Selasa, 22 Januari 2013

PEMBANGUNAN DI INDONESIA DAN MASALAH KEMISKINAN


 Aldion Ariatama Ginting
NIM : 1005473
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di Indonesia. Pertama, banyak rumah tangga yang berada disekitar garis kemiskinan nasional. Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia. Tiga cara untuk membantu mengangkat diri dari kemiskinan adalah melalui pertumbuhan ekonomi, layanan masyarakat dan pengeluaran pemerintah.
Konsep lingkaran kemiskinan (vicious circle of proverty) ini pertama kali dikenalkan oleh Ragnar Nurkse dalam bukunya yang berjudul Problems Of Capital Formation In Underdeveloped Countries (1953).
Lingkaran kemiskinan didefinisikan sebagai suatu rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain sehingga menimbulkan suatu kondisi di mana sebuah Negara akan tetap miskin dan akan mengalami banyak kesulitan untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Menurut Nurkse, kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh tidak adanya pembangunan masa lalu, tetapi kemiskinan juga dapat menjadi faktor penghamabat dalam pembangunan di masa mendatang. Sehubungan dengan hal itu, lahirlah suatu ungkapan nurkse yang sangat terkenal yaitu “a country is poor because it is poor”.
Pada hakikatnya konsep lingkaran kemiskinan menganggap bahwa : 1) ketidakmampuan untuk mengerahkan tabungan yang cukup, 2) kurangnya faktor pendorong untuk kegiatan penanaman modal, dan 3) tingkat pendidikan dan keahlian masyarakat yang relatif masih rendah , merupakan tiga faktor utama yang menghambat proses pembentukan modal dan pembangunan ekonomi di berbagai Negara yang sedang berkembang (Basri, 1995:21).

Koentjaraningrat (1985) dalam bukunya “Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan” menyebutkan beberapa sifat mentalitas orang Indonesia yang selalu menjadi titik kelemahan, yang bersumber pada kehidupan penuh keragu-raguan dan kehidupan tanpa pedoman dan orientasi yang tegas itu adalah :
1.         Sifat mentalitas yang meremehkan mutu.  Ketertarikan kepada kualitas mutu buatan negeri sendiri yang mulai hilang merupakan akibat otomatis dari munculnya kemiskinan di negara kita.
2.         Sifat mentalitas yang suka menerabas. Mental “instan” ini yang membuat banyak kalangan selalu menginginkan dan mengutamakan hasil daripada proses.
3.         Sifat tak percaya kepada diri sendiri. Sifat yang dibawa sejak jaman post-revolusi ini tentunya dapat teratasi, ataupun dapat diimbangi dengan budaya metalitas dari kalangan priyayi seandainya dilihat dalam konteks sosial budaya seandainya bisa bersatu
4.         Sifat tak berdisiplin murni. Pasca zaman revolusi, sifat ini semakin memburuk di kalangan msyarakat Indonesia. Banyak pegawai pegawai yang hanya takut dengan pengawasan dari atasan saja, sedangkan hasil pekerjaannya masih harus dipertanyakan.
5.         Sifat tak bertanggung jawab.  Sifat ini merupakan implementasi dari ketidak mampuan seseorang dalam suatu keadaan serba kurang. (Koentjaraningrat, 1985:45-52)
Melihat dari sisi historis perkembangan perekonomian Indonesia hingga masa kini, saya kira negara Indonesia ini terkena dampak kolonialisme dan imperialisme yang sangat parah, hal ini dibuktikan dari masa awal berdirinya Republik sampai hari ini, kita dapat menarik satu benang merah bahwa negara kita kerap kali akrab dan berkutat dengan teori dependensi klasik khususnya. Karena teori ini menyatakan bahwa keterbelakangan Negara Dunia ketiga yang jadi pusat perhatian karena Negara Berkembang tersebutlah yang mau tak mau menjadi “negara orbit” yang selalu bergantug kepada negara Maju sebagai “negara satelit”nya. 
Dari tiga periode pemerintahan yang sudah terlewati yaitu Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi menyimpan suatu kemiripan bahwa sikap mental dari masyarakat Indonesia cenderung selalu menginginkan yang “instan” dan melupakan tahapan kemandirian walaupun pada pendirian Republik pertama kali usaha tersebut sudah diupayakan, namun tetap saja kita tergerus dalam putaran roda zaman yang akhirnya menuntut kita untuk terlena dengan keadaan. Efeknya, kebijakan ekonomi Indonesia pun harus diubah. Namun dibandingkan efek positifnya, efek negatifnya malah cenderung sangat banyak dan seakan-akan bak “efek bola salju” bagi pemerintah Indonesia. Hal ini terlihat dari hutang luar negeri yang semakin membengkak, infrastruktur yang lambat berkembang, serta mentalitas bangsa yang seakan sulit dirubah sehingga muncul berbagai macam problematika baru, contohnya kemiskinan.
Oleh karena itu dalam kajian Sosiologi-Antropologi Pembangunan kita sebetulnya dapat membandingkan secara mendetail mengenai tahapan-tahapan pengambilan kebijakan terutama dalam pembangunan ekonomi di Indonesia ini. Adanya keterhubungan dalam periodisasi pembangunan di Indonesia erat hubungannya dengan teori dependensi klasik menunjukkan bahwa “semestinya” kita tidak harus menjadi negara-negara satelit yang selalu bergantung pada negara lain, melainkan dengan sumberdaya yang kita punya, asalkan tidak mendapat pressure dan “dikte” dari negara-negara maju saya pikir Indonesia bisa meningkatkan standar dan kualitas dalam pembangunan di luar dan dalam negeri serta bisa bersaing dengan negara-negara yang maju di Asia Tenggara, Asia, bahkan Dunia. Pertanyaan ini kembali lagi harus dilontarkan kepada para pemegang kebijakan-kebijakan yang sifatnya vital di negara kita, mau dibawa kemana masyarakat kita? Karena sudah jelas dibuktikan dengan sudut pandang teoritis dan realita, tinggal implementasinya saja yang hanya bisa kita tunggu. 
Kemiskinan yang seakan-akan sudah menjadi “budaya” pada masyarakat Indonesia adalah suatu fenomena yang sangat memprihatinkan. Hal ini kembali dipengaruhi oleh kebiasaan dan kecenderungan masyarakat dengan budaya meminta nya. Bias kita ambil contoh dengan beberapa program pemerintah yang saya rasa kurang efektif untuk memberantas kemiskinan seperti program BLT (Bantuan Langsung Tunai) bagi masyarakat miskin, itu membuat  pada kebanyakan masyarakat malas untuk berusaha dan bekerja, mereka malah terkesan menunggu-nunggu pemberian dana bantuan tersebut pada program selanjutnya. Namun selebihnya, kita harus memberikan apresiasi untuk berbagai macam upaya pemerintah yang sudah dilakukan untuk menanggulanginya.
Melihat perjalanan pembangunan Indonesia, arah tersebut  telah menciptakan berbagai pembaharuan-pembaharuan untuk terus menuju ke kesejahteraan rakyat. Catatan-catatan diatas ini tidak lain dimaksudkan agar setiap tindakan pembangunan secara langsung atau tidak langsung dilaksanakan demi meningkatkan kecerdasan dan kemakmuran rakyat banyak. Khususnya dalam meningkatkan perekonomian Indonesia yang lebih baik.
Sistem kebijakan pembangunan di Negara Indonesia sudah menunjukkan perbaikan ke arah yang lebih demokratis ada pasca Reformasi. Paling tidak ada masa reformasi ini, semua proses pembangunan baik pusat maupun daerah dituntut supaya harus melibatkan publik dalam proses perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya.
Artinya partisipasi aktif masyarakat sipil sangat diperlukan dalam proses pembangunan negara baik di tingkat pusat maupun daerah provinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung. Hal ini menuntut kesadaran dan semangat masyarakat sipil seutuhnya sebagai warga negara dan bangsa Indonesia yang turut bertanggung jawab dalam proses pembangunan. Dari Orde Lama hingga era Reformasi pembangunan Indonesia terus menciptakan suasana yang kondusif, damai, aman, dan sejahtera. Dari segi birokrasi perubahan periode ke periode selanjutnya semakin menonjol peran masyarakat dalam pembangunan republik ini. Hanya tinggal menunggu harmonisasi kerjasama antara pemerintah dengan masyarakatnya, maka mudah-mudahan problematika-problematika intern bangsa sedikit demi sedikit bias terkikis.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Faisal. (1995). Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI. Erlangga : Jakarta.
Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia : Jakarta  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar