Nama : Taufik Hidayat
NIM : 0906104
NIM : 0906104
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Pasca perang dunia II, dunia dibagi secara sepihak oleh dua kekuatan
besar negara pemenang perang yakni Blok Barat (Inggris, Perancis, Australia,
dan sebagainya) yang dipimpin oleh amerika serikat, dan Blok Timur (China,
Korea Utara, Vietnam Utara, dan sebagainya) yang dipimpin oleh Uni Soviet.
Seketika itu pula persaingan pengaruh dimulai yang lazim disebut perang dingin.
Januari 1949 Mao dengan ideologi komunisnya mengambil alih Beijing tanpa
sebuah perlawanan. 1 Oktober pada tahun yang sama, secara formal Mao
memproklamasikan Republik Kerakyatan China. Sedangkan jumlah anggota partai
yang dipimpinnya, CCP (Chinese Communist Party) berjumlah 4,5 juta. Mao
adalah ketua partai yang diagungkan sebagai pahlawan revolusi yang paling utama
(Tim Narasi, 2006: 127).
CCP merupakan satu-satunya partai yang menguasai pemerintahan di China
pada saat itu. Maka, pemerintahan atau kepemimpinan di China akan sama sesuai dan
berkaitan dengan kebijakan untuk partai komunis China tersebut.
Selama kurang lebih 25 tahun, sistem komunis yang dijalankan Mao tidak
memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi.
Kebijaksanaan “loncatan besar ke depan” yang dicanangkan Mao untuk mengimbangi
gebrakan Nikita Khruschev di Uni Soviet menuai bencana. Hasil panen gandum yang
melimpah pada tahun 1958 terpaksa dibiarkan membusuk di ladang, karena kaum
pria yang seharusnya bertugas memanennya dikerahkan bekerja di pabrik (Taniputera,
2009: 585).
Kegagalan lomptan besar ke depan menyebabkan pengunduran diri Mao
sebagai ketua umum Republik Rakyat China pada tahun 1959, dan sebagai gantinya
diangkat Liu Shaoqi. Tokoh-tokoh pemikir seperti Deng Xiaobing (Deng Xiaoping)
diberi kesempatan untuk tampil ke depan. Mao mundur ke belakang layar (Taniputera, 2009: 586).
Deng memang bukanlah presiden maupun ketua partai komunis China, tetapi Ia
mempunyai posisi strategis untuk menentukan kebijakan-kebijakan negara,
ditambah opini publik yang memberikan nilai negatif terhadap Mao. Deng
dikembalikan pada jabatan lamanya
sebagai anggota Politibiro Standing
Comitte, wakil pertama menteri pada dewan negara (state cuoncil), wakil komisi militer (military commission), serta pimpinan staf umum tentara pembebasan
rakyat. Semuanya adalah posisi-posisi puncak dalam kemiliteran, partai, dan
pemerintahan.
Berangkat dari uraian latar belakang tersebut, penulis merasa tertarik
untuk mengkaji lebih dalam mengenai sistem dan dampak “ekonomi Deng Xiaoping”
di Republik Rakyat China (RRC) yang dimulai pada tahun 1978 yang dampaknya
sampai pada saat ini.
I.2. Rumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
di atas, maka penulis menentukan permasalahan utama yang menjadi bagian penting
dalam makalah ini, yakni bagaimana sistem dan dampak “ekonomi Deng Xiaoping” di Republik
Rakyat China (RRC) 1978-sekarang?
Agar
permasalahan dapat terarah dan memudahkan dalam pembahasan yang mengacu pada
pokok permasalahan di atas, maka penulis merumuskan dan membatasi permasalahan
tersebut dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1.
Apa yang
dimaksud dengan “ekonomi Deng Xiaoping?
2.
Bagaimana
pelaksanaan dari sistem “ekonomi Deng Xiaoping” tersebut?
3.
Bagaimana dampak
yang ditimbulkan dari sistem ekonomi Deng Xiaoping?
I.3. Tujuan Penulisan Makalah
1.
Mendeskripsikan mengenai
ekonomi Deng Xiaoping
2.
Memberikan gambaran mengenai
pelaksanaan sistem ekonomi Deng
Xiaoping
3.
Mendeskripsikan mengenai
dampak yang ditimbulkan dari sistem ekonomi Deng Xiaoping
I.4. Manfaat Penulisan Makalah
Uraian penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai
pihak. Baik masyarakat akademis, masyarakat jurnalistik, atau masyarakat umum.
Dalam dunia ilmu maupun pengetahuan, makalah ini diharapkan akan menambah
wawasan keilmuan dan bahan perbandingan bagi para pembaca dan peneliti. Khususnya
pengetahuan mengenai sistem ekonomi di RRC pasca Mao Ze Dong, dan umumnya
mengenai sejarah perekonomian di RRC. Bagi mereka yang tertarik perhatiannya
terhadap ilmu atau pengetahuan sejarah, maka mudah-mudahan karya tulis ini akan
menjadi tambahan sumber terhadap data-data sejarah yang sudah ada sebelumnya.
1.5 Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Masalah
I.2 Rumusan dan
Batasan Masalah
I.3
Tujuan Penulisan
1.4
Manfaat penulisan
I.5
Sistemaika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
II.1 Pengertian “ekonomi Deng
Xiaoping”
II.2 Pelaksanaan dari sistem
“ekonomi Deng Xiaoping”
II.3 Dampak yang ditimbulkan dari sistem “ekonomi Deng
Xiaoping”
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
BAB II
SISTEM DAN DAMPAK EKONOMI DENG XIAOPING DI REPUBLIK RAKYAT CHINA (RRC)
2.1. Ekonomi Deng Xiaoping
Sejak berdirinya tanggal 1 oktober 1949, RRC
dipimpin oleh Mao ze dong, pemimpin partai komunis China. Dengan demikian,
sistem kenegaraannya diatur berdasarkan pada ideologi dan ajaran komunis. Baik
politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan sebagainya. Setelah sekitar 25
tahun berjalan, sistem komunis tersebut banyak dihujat karena tidak
mendatangkan kemakmuran rakyat, khususnya dari segi ekonomi.
Pemerintahan di RRC yang
pada masa Mao Ze Dong adalah sistem
komunis di segala bidang, serta politik dijadikan sebagai senjata utama
kedigdayaan negara, pada masa setelahnya ekonomi dijadikan sebagai fokus utama
dalam memajukan negara. Deng Xiaoping yang mempunyai posisi penting dalam
pemerintahan, politik, dan partai telah melakukan “revolusi” ekonomi tersebut.
Tahun 1976 Mao wafat
dan terjadi pergolakan antara pendukung Mao dan “oposisinya”. Oposisinya
mendapat tempat-tempat penting dalam jajaran pemerintahan. Deng Xiaoping
menjadi inti pimpinan baru Tiongkok. Setelah merenungkan kembali secara
mendalam keadaan perkembangan lamban Tiongkok akibat menjiplak model
pembangunan Uni Soviet sebelum bubar, beliau menyadari bahwa apabila Tiongkok
hendak mencapai perkembangan pesat, haruslah mengambil model perkembangan baru.
Oleh karena itu beliau mengambil keputusan untuk mengadakan reformasi atas
banyak praktek di masa lalu di dalam negeri dan ke luar dengan lebih inisiatif
melaksanakan politik terbuka(China Radio International).
Keterbukaan terhadap
hubungan dengan luar negeri, khususnya dengan negara-negara maju di Eropa
merupakan salah satu hal yang menurutnya harus dilakukan. Dengan mengisolasi
diri, tidak mustahil RRC tidak dapat menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)
dari negara-negara maju. Relevansi terhadap sistem ekonomi komunis, sudah
sedikit dibuktikan dengan “gagalnya” lompatan jauh ke depan dan revolusi
kebudayaan yang dicetuskan Mao.
Salah satu prestasi
gemilang Deng Xiaoping dalam sejarah Tiongkok memang salah satunya adalah
reformasi dan keterbukaan, yang dipimpinnya mulai akhir tahun 70-an abad lalu
dan mendatangkan perubahan maha besar kepada Tiongkok. Oleh karena itu ia
disebut sebagai arsitek kepala reformasi dan keterbukaan Tiongkok (China Radio
International).
Reformasi terhadap kebijakan dalam
negeri Deng Xiaoping terutama termanifestasi dalam 2 aspek. Pertama, Ia
menganggap harus mengakhiri keadaan Tiongkok selama puluhan tahun lalu yang
terus menerus mengadakan gerakan politik, sehingga pembangunan ekonomi tidak
dapat berjalan dengan normal. Harus berupaya memelihara stabilitas negara,
untuk menciptakan iklim sosial yang diperlukan demi pembangunan ekonomi. Beliau
menekankan keharusan untuk dengan teguh tak tergoyahkan menjadikan pembangunan
ekonomi sebagai inti pekerjaan partai berkuasa dan seluruh negara; Kedua,
dengan setapak demi setapak mengubah cara pengelolaan negara terhadap pekerjaan
ekonomi, yaitu dari semula yang sama sekali bersandar pada perencanaan dan
pengontrolan pemerintah berubah menjadi mengakui peranan pengaturan penting
pasar dalam operasi ekonomi. Sementara itu, Deng Xiaoping menekankan pula keharusan
mendorong secara menyeluruh reformasi negara atas sistem-sistem Iptek,
pendidikan, kebudayaan dan kesehatan di atas dasar perkembangan ekonomi (China Radio
International).
Konteks ini mungkin dapat
dianalogikan dengan peralihan ekonomi Indonesia, dari ekonomi orde lama kepada
orde baru. Dimana pada masa orde lama, politik, ideologi, dengan segala
konsepnya sangat dikedepankan demi politik mercusuar presiden Soekarno.
Sedangkan pada masa orde baru, presiden Soeharto mengedepankan ekonomi sebagai
panglima. Hanya bedanya RRC tidak seluruhnya mematikan komunis sebagai ideologi
negara, hanya dalam hal ini ekonomi “dibebaskan dari belenggu sistem komunis”.
Secara sederhana ekonomi Deng
Xiaoping dapat diartikan sebagai sistem ekonomi yang dijalankan oleh Deng
Xiaoping selama Ia menempati posisi-posisi penting dalam pemerintahan republik
rakyat China. Dari paparan data diatas, ekonomi Deng Xiaoping dapat disimpulkan
sebagai sistem ekonomi yang didasarkan pada keterbukaan dan reformasi negara
khususnya dalam bidang ekonomi yang berorientasi pada pasar. Atau dalam
kesimpulan lain (China Radio International) yakni ekonomi yang bercirikan,
“menganjurkan perkembangan ekonomi sistem hak milik lain dengan prasyarat tetap
mempertahankan ekonomi hak milik umum sebagai induk: memadukan dengan efektif
sosialisme dengan ekonomi pasar”.
2.2. Pelaksanaan dari Sistem “Ekonomi Deng Xiaoping” (Beserta Kajian
Teorinya)
Dalam studi teori modernisasi
klasiknya, Lipset mengaitkan pembangunan ekonomi dengan demokrasi. Studi
penelitiannya memang tidak ditujukan khusus untuk permasalahan peralihan sistem
komunis era Mao kepada sistem ekonomi kapitalis pasca Mao di Republik Rakyat
China (RRC), tetapi melihat keadaan di lapangan setidaknya dapat dijadikan
relevansi antara keadaan ekonomi dengan demokrasi yang ada.
Lipset menemukan kenyataan bahwa
negara dengan pemerintahan demokratis selalu memiliki derajat pembangunan
ekonomi yang lebih tinggi dibanding negara dengan pemerintahan diktator. Dengan
kata lain, semakin demokratis suatu negara, semakin tinggi rata-rata
kekayaannya, semakin tinggi derajat industrialisasi dan urbanisasinya, dan
semakin tinggi derajat pendidikan rakyatnya (Suwarsono & So, 2006: 43).
Secara logika, orang atau masyarakat
yang tidak dikekang akan melakukan kreatifitas seluas-luasnya, dalam artian
kreatifitas tersebut akan berbuah potensi yang dapat melakukan
terobosan-terobosan positif yang nantinya akan memproduksi berbagai hal, baik
yang bersifat gagasan maupun bersifat materi. Walaupun faktor kondisi
masyarakat (budaya, dan sebagainya) tidak dapat dikesampingkan pula.
Hal ini pula yang mungkin menginspirasi
Deng Xiaoping untuk merevolusi sistem ekonomi dari sistem komunis menjadi
kapitalis. Ia melihat bagaimana “pengekangan” rakyat dibawah sistem komunis,
rakyat tidak bebas untuk “memperkaya diri”. Pemerintahan menjadi pengatur sistem ekonomi
yang terencana.
Sejak wafat Mao, Tiongkok telah
memulai suatu program mahabesar liberalisasi budaya dan ekonomi, seiring dengan
hubungan yang makin akrab dengan Amerika Serikat, Eropa Barat Dan Jepang,
benteng-benteng kapitalisme dunia. Dana-dana dari negeri kapitalis, dan dari
perusahaan-perusahaan kapitalis di kalangan orang Tionghoa perantauan, dicari dengan penuh
gairah untuk ikut membantu program modernisasi negeri itu. Dogma politik yang
kaku dan kultus individu pemimpin perseorangan telah dikesampingkan demi
prestasi ekonomi yang lebih baik (Bonavia, 1990: 173).
Hal ini dapat menggambarkan bahwa
euforia dari masyarakat RRC mengenai dibukanya keran kebebasan ekonomi adalah
sangat besar. Sistem ekonomi kapitalisme menjadi awal mula penuh harapan
terhadap kemakmuran dan pemenuhan kebutuhan. Baik kebutuhan sendiri, maupun
kebutuhan ekspor.
Bonavia (1990) juga mengatakan bahwa
di bawah Mao, kebanyakan perdagangan dan penjajaan kecil-kecilan dikecam
sebagai “kapitalis” dan hanya diizinkan dalam ukuran kecil, di daerah pedesaan
ataupun di kota-kota yang yang lebih terpencil di mana orang-orang asing jarang
masuk untuk menyaksikannya. Kini hal itu telah menjadi sebuah sumber utama
penghidupan bagi pemuda dan pemudi yang berbondong-bondong pulang dari pedesaan
ke Peking dan kota-kota besar lainnya setelah sebelas tahun, dan daerah Qianmenwai
telah berubah menjadi sebuah pasar jalanan yang hampir sebanding dengan Petticoat
Lane di London atau pasar rombengan di Paris.
Sejak tahun 1978, RRC mencanangkan
program “modernisasi empat” yang merupakan upaya para pemimpin RRC pasca Mao
antara lain untuk mengatasi keterbatasan domestiknya, yakni modernisasi
pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi serta militer. Pengembangan
ekonomi menjadi prioritas utama, mengingat kelemahan ekonomi merupakan sumber
fundamental dari kerentangan nasional (Rudy, 1997: 199).
Begitu pula dengan pendapat Taniputera
(2009) bahwasannya beberapa gebrakan yang dilakukan demi memajukan China adalah
apa yang disebut empat modernisasi yang meliputi pertanian, industri, ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek), serta pertahanan nasional. Empat modernisasi
itu telah dijadikan sebagai konstitusi partai, sehingga akan tetap dijalankan
kendati terjadi pergantian kepemimpinan.
Mengingat kegagalan ketika revolusi
kebudayaan yang dicanangkan Mao (pertanian gandum yang membusuk di ladang),
nampaknya Deng sadar bahwa diantara keempat potensi ekonomi diatas, pertanian
adalah yang paling potensial untuk pertama kali dikelola dalam programnya.
Program modernisasi empat merupakan
komitmen pemerintah RRC dalam mengembangkan perekonomiannya. Hal ini menuntut adanya upaya memperbaharui
sistem ekonomi ataupun strategi pembangunan ekonomi dalam sektor pertanian
maupun industri. Pada dasarnya pembaharuan ekonomi RRC berintikan pada reformasi
sitem ekonomi dimaksudkan untuk meningkatkan efisien produksi dan alokasi
sumber-sumber daya, sementara strategi pertumbuhan diarahkan untuk meningkatkan
pendapatan dari ekspor komoditi manufaktur (Dollar, Asian Survey, vol. xxix, no
12, 1989: dalam Rudy, 1997).
Dalam menjalankan revolusi
ekonominya, Deng mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dianggap sebagai
aplikasi dari gagasannya, salah satunya adalah kebijaksanaan yang disebut
sistem tanggung jawab (baogan daohu).
Baogan daohu merupakan kebijakan yang diperuntukkan untuk petani yang diberikan
tanggung jawab mengelola tanah negara, kemudian hasilnya akan dibagi untuk
rakyat (petani) dan negara.
Menurut Taniputera (2009) bagian yang diperoleh petani dari baogan daohu
tersebut menjadi hak milik dan boleh dijual di pasar bebas. Mereka diberi
kebebasan dalam melakukan proses penanaman mulai dari awal hingga akhir. Dengan
demikian, kendali ketat negara semasa pemerintahan Mao makin diperlonggar. Hal
ini malah mendongkrak hasil pertanian. Kerja di ladang hanya membutuhkan waktu
60 hari setahun, dibandingkan dengan 250-300 hari semasa Mao. Waktu yang tidak
dipergunakan untuk mengolah ladang itu dipergunakan bagi kegiatan lainnya yang
mendatangkan profit. Karena itu, kemakmuran menjadi meningkat. Rumah bata,
televisi, dan mebel baru mulai menghiasi tempat kediaman rakyat.
Dibawah ini adalah beberapa tabel indikator kemajuan pelaksanaan sistem
ekonomi Deng Xiaoping.
Tabel peningkatan berbagai hasil produksi pertanian
1978
|
1980
|
1984
|
1987
|
|
Gandum
|
304, 77
|
320, 56
|
407, 31
|
402, 41
|
Kapas
|
2, 16
|
2, 07
|
6, 25
|
4, 19
|
Tumbuhan
penghasil minyak
|
5, 21
|
7, 69
|
11, 91
|
15, 25
|
Tebu
|
21, 11
|
22, 80
|
39, 51
|
46, 85
|
(Beijing
Review, 7-13 Maret 1988, dalam Taniputera, 2009: 598)
Mengenai pembandingan kebijakan
ekonomi komunis dengan kapitalis tersebut, Lebih lanjut Taniputera (2009)
mengungkapkan bahwa sebelumnya, para pekerja sektor industri diberikan gaji
yang sama terlepas dari jenis pekerjaan serta kinerja mereka (sebagaimana yang
umum di negara-negara komunis). Akibatnya, tidak ada semangat untuk
meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas produksi. Mirip dengan reformasi
pada bidang pertanian, para pekerja diberi insentif untuk meningkatkan
produksinya. Jika ternyata keuntungan perusahaan melebihi yang ditetapkan
negara, kelebihan itu menjadi hak pekerja dan diebrikan dalam bentuk bonus,
tunjangan, serta pembiayaan bagi inovasi di perusahaan itu.
Dengan demikian, sistem penggajian
atau pengupahan akan disesuaikan. Bagi pekerja keras, ulet, dan beretos tinggi,
maka akan mendapatkan Insentif atau honor yang sesuai dengan apa yang
dilakukannya. Begitu sebaliknya, bagi yang malas, tidak disiplin, beretos
rendah, maka akan disesuakan pula honornya. Prinsip ini dirasa seseuai untuk
membentuk karakter rakyat China yang dicanangkan kembali untuk menanamkan
nilai-nilai filsafat Konfucius.
Dalam sistem ekonomi kapitalis ini,
kepala pabrik dapat memecat pegawainya yang tidak mematuhi peraturan
perusahaan, menentukan gaji dan bonus untuk pegawai, dan bebas menentukan
sendiri harga jual produknya. Sebelumnya pegawai dipekerjakan selama seumur
hidup, dan harga barang hasil produksi ditetapkan oleh negara. Kebijakan ini
cukup meningkatkan hasil industri di China.
Tabel
peningkatan berbagai hasil industri
1978
|
1981
|
1984
|
1987
|
|
Batu bara
(dalam 100
juta ton)
|
6, 18
|
6, 22
|
7, 89
|
9,20
|
Minyak
mentah
(dalam 1
juta ton)
|
104, 05
|
101, 22
|
114, 61
|
134
|
Gas alam
(dalam 100
juta m³)
|
137, 30
|
127, 40
|
124, 30
|
140, 15
|
Tenaga
listrik
(dalam
milyar kwh)
|
256, 6
|
309, 3
|
377
|
496
|
Baja
gulungan
(dalam juta
ton)
|
22, 08
|
26, 70
|
33, 72
|
43, 91
|
Baja (dalam
juta ton)
|
31, 78
|
35, 60
|
43, 47
|
56, 02
|
Besi (dalam
juta ton)
|
34, 79
|
34, 17
|
40, 01
|
54, 33
|
(Beijing
Review, 7-13 Maret 1988, dalam Taniputera, 2009: 599-600)
Diatas adalah beberapa data
indikator mengenai kemajuan “ekonomi Deng Xiaoping”. Kemajuan ekonomi yang
progres ini tidak semata gagasan tokoh-tokoh di pemerinthan, tetapi juga atas
dukungan, pengertian, dan kerja keras masyarakat yang menginginkan kemakmuran
pula. Sehingga dapat terjadi komunikasi dua arah antara rakyat dan negara.
Studi Lipset tentang kaitan antara pembangunan ekonomi dan demokrasi
dapat dikaitkan dalam kasus ini. Dimana dengan dicanangkannya sistem ekonomi
kapitalis, yang memberikan ruang kepada rakyat untuk berusaha semaksimal
mungkin dengan harapan mendapatkan hasil yang sepadan, berarti dibukanya keran
demokrasi ekonomi. Dengan demokrasi pula ekonomi mereka tidak dibatasi oleh
negara sehingga meningkat.
2.3. Dampak
yang Ditimbulkan dari Sistem Ekonomi Deng Xiaoping
Efek “positif” dari ekonomi Deng
Xiaoping tentu saja tumbuh dan berkembangnya para penjaja, pedagang, pengusaha
kecil, sampai pada pengusaha besar atau pelaku usaha lainnya. Memasuki abad 21 China
merupakan negara yang sangat diperhitungkan, khususnya secara ekonomi oleh
negara-negara maju. Saat ini Barang-barang kecil seperti mainan anak-anak,
perkakas pertukangan atau alat-alat rumah tangga (berharga murah dengan
kualitas baik), barang-barang elektronik, sampai industri otomotif, banyak tersebar di
beberapa negara di dunia. China juga turut meramaikan persaingan antariksa dan
energi nuklir atau uranium.
Deng Xiaobing mengatakan bahwa
menjadi kaya adalah sesuatu yang mulia, ini merupakan pertanda bahwa republik
rakyat China telah beralih pada kapitalisme. Angka-angka yang fantastis dapat
pula kita saksikan dalam data-data statistik bisnis dan ekonomi negara
tersebut. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Provinsi Guangdong saja sudah
meningkat 40 kali lipat menjadi 1604 triliun yuan pada tahun 2004 dibandingkan
249, 7 triliun pada tahun 1980. China menjadi negara pengekspor dan pengimpor
terbesar ketiga di duniasetelah Jerman dan Amerika Serikat. Kemajuan dalam ilmu
pengetahuan ditandai dengan peluncuran kendaraan antariksa berawak Shenzou V pada
oktober 2003. Ini menjadikan China sebagai negara ketiga yang menempatkan
manusia di luar angkasa (Taniputera, 2009: 616-617)
Dari
segi persenjataan, sekitar 95 persen ekspor persenjataan China ditujukan ke
negara-negara yang jaraknya hanya 150 mil dari perbatasan China atau ke Timur Tengah.
Iran, Irak, dan Pakistan akhir-akhir ini menjadi pembeli utama dari Timur
Tengah. Mereka membeli sejumlah besar tank, kapal selam, dan terutama peluru
kendali (Calder, 1996: 163-164).
Lebih lanjut Calder (1996)
mengatakan bahwa diantara lebih dari 1 milyar dolar penjualan senjata China ke Iran
sejak tahun 1989 di dalamnya termasuk penjualan peluru kendali anti kapal HY-2 Silkworm
dan C-801. China juga telah mendirikan pabrik perakitan di iran untuk
memproduksi peluru kendali balistik jarak
menengah M-9 dan M-11.
Jika dilihat secara surplus ekonomi,
tentu industri persenjataan ini merupakan hal yang positif. China akan
mendapatkan surplus berupa rial, atau keuntungan menjadi prioritas utama tujuan
ekspor minyak Iran atau negara-negara Timur Tengah. Perdagangan dunia menjadi
“hidup” bahkan menjadi hal yang sangat utama. Namun, perdagangan persenjataan
ini tentu saja dapat menjadi salah satu faktor pemicu “perang dunia ketiga”.
Saat ini diantara negara, baik negara maju maupun berkembang) saling mempunyai
rasa curiga, dan saling melakukan pengintaian.
Bukan tanpa alasan jika mengapa
hubungan antara China dengan Iran terjalin cukup solid. Salah satu faktornya
adalah karena “musuh bersama”, yakni Amerika Serikat (AS). Seolah tidak ingin
mendapat saingan berat, AS melemparkan dalih bahaya nuklir terhadap Iran, China,
maupun Korea Utara. Bukan tidak mungkin karena industri persenjataan ini,
meletus perang dunia ketiga.
Dalam segi perdagangan jika
dibandingkan dengan Rusia atau Amerika Serikat, pada tahun 1990 perdagangan
adalah 25, 4 persen gnp di China, bandingkan dengan 16 persen di Amerika
Serikat dan hanya 5 persen di Rusia. Kapital internasional yang mengalir ke China
juga jauh lebih besar daripada yang mengalir ke Rusia. Beijing mempunyai hard rock café jauh sebelum Moskow
memilikinya (Calder, 1996: 144).
Hal ini menandakan bahwa animo
investor, baik asing maupun dalam negeri sangat tertarik dengan pertumbuhan
perekonomian di China. Kemudian tentu saja Kestabilan politik menjadi
pertimbangan para investor tersebut untuk menanamkan modalnya di China. Sesuai
dengan studi Lipset, pembangunan ekonomi akan berkaitan dengan keadaan politik
negeri (tingkat demokrasi). Dalam hal ini para investor telah memikirkan bahwa
untuk menanamkan modalnya, hal penting yang harus diperhatikan adalah keadaan
politik, atau kestabilan negara. Walaupun tidak jarang gejolak politik di China
muncul akibat sistem kapitalis tersebut.
Mengenai hal diatas Taniputera (2009)
mengatakan bahwa semua faktor ini didorong oleh stabilnya pemerintahan serta
tidak ruwetnya birokrasi sehingga menarik para investor asing. Penanganan
terhadap korupsi juga dilakukan dengan serius.
Satu sisi perekonomian di China sangat berkembang pesat, baik
perdagangan maupun industri. Namun memunculkan sebuah masalah, yakni
kesenjangan. Tidak di China atau dimanapun, masalah klasik dari sistem
kapitalisme adalah kesenjangan, termasuk di Indonesia. Dalam hal ini Taniputera
(2009) mengatakan bahwa, kita perlu menyadari bahwa kemajuan ekonomi di China
dibangun atas gaji buruh yang rendah. Upah ditekan serendah mungkin, sehingga
buruh seperti dieksploitasi.
Dapat diterima oleh akal, produk China yang berkualitas cukup baik dan
sudah tersebar di berbagai negara-negara di dunia, namun harganya sangat murah.
Walaupun gaji atau upah yang dikatakan murah tersebut bisa pula merupakan
sebuah interpretasi atau pandangan berbagai orang. Terlepas dari itu, inilah
resiko negara yang menganut sistem kapitalis, positifnya demikian dan
negatifnya juga demikian.
BAB III
KESIMPULAN
Suksesi kepemimpinan cenderung diikuti oleh suksesi
kebijakan-kebijakannya. Kebijakan lama diakomodasi, dikombinasi, bahkan diganti
dengan kebijakan baru. Namun menurut hemat penulis, selama itu bermanfaat untuk
orang banyak, kebijakan itu tidak perlu diragukan. Hal ini yang mungkin dipahami
oleh Deng Xiaoping, yang merevolusi ekonomi RRC pasca Mao turun, namun dalam
politik, negara ini tetap mengakomodasi nilai-nilai sosialis/komunis.
Deng Xiaoping yang disebut-sebut
sebagai bapak revolusi ekonomi RRC memang banyak merubah kebijakan ekonomi dari
yang semula menganut komunis menjadi kapitalis. Ia berpandangan kaya adalah
sesuatu yang mulia, termasuk kaya materi. Masalah yang dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi dikesampingkan seperti masalah pertentangan kelas,
penguasaan alat-alat produksi oleh negara, dan lainna. Sendi-sendi ekonomi
diprogramkan secara terencana dalam rencana empat modernisasinya (pertanian,
industri, iptek, dan pertahanan nasional).
Dengan pesatnya arus modernisasi dan
globalisasi, Deng tidak ingin RRC tertinggal. Dengan komposisi penduduk yang banyak,
kebijakan sistem ekonominya dirasa akan bermanfaat untuk memakmurkan rakyatnya.
Walaupun juga menimbulkan ekses negatif berupa kesenjangan ekonomi. Deng
berkaca pula pada Jepang yang terlebih dahulu menjadi negara industri,
menyaingi negara-negara maju seperti Jerman, Inggris, atau Amerika Serikat.
Hari ini, RRC menjadi raksasa ekonomi yang diperhitungkan dalam dunia
internasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Bonavia, David (1990). Cina dan Masyarakatnya. Jakarta: Erlangga
Calder, Kent E. (1996). Asia’s Deadly Triangle: Segitiga Maut Asia. Jakarta: Prenhallindo
Rudy, Teuku May (1997). Sejarah Diplomasi dan Perkembangan Politik di Asia. Bandung: Bina
Budhaya
Supardan, Dadang (2009). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta:
Bumi Aksara
Suwarsono & Alvin Y. So (2006). Perubahan Sosial dan Pembangunan.
Jakarta Pustaka LP3ES
Taniputera, Ivan (2009). History of China. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media Group
Tim Narasi (2006). The Killers of Twentieth Century: Pembunuh-Pembunuh Massal Abad 20.
Yoryakarta: Narasi
China Radio
International. CRI (online)
ARTIKEL
Nama :
Taufik Hidayat
NIM :
0906104
Tugas :
Artikel Makalah Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah :
Sosiologi Antropologi Pembangunan
Sekilas
Mengenai “Ekonomi Deng Xiaoping”
Tahun 1949 Komunis Mao
mengambil alih Beijing tanpa sebuah perlawanan di bulan Januari dan
mnegendalikan seluruh negara di akhir tahun. Chiang dan ratusan tentaranya
meloloskan diri ke pulau Taiwan dan memproklamirkan bahwa Taiwan merupakan
ibukota sementara China (Tim Narasi, 2006).
Keterangan diatas
menandakan bahwa Republik Rakyat Cina (RRC) dipimpin oleh seorang komunis yang
mempunyai cita-cita memakmurkan RRC dengan sistem komunis pula. Banyak konsep-konsep
yang digagas dan terimplementasikan terhadap rakyatnya. “Loncatan besar kedepan”
dan “revolusi kebudayaan” adalah diantara beberapa gagasannya.
Loncatan besar kedepan
dianggap gagal karena menjadikan hasil panen gandum pada tahun 1950an menurun
drastis. Kaum pria yang seharusnya bekerja di ladang gandum, dikerahkan bekerja
di pabrik. Hal ini diperparah dengan laporan-laporan palsu kader-kader partai
terhadap pemimpinnya mengenai hasil panen gandum tersebut. Kegagalan lompatan
besar kedepan memunculkan konsep Mao yang lain yakni revolusi kebudayaan. Dalam
gagasan itu, Ia mencanangkan “gerakan pendidikan sosialis”, tetapi gagal pula
karena tidak didukung oleh partai. Garda merah sebagai “pendukung terakhirnya”
yang sering membuat kekacauan kota berhasil dilumpuhkan pada tahun 1967 (Taniputera,
2009).
Kurun tahun 1967 sampai
1976 RRC masih dipimpin oleh Mao, Ia mengakhiri jabatan pemimpin RRC ketika
wafat pada tahun 1976, dengan demikian pada tahun-tahun tersebut, RRC mengalami
Pergantian kekuasaan. Sistem ekonomi yang semasa Mao adalah sistem komunis
dianggap gagal dalam memakmurkan rakyat RRC khususnya dari segi perekonomian. Pergantian
kekuasaan menjadikan sistem ekonomi di negara tersebut mengalami perubahan
menjadi sistem ekonomi kapitalis. Deng Xiaoping yang mempunyai posisi penting
baik di pemerintahan, militer, maupun partai dianggap sebagai tokoh yang
merubah sistem tersebut.
Reformasi terhadap kebijakan dalam negeri Deng Xiaoping terutama
termanifestasi dalam 2 aspek. Pertama, Ia menganggap harus mengakhiri keadaan
Tiongkok selama puluhan tahun lalu yang terus menerus mengadakan gerakan
politik, sehingga pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan dengan normal. Harus
berupaya memelihara stabilitas negara, untuk menciptakan iklim sosial yang
diperlukan demi pembangunan ekonomi. Beliau menekankan keharusan untuk dengan
teguh tak tergoyahkan menjadikan pembangunan ekonomi sebagai inti pekerjaan
partai berkuasa dan seluruh negara; Kedua, dengan setapak demi setapak mengubah
cara pengelolaan negara terhadap pekerjaan ekonomi, yaitu dari semula yang sama
sekali bersandar pada perencanaan dan pengontrolan pemerintah berubah menjadi
mengakui peranan pengaturan penting pasar dalam operasi ekonomi. Sementara itu,
Deng Xiaoping menekankan pula keharusan mendorong secara menyeluruh reformasi
negara atas sistem-sistem Iptek, pendidikan, kebudayaan dan kesehatan di atas
dasar perkembangan ekonomi (China Radio International).
Konteks ini mungkin dapat dianalogikan dengan peralihan ekonomi
Indonesia, dari ekonomi orde lama kepada orde baru. Dimana pada masa orde lama,
politik, ideologi, dengan segala konsepnya sangat dikedepankan demi politik
mercusuar presiden Soekarno. Sedangkan pada masa orde baru, presiden Soeharto
mengedepankan ekonomi sebagai panglima. Hanya bedanya RRC tidak seluruhnya
mematikan komunis sebagai ideologi negara, hanya dalam hal ini ekonomi
“dibebaskan dari belenggu sistem komunis”.
Kasus ekonomi di RRC tersebut dapat dikaitkan dengan studi ekonomi yang
dicetuskan Lipset, yang mana Ia mengaitkan pembangunan ekonomi dengan
demokrasi. Artinya, keadaan politik akan mempengaruhi keadaan ekonomi,
begitupun sebaliknya. Lipset menemukan kenyataan bahwa negara dengan
pemerintahan demokratis selalu memiliki derajat pembangunan ekonomi yang lebih
tinggi dibanding negara dengan pemerintahan diktator. Dengan kata lain, semakin
demokratis suatu negara, semakin tinggi rata-rata kekayaannya, semakin tinggi
derajat industrialisasi dan urbanisasinya, dan semakin tinggi derajat
pendidikan rakyatnya (Suwarsono & So, 2006: 43).
Secara logika, orang atau
masyarakat yang tidak dikekang akan melakukan kreatifitas seluas-luasnya, dalam
artian kreatifitas tersebut akan berbuah potensi yang dapat melakukan
terobosan-terobosan positif yang nantinya akan memproduksi berbagai hal, baik
yang bersifat gagasan maupun bersifat materi. Walaupun faktor kondisi
masyarakat (budaya, dan sebagainya) tidak dapat dikesampingkan pula. Hal ini
mungkin merupakan salah satu rujukan atau dasar gagasan Deng Xiaoping.
Beberapa gebrakan yang dilakukan demi memajukan RRC adalah apa yang
disebut empat modernisasi yang meliputi pertanian, industri, ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek), serta pertahanan nasional. Empat modernisasi itu telah
dijadikan sebagai konstitusi partai, sehingga akan tetap dijalankan kendati
terjadi pergantian kepemimpinan (Taniputera, 2009).
Konsep “ekonomi Deng Xiaoping” yang digagas pada akhir tahun 1970an
menimbulkan efek yang luar biasa untuk masa kini. Dari data-data yang ada, Cina
yang pada tahun 1970an merupakan negara berkembang, saat ini merupakan negara
yang hampir dapat disejajarkan dengan Jepang, Jerman, atau Amerika Serikat,
terutama dalam segi perekonomian dan teknologi persenjataan. Sebagaimana
dikatakan Calder (1996) bahwa sekitar 95 persen ekspor persenjataan China
ditujukan ke negara-negara yang jaraknya hanya 150 mil dari perbatasan China
atau ke Timur Tengah. Iran, Irak, dan Pakistan akhir-akhir ini menjadi pembeli
utama dari Timur Tengah. Mereka membeli sejumlah besar tank, kapal selam, dan
terutama peluru kendali.
Dalam segi perdagangan jika dibandingkan dengan Rusia atau Amerika
Serikat, pada tahun 1990 perdagangan adalah 25, 4 persen gnp di China,
bandingkan dengan 16 persen di Amerika Serikat dan hanya 5 persen di Rusia.
Kapital internasional yang mengalir ke China juga jauh lebih besar daripada
yang mengalir ke Rusia. Beijing mempunyai hard
rock café jauh sebelum Moskow memilikinya (Calder, 1996: 144).
Walaupun banyak kemajuan yang dicapai oleh negara tersebut pasca
“reformasi Deng Xiaoping”, tentu menimbulkan masalah sebagai efek dari sistem
kapitalis, yakni berupa permasalahan perburuhan. Lazimnya di negara kapitalis,
perburuhan menjadi masalah klasik yang sampai saat ini sulit untuk dipecahkan dan
sulit untuk mencari jalan keluar yang efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar