (dalam juta ton)
31, 78
35, 60
43, 47
56, 02
Besi (dalam juta ton)
34, 79
34, 17
40, 01
54, 33
     (Beijing Review, 7-13 Maret 1988, dalam Taniputera, 2009: 599-600)

            Diatas adalah beberapa data indikator mengenai kemajuan “ekonomi Deng Xiaoping”. Kemajuan ekonomi yang progres ini tidak semata gagasan tokoh-tokoh di pemerinthan, tetapi juga atas dukungan, pengertian, dan kerja keras masyarakat yang menginginkan kemakmuran pula. Sehingga dapat terjadi komunikasi dua arah antara rakyat dan negara.
Studi Lipset tentang kaitan antara pembangunan ekonomi dan demokrasi dapat dikaitkan dalam kasus ini. Dimana dengan dicanangkannya sistem ekonomi kapitalis, yang memberikan ruang kepada rakyat untuk berusaha semaksimal mungkin dengan harapan mendapatkan hasil yang sepadan, berarti dibukanya keran demokrasi ekonomi. Dengan demokrasi pula ekonomi mereka tidak dibatasi oleh negara sehingga meningkat.

2.3. Dampak yang Ditimbulkan dari Sistem Ekonomi Deng Xiaoping
            Efek “positif” dari ekonomi Deng Xiaoping tentu saja tumbuh dan berkembangnya para penjaja, pedagang, pengusaha kecil, sampai pada pengusaha besar atau pelaku usaha lainnya. Memasuki abad 21 China merupakan negara yang sangat diperhitungkan, khususnya secara ekonomi oleh negara-negara maju. Saat ini Barang-barang kecil seperti mainan anak-anak, perkakas pertukangan atau alat-alat rumah tangga (berharga murah dengan kualitas baik), barang-barang elektronik, sampai  industri otomotif, banyak tersebar di beberapa negara di dunia. China juga turut meramaikan persaingan antariksa dan energi nuklir atau uranium.
            Deng Xiaobing mengatakan bahwa menjadi kaya adalah sesuatu yang mulia, ini merupakan pertanda bahwa republik rakyat China telah beralih pada kapitalisme. Angka-angka yang fantastis dapat pula kita saksikan dalam data-data statistik bisnis dan ekonomi negara tersebut. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Provinsi Guangdong saja sudah meningkat 40 kali lipat menjadi 1604 triliun yuan pada tahun 2004 dibandingkan 249, 7 triliun pada tahun 1980. China menjadi negara pengekspor dan pengimpor terbesar ketiga di duniasetelah Jerman dan Amerika Serikat. Kemajuan dalam ilmu pengetahuan ditandai dengan peluncuran kendaraan antariksa berawak Shenzou V pada oktober 2003. Ini menjadikan China sebagai negara ketiga yang menempatkan manusia di luar angkasa (Taniputera, 2009: 616-617)
            Dari segi persenjataan, sekitar 95 persen ekspor persenjataan China ditujukan ke negara-negara yang jaraknya hanya 150 mil dari perbatasan China atau ke Timur Tengah. Iran, Irak, dan Pakistan akhir-akhir ini menjadi pembeli utama dari Timur Tengah. Mereka membeli sejumlah besar tank, kapal selam, dan terutama peluru kendali (Calder, 1996: 163-164).
            Lebih lanjut Calder (1996) mengatakan bahwa diantara lebih dari 1 milyar dolar penjualan senjata China ke Iran sejak tahun 1989 di dalamnya termasuk penjualan peluru kendali anti kapal HY-2 Silkworm dan C-801. China juga telah mendirikan pabrik perakitan di iran untuk memproduksi peluru kendali balistik jarak menengah M-9 dan M-11.
            Jika dilihat secara surplus ekonomi, tentu industri persenjataan ini merupakan hal yang positif. China akan mendapatkan surplus berupa rial, atau keuntungan menjadi prioritas utama tujuan ekspor minyak Iran atau negara-negara Timur Tengah. Perdagangan dunia menjadi “hidup” bahkan menjadi hal yang sangat utama. Namun, perdagangan persenjataan ini tentu saja dapat menjadi salah satu faktor pemicu “perang dunia ketiga”. Saat ini diantara negara, baik negara maju maupun berkembang) saling mempunyai rasa curiga, dan saling melakukan pengintaian.
            Bukan tanpa alasan jika mengapa hubungan antara China dengan Iran terjalin cukup solid. Salah satu faktornya adalah karena “musuh bersama”, yakni Amerika Serikat (AS). Seolah tidak ingin mendapat saingan berat, AS melemparkan dalih bahaya nuklir terhadap Iran, China, maupun Korea Utara. Bukan tidak mungkin karena industri persenjataan ini, meletus perang dunia ketiga.
            Dalam segi perdagangan jika dibandingkan dengan Rusia atau Amerika Serikat, pada tahun 1990 perdagangan adalah 25, 4 persen gnp di China, bandingkan dengan 16 persen di Amerika Serikat dan hanya 5 persen di Rusia. Kapital internasional yang mengalir ke China juga jauh lebih besar daripada yang mengalir ke Rusia. Beijing mempunyai hard rock café jauh sebelum Moskow memilikinya (Calder, 1996: 144).
            Hal ini menandakan bahwa animo investor, baik asing maupun dalam negeri sangat tertarik dengan pertumbuhan perekonomian di China. Kemudian tentu saja Kestabilan politik menjadi pertimbangan para investor tersebut untuk menanamkan modalnya di China. Sesuai dengan studi Lipset, pembangunan ekonomi akan berkaitan dengan keadaan politik negeri (tingkat demokrasi). Dalam hal ini para investor telah memikirkan bahwa untuk menanamkan modalnya, hal penting yang harus diperhatikan adalah keadaan politik, atau kestabilan negara. Walaupun tidak jarang gejolak politik di China muncul akibat sistem kapitalis tersebut.
            Mengenai hal diatas Taniputera (2009) mengatakan bahwa semua faktor ini didorong oleh stabilnya pemerintahan serta tidak ruwetnya birokrasi sehingga menarik para investor asing. Penanganan terhadap korupsi juga dilakukan dengan serius.
Satu sisi perekonomian di China sangat berkembang pesat, baik perdagangan maupun industri. Namun memunculkan sebuah masalah, yakni kesenjangan. Tidak di China atau dimanapun, masalah klasik dari sistem kapitalisme adalah kesenjangan, termasuk di Indonesia. Dalam hal ini Taniputera (2009) mengatakan bahwa, kita perlu menyadari bahwa kemajuan ekonomi di China dibangun atas gaji buruh yang rendah. Upah ditekan serendah mungkin, sehingga buruh seperti dieksploitasi.
Dapat diterima oleh akal, produk China yang berkualitas cukup baik dan sudah tersebar di berbagai negara-negara di dunia, namun harganya sangat murah. Walaupun gaji atau upah yang dikatakan murah tersebut bisa pula merupakan sebuah interpretasi atau pandangan berbagai orang. Terlepas dari itu, inilah resiko negara yang menganut sistem kapitalis, positifnya demikian dan negatifnya juga demikian.    
           


BAB III
KESIMPULAN

                Suksesi kepemimpinan cenderung diikuti oleh suksesi kebijakan-kebijakannya. Kebijakan lama diakomodasi, dikombinasi, bahkan diganti dengan kebijakan baru. Namun menurut hemat penulis, selama itu bermanfaat untuk orang banyak, kebijakan itu tidak perlu diragukan. Hal ini yang mungkin dipahami oleh Deng Xiaoping, yang merevolusi ekonomi RRC pasca Mao turun, namun dalam politik, negara ini tetap mengakomodasi nilai-nilai sosialis/komunis.
            Deng Xiaoping yang disebut-sebut sebagai bapak revolusi ekonomi RRC memang banyak merubah kebijakan ekonomi dari yang semula menganut komunis menjadi kapitalis. Ia berpandangan kaya adalah sesuatu yang mulia, termasuk kaya materi. Masalah yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dikesampingkan seperti masalah pertentangan kelas, penguasaan alat-alat produksi oleh negara, dan lainna. Sendi-sendi ekonomi diprogramkan secara terencana dalam rencana empat modernisasinya (pertanian, industri, iptek, dan pertahanan nasional).
            Dengan pesatnya arus modernisasi dan globalisasi, Deng tidak ingin RRC tertinggal. Dengan komposisi penduduk yang banyak, kebijakan sistem ekonominya dirasa akan bermanfaat untuk memakmurkan rakyatnya. Walaupun juga menimbulkan ekses negatif berupa kesenjangan ekonomi. Deng berkaca pula pada Jepang yang terlebih dahulu menjadi negara industri, menyaingi negara-negara maju seperti Jerman, Inggris, atau Amerika Serikat. Hari ini, RRC menjadi raksasa ekonomi yang diperhitungkan dalam dunia internasional.





DAFTAR PUSTAKA

Bonavia, David (1990). Cina dan Masyarakatnya. Jakarta: Erlangga

Calder, Kent E. (1996). Asia’s Deadly Triangle: Segitiga Maut Asia. Jakarta: Prenhallindo

Rudy, Teuku May (1997). Sejarah Diplomasi dan Perkembangan Politik di Asia. Bandung: Bina Budhaya

Supardan, Dadang (2009). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara

Suwarsono & Alvin Y. So (2006). Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta Pustaka LP3ES

Taniputera, Ivan (2009). History of China. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media Group

Tim Narasi (2006). The Killers of Twentieth Century: Pembunuh-Pembunuh Massal Abad 20. Yoryakarta: Narasi


China Radio International. CRI (online)




ARTIKEL

Nama   : Taufik Hidayat
NIM    : 0906104
Tugas   : Artikel Makalah Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah    : Sosiologi Antropologi Pembangunan

Sekilas Mengenai “Ekonomi Deng Xiaoping”
Tahun 1949 Komunis Mao mengambil alih Beijing tanpa sebuah perlawanan di bulan Januari dan mnegendalikan seluruh negara di akhir tahun. Chiang dan ratusan tentaranya meloloskan diri ke pulau Taiwan dan memproklamirkan bahwa Taiwan merupakan ibukota sementara China (Tim Narasi, 2006).
Keterangan diatas menandakan bahwa Republik Rakyat Cina (RRC) dipimpin oleh seorang komunis yang mempunyai cita-cita memakmurkan RRC dengan sistem komunis pula. Banyak konsep-konsep yang digagas dan terimplementasikan terhadap rakyatnya. “Loncatan besar kedepan” dan “revolusi kebudayaan” adalah diantara beberapa gagasannya.
Loncatan besar kedepan dianggap gagal karena menjadikan hasil panen gandum pada tahun 1950an menurun drastis. Kaum pria yang seharusnya bekerja di ladang gandum, dikerahkan bekerja di pabrik. Hal ini diperparah dengan laporan-laporan palsu kader-kader partai terhadap pemimpinnya mengenai hasil panen gandum tersebut. Kegagalan lompatan besar kedepan memunculkan konsep Mao yang lain yakni revolusi kebudayaan. Dalam gagasan itu, Ia mencanangkan “gerakan pendidikan sosialis”, tetapi gagal pula karena tidak didukung oleh partai. Garda merah sebagai “pendukung terakhirnya” yang sering membuat kekacauan kota berhasil dilumpuhkan pada tahun 1967 (Taniputera, 2009).
Kurun tahun 1967 sampai 1976 RRC masih dipimpin oleh Mao, Ia mengakhiri jabatan pemimpin RRC ketika wafat pada tahun 1976, dengan demikian pada tahun-tahun tersebut, RRC mengalami Pergantian kekuasaan. Sistem ekonomi yang semasa Mao adalah sistem komunis dianggap gagal dalam memakmurkan rakyat RRC khususnya dari segi perekonomian. Pergantian kekuasaan menjadikan sistem ekonomi di negara tersebut mengalami perubahan menjadi sistem ekonomi kapitalis. Deng Xiaoping yang mempunyai posisi penting baik di pemerintahan, militer, maupun partai dianggap sebagai tokoh yang merubah sistem tersebut.
Reformasi terhadap kebijakan dalam negeri Deng Xiaoping terutama termanifestasi dalam 2 aspek. Pertama, Ia menganggap harus mengakhiri keadaan Tiongkok selama puluhan tahun lalu yang terus menerus mengadakan gerakan politik, sehingga pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan dengan normal. Harus berupaya memelihara stabilitas negara, untuk menciptakan iklim sosial yang diperlukan demi pembangunan ekonomi. Beliau menekankan keharusan untuk dengan teguh tak tergoyahkan menjadikan pembangunan ekonomi sebagai inti pekerjaan partai berkuasa dan seluruh negara; Kedua, dengan setapak demi setapak mengubah cara pengelolaan negara terhadap pekerjaan ekonomi, yaitu dari semula yang sama sekali bersandar pada perencanaan dan pengontrolan pemerintah berubah menjadi mengakui peranan pengaturan penting pasar dalam operasi ekonomi. Sementara itu, Deng Xiaoping menekankan pula keharusan mendorong secara menyeluruh reformasi negara atas sistem-sistem Iptek, pendidikan, kebudayaan dan kesehatan di atas dasar perkembangan ekonomi (China Radio International).
Konteks ini mungkin dapat dianalogikan dengan peralihan ekonomi Indonesia, dari ekonomi orde lama kepada orde baru. Dimana pada masa orde lama, politik, ideologi, dengan segala konsepnya sangat dikedepankan demi politik mercusuar presiden Soekarno. Sedangkan pada masa orde baru, presiden Soeharto mengedepankan ekonomi sebagai panglima. Hanya bedanya RRC tidak seluruhnya mematikan komunis sebagai ideologi negara, hanya dalam hal ini ekonomi “dibebaskan dari belenggu sistem komunis”.
Kasus ekonomi di RRC tersebut dapat dikaitkan dengan studi ekonomi yang dicetuskan Lipset, yang mana Ia mengaitkan pembangunan ekonomi dengan demokrasi. Artinya, keadaan politik akan mempengaruhi keadaan ekonomi, begitupun sebaliknya. Lipset menemukan kenyataan bahwa negara dengan pemerintahan demokratis selalu memiliki derajat pembangunan ekonomi yang lebih tinggi dibanding negara dengan pemerintahan diktator. Dengan kata lain, semakin demokratis suatu negara, semakin tinggi rata-rata kekayaannya, semakin tinggi derajat industrialisasi dan urbanisasinya, dan semakin tinggi derajat pendidikan rakyatnya (Suwarsono & So, 2006: 43).
 Secara logika, orang atau masyarakat yang tidak dikekang akan melakukan kreatifitas seluas-luasnya, dalam artian kreatifitas tersebut akan berbuah potensi yang dapat melakukan terobosan-terobosan positif yang nantinya akan memproduksi berbagai hal, baik yang bersifat gagasan maupun bersifat materi. Walaupun faktor kondisi masyarakat (budaya, dan sebagainya) tidak dapat dikesampingkan pula. Hal ini mungkin merupakan salah satu rujukan atau dasar gagasan Deng Xiaoping.
Beberapa gebrakan yang dilakukan demi memajukan RRC adalah apa yang disebut empat modernisasi yang meliputi pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta pertahanan nasional. Empat modernisasi itu telah dijadikan sebagai konstitusi partai, sehingga akan tetap dijalankan kendati terjadi pergantian kepemimpinan (Taniputera, 2009).
Konsep “ekonomi Deng Xiaoping” yang digagas pada akhir tahun 1970an menimbulkan efek yang luar biasa untuk masa kini. Dari data-data yang ada, Cina yang pada tahun 1970an merupakan negara berkembang, saat ini merupakan negara yang hampir dapat disejajarkan dengan Jepang, Jerman, atau Amerika Serikat, terutama dalam segi perekonomian dan teknologi persenjataan. Sebagaimana dikatakan Calder (1996) bahwa sekitar 95 persen ekspor persenjataan China ditujukan ke negara-negara yang jaraknya hanya 150 mil dari perbatasan China atau ke Timur Tengah. Iran, Irak, dan Pakistan akhir-akhir ini menjadi pembeli utama dari Timur Tengah. Mereka membeli sejumlah besar tank, kapal selam, dan terutama peluru kendali.
Dalam segi perdagangan jika dibandingkan dengan Rusia atau Amerika Serikat, pada tahun 1990 perdagangan adalah 25, 4 persen gnp di China, bandingkan dengan 16 persen di Amerika Serikat dan hanya 5 persen di Rusia. Kapital internasional yang mengalir ke China juga jauh lebih besar daripada yang mengalir ke Rusia. Beijing mempunyai hard rock café jauh sebelum Moskow memilikinya (Calder, 1996: 144).
Walaupun banyak kemajuan yang dicapai oleh negara tersebut pasca “reformasi Deng Xiaoping”, tentu menimbulkan masalah sebagai efek dari sistem kapitalis, yakni berupa permasalahan perburuhan. Lazimnya di negara kapitalis, perburuhan menjadi masalah klasik yang sampai saat ini sulit untuk dipecahkan dan sulit untuk mencari jalan keluar yang efektif.   


   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar