Jumat, 27 Januari 2012

STAGNASI PEMBANGUNAN DI PAPUA


Dicki Mahardika N. (0800956)
Noor Egie A. (0800961)

STAGNASI PEMBANGUNAN DI PAPUA

Gambaran tentang Pembangunan di Papua
Secara etno-biologis, Penduduk Papua merupakan sebuah suku bangsa yang memiliki pertalian etnis tersendiri yang berbeda dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Orang-orang Papua berasal dari etnis Melanesia yang banyak dijumpai disekitar Papua, Papua Nugini, dan daerah sekitar kepulauan Pasifik.  Papua yang terletak di ujung Timur Indonesia, hidup terisolir dan jauh dari kontak dengan kemajuan atau modernisasi. Kenyataan menujukkan bahwa situasi dan kondisi yang kurang kondusif membuat masyarakat berada dalam taraf hidup yang cukup memprihatinkan, seolah-olah mereka lah pemilik keterisolasian dan kemiskinan.
Pada saat ini sebagian besar orang Papua yang masih berbusana sederhana sebagai simbol keterbelakangan menurut stigma masyarakat yang merasa modern,  dengan mengatakan masyarakat Papua sebagai penduduk primitif, manusia jaman batu, kaum peramu, penduduk terasing dan masih banyak lagi stigma yang diberikan. Ada ciri-ciri khusus yang menandai kegagalan pembangunan di Papua diantaranya adalah :
·         Papua merupakan salah satu daerah yang terpencil jauh dari pusat pemerintahan RI, dengan laut dan pantai, topografi yang kasar, memiliki iklim tropis basah yang puncak pegunungannya selalu ditutupi salju abadi, diselimuti hutan dan hujan tropik basah dan hujan berekologi alpenik.
·         Jumlah penduduknya kurang banyak, yakni hanya 1 % dari penduduk Indonesia. Di tahun 1969 jumlah penduduk Papua sebanyak 800.000 dan di tahun 2007 jumlah penduduk asli Papua sebanyak 1,6 juta jiwa. Artinya kurang lebih 40 tahun mengalami minimizing zero growth. Mereka bermukim terpencar, hidup dalam sistem kesukuan dan terpencil di lereng-lereng gunung, lembah-lembah serta celah-celah gunung yang sulit di jangkau bahkan jauh dari pusat-pusat pelayanan pemerintah.
·         Kondisi sosial ekonomi mereka sangat memprihatinkan yakni kondisi perumahan sangat darurat hidup dalam honai/ owa, pola konsumsi sangat tidak teratur, sebagian besar dari mereka nyaris tanpa busana, dengan hanya mengenakan koteka, dan pola perekonomiannya subsistem.
·         Kondisi sosial masyarakat pada umumnya masih sederhana, tingkat pendidikan relatif rendah, tinggat kesehatan dan gizi rawan, dan tingkat penguasaan teknologi yang rendah.
·         Pengembangan perekonomian rakyat di daerah ini umumnya belum maksimal, karena kurangnya wawasan berpikir juga penyadaran pada masyarakat, termasuk dengan kurangnya insfrastruktur perhubungan darat dan udara disamping letaknya sangat jauh dari perkotaan, yaitu di daerah pedalaman yang terisolir dan terpencil. Seluruh jaringan transportasi dilakukan melalui udara. Tersendatnya pembangunan jalan trans Papua belum memberi dampak yang positif, terutama mobilisasi penduduk baik urbanisasi maupun reurbanisasi, mobilitas barang dan jasa.


Masalah utama Kegagalan dalam Pembangunan di Papua
Jika kita melihat kembali akar permasalahan di Papua maka secara substansial adalah masalah kemerdekaan, baik persoalan kemerdekaan secara politis maupun juga merdeka dari 5 K (Kemiskinan, Kebodohan, Keterbelakangan, Ketelanjangan dan Kemerosotan moral). penyebab utama kegagalan pembangunan di Papua selama hampir setengah abad sejak berintegrasi dengan RI adalah sebagai berikut.
·         Persoalan Kemerdekaan Politik (Trauma Historisme)
Konflik politik di Papua ini tidak begitu saja muncul, yang tentu ada akar historisnya, dan akar historis tersebut tidak jarang bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan RI. Integrasi politik atas wilayah ini hingga kini masih belum mantap. Hal ini disebabkan karena klaim Indonesia dan Belanda baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi dipenuhi dengan sikap kooperatif antar penguasa demi kepentingan pembendungan ideologi komunisme internasional- yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua, tidak pernah melibatkan rakyat Papua dalam proses integrasi politik, dari setiap perundingan rakyat Papua bertindak sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi pelanggaran terhadap hak menetukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541 (XV)) tahun 1960, dimana pada waktu yang bersamaan di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu konsensus politik 1969 yang disebut PEPERA, termasuk pelaksanaan dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila yang berbeda dengan standar internasional (one man one vote) sesuai New York Agreement.
Pemerintah pusat beralasan bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup yang primitif, hal ini menurut masyarakat Papua merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri sehingga alasan dengan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Dari ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan itu, muncullah ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Dan sejak saat itu pemerintah pusat di Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni korporatisme negara dan rakyat Papua diliputi rasa ketakutan totaliter. Karena itulah sepanjang berintegrasi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui berbagai aksi kerusuhan, pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan yang semuanya ini objek/sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua) yang menurut mereka merupakan bagian integral dari sistem politik bangsa Indonesia, orang sawo matang, orang bule. Hal ini merupakan ekspresi rasa kekecewaan dan ungkapan kebencian dari trauma historisme daan sejarah penderitaan bangsa Papua (the history of sadness) terhadap pemerintah RI.

·         Persoalan Kemerdekaan Sosial Ekonomi (Disparitas Ekonomi dan Sosial)
Terdapat anomali antara masyarakat Papua dengan sumber daya alamnya yang tidak terhingga, masyarakat Papua merupakan masyarakat termiskin di abad ini. Indonesia sudah mulai menentukan tolak ukur kemiskinannya dengan kain kebaya dan batik, namun orang Papua (gunung) sedang berada dalam ketelanjangan dan keterisolasian (The stone age period society in 21t century) masyarakat jaman batu di abad ke dua puluh satu. Mengapa Papua harus diintegrasikan kalau Jakarta tidak sunggung-sungguh membangun daerah ini?
Pemerintah Pusat hanya memfokuskan perhatian pada pembangunan ekonomi dan sosial semata. Pembangunan sosial ekonomi dilaksanakan secara politis sejak tahun 1963-1969 dimasa transisi ada nuansa pembangunan seperti pendirian sekolah-sekolah, dari TK hingga perguruan Tinggi seperti Universitas Cendrawasih, pembangunan sarana dan prasarana infrastuktur, pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos pemerintahan. Bahkan Gubernurnya diberikan kepada putra asli Papua yang tidak pernah orang Papua merasakan pada jaman Belanda. Namun seluruh kebijakan sosial ekonomi dikendalikan oleh militer dengan dalih keamanan dan pembangunan.

Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan keputusan akhir, pembangunan dengan program Task forces dengan bantuan dana Fundwi dan ADB namun dana tersebut dialokasikan ke dana pertahanan dan keamanan, sehingga dana pembangunan sosial ekonomi sesungguhnya diabaikan. Karena itu tidak mengherankan sampai pada tahun 1996 77% desa di Irian Jaya berada dibawah garis kemiskinan dan menjadi desa binaan program IDT dan pada tahun 2005 hampir 85 persen penduduk Papua miskin.

Sebagian besar orang Papua adalah bertani dan sebagian tanah pertanian telah dikavling-kan oleh para penguasa, seperti pertanian seluas 8,65%, pemukiman penduduk 3,36%, sarana sosial budaya sebesar 1,75 %, Transmigrasi seluas 0,55% sedangkan penggunaan tanah untuk keperluan lainnya kurang dari 1%. Dengan demikian sebagian besar tanah di Papua dimiliki oleh negara seluas 1.528.277 ha 993,36%) sehingga rakyat mengalami kesulitan mencari tempat tinggal yang baik dengan pemukiman yang basah karena itu dikhawatirkan masa depan generasi selanjutnya yang akan merana diatas tanahnya sendiri. Disamping itu pembukaan industrialisasi dengan mengandalkan pada penggunaan teknologi canggih yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat lokal, pengiriman tenaga terampil dari luar Papua dengan mengesampingkan tenaga kerja lokal dibarengi pemberian kompensasi yang lebih kecil dari standar minimumnya menjadi faktor pemicu kesenjangan terutama dengan PT. Freeport Indonesia.

Implikasinya adalah pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi dengan pertimbangan masyarakat Papua yang berada pada kondisi stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan jumlah populasi seperti tingkat harapan hidup diperpendek, tingkat pertumbuhan diperlambat, angka kematian bertambah, epidemi penyakit merajalela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, termasuk sistem sosial budayanya menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang lalu.

Sikap Penduduk Lokal terhadap Tawaran Pembangunan
Salah satu konsekuensi logis kepemimpinan yang akomodatif menyebabkan kurang perhatian terhadap masyarakat lokal pada beberapa waktu dan saat ini lalu pemerintah dinilai gagal dan kurang menjawab tantangan dan substansi masalah. Ada beberpa hal yang sifatnya kontradiktif di Papua saat ini adalah :
·         Pembangunan fisik dengan pendekatan proyek mungkin sesuai dengan pandangan pemerintah saja, tetapi tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.
·         Rakyat dianggap hanya penting untuk mendukung tujuan pembangunan sesuai keinginan pemimpin serta dianggap telah menerima pembangunan yang telah dibangun.
·         Adanya gejala bahwa masyarakat tidak diharapkan untuk pembangunan karena pembangunan telah dipikirkan oleh pemimpin itu sendiri.
·         Adanya pemaksaan kehendak pembangunan kepada rakyat agar diterima dan dilaksaanakan dengan dalil ditumbuhkan dan ditingkatkan taraf hidup masyarakat tanpa menciptakan keadaan untuk tumbuh dan berkembang sendiri.
·         Ada kecendrungan penduduk lokal yang tenggelam diantara harapan semata tanpa realita. Karena tidak terbiasa bertindak otonom terhadap situasi yang mereka alami.
·         Akibat pendekatan pembangunan yang keliru maka kemampuan adaptasi mereka pasif dan tanpa kritis, sikap open minded lebih dominan dari pada sikap kritisisme dalam menghadapi modernisasi.

Solusi
Pembinaan sumber daya manusia di Papua bukanlah persoalan bagaimana memberi pendidikan, meningkatkan keterampilan serta membekali mereka dengan IPTEK, bahkan sekedar tahu membaca dan menulis serta bebas dari penyakit dan kelaparan dan penciptaan suasana lingkungan hidup yang kondusif baik dalam pengertian sosial, ekonomi dan politik. Tetapi apa yang mereka harapkan adalah:
·         Menjadi masyarakat yang mandiri, menjunjung tinggi martabat dan harga diri, maupun menolong dirinya sendiri dan melihat jauh ke depan, dan menjadikan mereka menjadi pelaku pembangunan.
·         Kenyataan yang menujukkan bahwa stigmatisasi penduduk lokal oleh mereka yang dianggap telah maju, menyebutnya orang koteka, orang hitam, orang asli, orang primitif dsb. Kesalahan pemahaman ini dapat mengiring pikiran kita ke arah yang keliru dalam memahami masyarakat tersebut. Oleh karena itu walaupun alam pikiran masyarakat primitif ini memang lain dengan alam pikiran masyarakat modern. Namun akhirnya dalam setiap manusia dan semua pola sosial baik modern atau primitif akan kita temukan garis-garis yang sama dan susunan-susunan yang sama pula dalam dinamika sosial.

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus