Aldion
Ariatama Ginting
NIM : 1005473
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan. Ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di
Indonesia. Pertama, banyak rumah tangga yang berada disekitar garis kemiskinan
nasional. Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak
menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Ketiga, mengingat sangat luas
dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri
mendasar dari kemiskinan di Indonesia. Tiga cara untuk membantu mengangkat diri
dari kemiskinan adalah melalui pertumbuhan ekonomi, layanan masyarakat dan
pengeluaran pemerintah.
Konsep lingkaran kemiskinan (vicious circle of
proverty) ini pertama kali dikenalkan oleh Ragnar Nurkse dalam bukunya yang
berjudul Problems Of Capital Formation In Underdeveloped Countries (1953).
Lingkaran kemiskinan didefinisikan sebagai suatu
rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain sehingga menimbulkan
suatu kondisi di mana sebuah Negara akan tetap miskin dan akan mengalami banyak
kesulitan untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Menurut Nurkse,
kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh tidak adanya pembangunan masa lalu,
tetapi kemiskinan juga dapat menjadi faktor penghamabat dalam pembangunan di
masa mendatang. Sehubungan dengan hal itu, lahirlah suatu ungkapan nurkse yang
sangat terkenal yaitu “a country is poor because it is poor”.
Pada hakikatnya konsep lingkaran kemiskinan
menganggap bahwa : 1) ketidakmampuan untuk mengerahkan tabungan yang cukup, 2)
kurangnya faktor pendorong untuk kegiatan penanaman modal, dan 3) tingkat
pendidikan dan keahlian masyarakat yang relatif masih rendah , merupakan tiga
faktor utama yang menghambat proses pembentukan modal dan pembangunan ekonomi
di berbagai Negara yang sedang berkembang (Basri, 1995:21).
Koentjaraningrat (1985) dalam bukunya “Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan” menyebutkan beberapa sifat mentalitas orang
Indonesia yang selalu menjadi titik kelemahan, yang bersumber pada kehidupan
penuh keragu-raguan dan kehidupan tanpa pedoman dan orientasi yang tegas itu
adalah :
1. Sifat
mentalitas yang meremehkan mutu. Ketertarikan kepada kualitas mutu buatan
negeri sendiri yang mulai hilang merupakan akibat otomatis dari munculnya
kemiskinan di negara kita.
2. Sifat
mentalitas yang suka menerabas. Mental “instan” ini yang membuat banyak
kalangan selalu menginginkan dan mengutamakan hasil daripada proses.
3. Sifat
tak percaya kepada diri sendiri. Sifat yang dibawa sejak jaman post-revolusi
ini tentunya dapat teratasi, ataupun dapat diimbangi dengan budaya metalitas
dari kalangan priyayi seandainya dilihat dalam konteks sosial budaya seandainya
bisa bersatu
4. Sifat
tak berdisiplin murni. Pasca zaman revolusi, sifat ini semakin memburuk di
kalangan msyarakat Indonesia. Banyak pegawai pegawai yang hanya takut dengan
pengawasan dari atasan saja, sedangkan hasil pekerjaannya masih harus
dipertanyakan.
5. Sifat
tak bertanggung jawab. Sifat ini merupakan implementasi dari ketidak mampuan
seseorang dalam suatu keadaan serba kurang. (Koentjaraningrat, 1985:45-52)
Melihat dari sisi historis perkembangan
perekonomian Indonesia hingga masa kini, saya kira negara Indonesia ini terkena
dampak kolonialisme dan imperialisme yang sangat parah, hal ini dibuktikan dari
masa awal berdirinya Republik sampai hari ini, kita dapat menarik satu benang
merah bahwa negara kita kerap kali akrab dan berkutat dengan teori dependensi
klasik khususnya. Karena teori ini menyatakan bahwa keterbelakangan Negara
Dunia ketiga yang jadi pusat perhatian karena Negara Berkembang tersebutlah
yang mau tak mau menjadi “negara orbit” yang selalu bergantug kepada negara
Maju sebagai “negara satelit”nya.
Dari tiga periode pemerintahan yang sudah
terlewati yaitu Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi menyimpan suatu
kemiripan bahwa sikap mental dari masyarakat Indonesia cenderung selalu
menginginkan yang “instan” dan melupakan tahapan kemandirian walaupun pada
pendirian Republik pertama kali usaha tersebut sudah diupayakan, namun tetap
saja kita tergerus dalam putaran roda zaman yang akhirnya menuntut kita untuk
terlena dengan keadaan. Efeknya, kebijakan ekonomi Indonesia pun harus diubah.
Namun dibandingkan efek positifnya, efek negatifnya malah cenderung sangat
banyak dan seakan-akan bak “efek bola salju” bagi pemerintah Indonesia. Hal ini
terlihat dari hutang luar negeri yang semakin membengkak, infrastruktur yang
lambat berkembang, serta mentalitas bangsa yang seakan sulit dirubah sehingga
muncul berbagai macam problematika baru, contohnya kemiskinan.
Oleh karena itu dalam kajian
Sosiologi-Antropologi Pembangunan kita sebetulnya dapat membandingkan secara
mendetail mengenai tahapan-tahapan pengambilan kebijakan terutama dalam
pembangunan ekonomi di Indonesia ini. Adanya keterhubungan dalam periodisasi
pembangunan di Indonesia erat hubungannya dengan teori dependensi klasik
menunjukkan bahwa “semestinya” kita tidak harus menjadi negara-negara satelit
yang selalu bergantung pada negara lain, melainkan dengan sumberdaya yang kita
punya, asalkan tidak mendapat pressure dan “dikte” dari negara-negara maju saya
pikir Indonesia bisa meningkatkan standar dan kualitas dalam pembangunan di
luar dan dalam negeri serta bisa bersaing dengan negara-negara yang maju di
Asia Tenggara, Asia, bahkan Dunia. Pertanyaan ini kembali lagi harus
dilontarkan kepada para pemegang kebijakan-kebijakan yang sifatnya vital di
negara kita, mau dibawa kemana masyarakat kita? Karena sudah jelas dibuktikan
dengan sudut pandang teoritis dan realita, tinggal implementasinya saja yang
hanya bisa kita tunggu.
Kemiskinan yang seakan-akan sudah menjadi
“budaya” pada masyarakat Indonesia adalah suatu fenomena yang sangat
memprihatinkan. Hal ini kembali dipengaruhi oleh kebiasaan dan kecenderungan
masyarakat dengan budaya meminta nya. Bias kita ambil contoh dengan beberapa
program pemerintah yang saya rasa kurang efektif untuk memberantas kemiskinan
seperti program BLT (Bantuan Langsung Tunai) bagi masyarakat miskin, itu
membuat pada kebanyakan masyarakat malas untuk berusaha dan bekerja,
mereka malah terkesan menunggu-nunggu pemberian dana bantuan tersebut pada
program selanjutnya. Namun selebihnya, kita harus memberikan apresiasi untuk
berbagai macam upaya pemerintah yang sudah dilakukan untuk menanggulanginya.
Melihat perjalanan pembangunan Indonesia, arah
tersebut telah menciptakan berbagai pembaharuan-pembaharuan untuk terus
menuju ke kesejahteraan rakyat. Catatan-catatan diatas ini tidak lain
dimaksudkan agar setiap tindakan pembangunan secara langsung atau tidak
langsung dilaksanakan demi meningkatkan kecerdasan dan kemakmuran rakyat
banyak. Khususnya dalam meningkatkan perekonomian Indonesia yang lebih baik.
Sistem kebijakan pembangunan di Negara Indonesia
sudah menunjukkan perbaikan ke arah yang lebih demokratis ada pasca Reformasi.
Paling tidak ada masa reformasi ini, semua proses pembangunan baik pusat maupun
daerah dituntut supaya harus melibatkan publik dalam proses perencanaan,
pelaksanaan hingga pengawasannya.
Artinya partisipasi aktif masyarakat sipil sangat
diperlukan dalam proses pembangunan negara baik di tingkat pusat maupun daerah
provinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung. Hal ini menuntut kesadaran dan
semangat masyarakat sipil seutuhnya sebagai warga negara dan bangsa Indonesia
yang turut bertanggung jawab dalam proses pembangunan. Dari Orde Lama hingga
era Reformasi pembangunan Indonesia terus menciptakan suasana yang kondusif,
damai, aman, dan sejahtera. Dari segi birokrasi perubahan periode ke periode
selanjutnya semakin menonjol peran masyarakat dalam pembangunan republik ini.
Hanya tinggal menunggu harmonisasi kerjasama antara pemerintah dengan
masyarakatnya, maka mudah-mudahan problematika-problematika intern bangsa
sedikit demi sedikit bias terkikis.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Faisal. (1995). Perekonomian Indonesia
Menjelang Abad XXI. Erlangga : Jakarta.
Koentjaraningrat. (1985).
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia : Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar