Dicki Mahardika N. (0800956)
Noor Egie A. (0800961)
STAGNASI PEMBANGUNAN DI
PAPUA
Gambaran tentang Pembangunan di Papua
Secara etno-biologis, Penduduk Papua merupakan sebuah suku
bangsa yang memiliki pertalian etnis tersendiri yang berbeda dengan suku bangsa
lainnya di Indonesia. Orang-orang Papua berasal dari etnis Melanesia yang
banyak dijumpai disekitar Papua, Papua Nugini, dan daerah sekitar kepulauan
Pasifik. Papua yang terletak di ujung
Timur Indonesia, hidup terisolir dan jauh dari kontak dengan kemajuan atau
modernisasi. Kenyataan menujukkan bahwa situasi dan kondisi yang kurang
kondusif membuat masyarakat berada dalam taraf hidup yang cukup memprihatinkan,
seolah-olah mereka lah pemilik keterisolasian dan kemiskinan.
Pada saat ini sebagian besar orang Papua yang masih
berbusana sederhana sebagai simbol keterbelakangan menurut stigma masyarakat
yang merasa modern, dengan mengatakan
masyarakat Papua sebagai penduduk
primitif, manusia jaman batu, kaum peramu, penduduk terasing dan masih banyak lagi stigma yang diberikan. Ada
ciri-ciri khusus yang menandai kegagalan pembangunan di Papua diantaranya
adalah :
·
Papua merupakan
salah satu daerah yang terpencil jauh dari pusat pemerintahan RI, dengan laut
dan pantai, topografi yang kasar, memiliki iklim tropis basah yang puncak
pegunungannya selalu ditutupi salju abadi, diselimuti hutan dan hujan tropik
basah dan hujan berekologi alpenik.
·
Jumlah
penduduknya kurang banyak, yakni hanya 1 % dari penduduk Indonesia. Di tahun
1969 jumlah penduduk Papua sebanyak 800.000 dan di tahun 2007 jumlah penduduk
asli Papua sebanyak 1,6 juta jiwa. Artinya kurang lebih 40 tahun mengalami minimizing zero growth. Mereka bermukim
terpencar, hidup dalam sistem kesukuan dan terpencil di lereng-lereng gunung,
lembah-lembah serta celah-celah gunung yang sulit di jangkau bahkan jauh dari
pusat-pusat pelayanan pemerintah.
·
Kondisi sosial
ekonomi mereka sangat memprihatinkan yakni kondisi perumahan sangat darurat
hidup dalam honai/ owa, pola konsumsi
sangat tidak teratur, sebagian besar dari mereka nyaris tanpa busana, dengan hanya
mengenakan koteka, dan pola perekonomiannya subsistem.
·
Kondisi sosial
masyarakat pada umumnya masih sederhana, tingkat pendidikan relatif rendah,
tinggat kesehatan dan gizi rawan, dan tingkat penguasaan teknologi yang rendah.
·
Pengembangan
perekonomian rakyat di daerah ini umumnya belum maksimal, karena kurangnya
wawasan berpikir juga penyadaran pada masyarakat, termasuk dengan kurangnya
insfrastruktur perhubungan darat dan udara disamping letaknya sangat jauh dari
perkotaan, yaitu di daerah pedalaman yang terisolir dan terpencil. Seluruh
jaringan transportasi dilakukan melalui udara. Tersendatnya pembangunan jalan
trans Papua belum memberi dampak yang positif, terutama mobilisasi penduduk
baik urbanisasi maupun reurbanisasi, mobilitas barang dan jasa.
Masalah utama Kegagalan dalam Pembangunan di Papua
Jika kita melihat kembali akar permasalahan di Papua
maka secara substansial adalah masalah kemerdekaan, baik persoalan kemerdekaan
secara politis maupun juga merdeka dari 5 K (Kemiskinan, Kebodohan, Keterbelakangan,
Ketelanjangan dan Kemerosotan moral). penyebab utama kegagalan pembangunan di
Papua selama hampir setengah abad sejak berintegrasi dengan RI adalah sebagai
berikut.
·
Persoalan Kemerdekaan Politik (Trauma Historisme)
Konflik politik di Papua ini tidak begitu saja muncul,
yang tentu ada akar historisnya, dan akar historis tersebut tidak jarang
bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari
sejarah kolonialisme yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan RI. Integrasi
politik atas wilayah ini hingga kini masih belum mantap. Hal ini disebabkan
karena klaim Indonesia dan Belanda baik melalui jalur diplomasi maupun juga
konfrontasi dipenuhi dengan sikap kooperatif antar penguasa demi kepentingan
pembendungan ideologi komunisme internasional- yang tidak simpatik di lubuk
hati orang Papua, tidak pernah melibatkan rakyat Papua dalam proses integrasi
politik, dari setiap perundingan rakyat Papua bertindak sebagai objek, bukan
sebagai subjek dalam pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi pelanggaran
terhadap hak menetukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541
(XV)) tahun 1960, dimana pada waktu yang bersamaan di Papua Barat telah
menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan.
Disamping itu konsensus politik 1969 yang disebut PEPERA, termasuk pelaksanaan
dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila yang berbeda dengan
standar internasional (one man one vote)
sesuai New York Agreement.
Pemerintah pusat beralasan bahwa penyelenggaraan
musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan
peradabaan hidup yang primitif, hal ini menurut masyarakat Papua merupakan
pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution
No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk
manifestasinya harus diakhiri sehingga alasan dengan belum adanya kesiapan dari
kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan
bagi sebuah bangsa. Dari ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan itu, muncullah
ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Dan sejak saat itu pemerintah pusat di Jakarta mulai
memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam
kubangan hegemoni korporatisme negara dan rakyat Papua diliputi rasa ketakutan
totaliter. Karena itulah sepanjang berintegrasi dengan Indonesia, rakyat
berontak melalui berbagai aksi kerusuhan, pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan
yang semuanya ini objek/sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang
luar Papua) yang menurut mereka merupakan bagian integral dari sistem politik
bangsa Indonesia, orang sawo matang, orang bule. Hal ini merupakan ekspresi
rasa kekecewaan dan ungkapan kebencian dari trauma historisme daan sejarah
penderitaan bangsa Papua (the history of
sadness) terhadap pemerintah RI.
·
Persoalan Kemerdekaan Sosial Ekonomi (Disparitas
Ekonomi dan Sosial)
Terdapat anomali antara masyarakat Papua dengan sumber
daya alamnya yang tidak terhingga, masyarakat Papua merupakan masyarakat
termiskin di abad ini. Indonesia sudah mulai menentukan tolak ukur
kemiskinannya dengan kain kebaya dan batik, namun orang Papua (gunung) sedang
berada dalam ketelanjangan dan keterisolasian (The stone age period society in 21t century) masyarakat jaman batu
di abad ke dua puluh satu. Mengapa Papua harus diintegrasikan kalau Jakarta
tidak sunggung-sungguh membangun daerah ini?
Pemerintah Pusat hanya memfokuskan perhatian pada pembangunan
ekonomi dan sosial semata. Pembangunan sosial ekonomi dilaksanakan secara
politis sejak tahun 1963-1969 dimasa transisi ada nuansa pembangunan seperti
pendirian sekolah-sekolah, dari TK hingga perguruan Tinggi seperti Universitas
Cendrawasih, pembangunan sarana dan prasarana infrastuktur, pengembangan sumber
daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos
pemerintahan. Bahkan Gubernurnya diberikan kepada putra asli Papua yang tidak
pernah orang Papua merasakan pada jaman Belanda. Namun seluruh kebijakan sosial
ekonomi dikendalikan oleh militer dengan dalih keamanan dan pembangunan.
Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan
keputusan akhir, pembangunan dengan program Task
forces dengan bantuan dana Fundwi dan ADB namun dana tersebut dialokasikan
ke dana pertahanan dan keamanan, sehingga dana pembangunan sosial ekonomi
sesungguhnya diabaikan. Karena itu tidak mengherankan sampai pada tahun 1996
77% desa di Irian Jaya berada dibawah garis kemiskinan dan menjadi desa binaan
program IDT dan pada tahun 2005 hampir 85 persen penduduk Papua miskin.
Sebagian besar orang Papua adalah bertani dan sebagian
tanah pertanian telah dikavling-kan
oleh para penguasa, seperti pertanian seluas 8,65%, pemukiman penduduk 3,36%,
sarana sosial budaya sebesar 1,75 %, Transmigrasi seluas 0,55% sedangkan penggunaan
tanah untuk keperluan lainnya kurang dari 1%. Dengan demikian sebagian besar
tanah di Papua dimiliki oleh negara seluas 1.528.277 ha 993,36%) sehingga
rakyat mengalami kesulitan mencari tempat tinggal yang baik dengan pemukiman
yang basah karena itu dikhawatirkan masa depan generasi selanjutnya yang akan merana
diatas tanahnya sendiri. Disamping itu pembukaan industrialisasi dengan
mengandalkan pada penggunaan teknologi canggih yang tidak dapat dipenuhi oleh
masyarakat lokal, pengiriman tenaga terampil dari luar Papua dengan
mengesampingkan tenaga kerja lokal dibarengi pemberian kompensasi yang lebih
kecil dari standar minimumnya menjadi faktor pemicu kesenjangan terutama dengan
PT. Freeport Indonesia.
Implikasinya adalah pemerintah mengabaikan pembangunan
sosial ekonomi dengan pertimbangan masyarakat Papua yang berada pada kondisi
stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan jumlah populasi seperti tingkat
harapan hidup diperpendek, tingkat pertumbuhan diperlambat, angka kematian bertambah,
epidemi penyakit merajalela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian,
termasuk sistem sosial budayanya menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang
lalu.
Sikap Penduduk Lokal terhadap Tawaran Pembangunan
Salah satu konsekuensi logis kepemimpinan yang
akomodatif menyebabkan kurang perhatian terhadap masyarakat lokal pada beberapa
waktu dan saat ini lalu pemerintah dinilai gagal dan kurang menjawab tantangan
dan substansi masalah. Ada beberpa hal yang sifatnya kontradiktif di Papua saat
ini adalah :
·
Pembangunan
fisik dengan pendekatan proyek mungkin sesuai dengan pandangan pemerintah saja,
tetapi tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.
·
Rakyat dianggap
hanya penting untuk mendukung tujuan pembangunan sesuai keinginan pemimpin serta
dianggap telah menerima pembangunan yang telah dibangun.
·
Adanya gejala
bahwa masyarakat tidak diharapkan untuk pembangunan karena pembangunan telah
dipikirkan oleh pemimpin itu sendiri.
·
Adanya pemaksaan
kehendak pembangunan kepada rakyat agar diterima dan dilaksaanakan dengan dalil
ditumbuhkan dan ditingkatkan taraf hidup masyarakat tanpa menciptakan keadaan
untuk tumbuh dan berkembang sendiri.
·
Ada kecendrungan
penduduk lokal yang tenggelam diantara harapan semata tanpa realita. Karena
tidak terbiasa bertindak otonom terhadap situasi yang mereka alami.
·
Akibat
pendekatan pembangunan yang keliru maka kemampuan adaptasi mereka pasif dan
tanpa kritis, sikap open minded lebih
dominan dari pada sikap kritisisme dalam menghadapi modernisasi.
Solusi
Pembinaan sumber daya manusia di Papua bukanlah
persoalan bagaimana memberi pendidikan, meningkatkan keterampilan serta
membekali mereka dengan IPTEK, bahkan sekedar tahu membaca dan menulis serta
bebas dari penyakit dan kelaparan dan penciptaan suasana lingkungan hidup yang
kondusif baik dalam pengertian sosial, ekonomi dan politik. Tetapi apa yang
mereka harapkan adalah:
·
Menjadi
masyarakat yang mandiri, menjunjung tinggi martabat dan harga diri, maupun
menolong dirinya sendiri dan melihat jauh ke depan, dan menjadikan mereka
menjadi pelaku pembangunan.
·
Kenyataan yang menujukkan
bahwa stigmatisasi penduduk lokal oleh mereka yang dianggap telah maju,
menyebutnya orang koteka, orang hitam, orang asli, orang primitif dsb.
Kesalahan pemahaman ini dapat mengiring pikiran kita ke arah yang keliru dalam
memahami masyarakat tersebut. Oleh karena itu walaupun alam pikiran masyarakat
primitif ini memang lain dengan alam pikiran masyarakat modern. Namun akhirnya
dalam setiap manusia dan semua pola sosial baik modern atau primitif akan kita temukan garis-garis
yang sama dan susunan-susunan yang sama pula dalam dinamika sosial.