Oleh
: Nurhidayatina 0905947
Thailand merupakan salah satu negara yang terdapat di
kawasan Asia tenggara. Dimana Negara – Negara yang ada di dalam kawasan Asia
tenggara merupakan Negara – Negara yang termasuk Negara – Negara ketiga yaitu
Negara yang termasuk kedalam Negara berkembang. Thailand sendiri berbatasan
langsung dengan negara Myanmar, Laos, dan Kamboja.
Sekitar
tahun 1985 ke 1995, Ekonomi
Thailand tumbuh rata-rata 9%. Ekonomi Thailand bergantung pada ekspor, dengan nilai ekspor sekitar 60% PDB. Tenaga kerja dan sumber daya yang lumayan banyak,
konsevatis fiskal, kebijakan investasi asing terbuka, dan pendorongan sektor
swasta merupakan dasar dari kesuksesan ekonomi Thailand.
Sebelum krisis ekonomi, perusahaan-perusahaan domestik Thailand berlomba-lomba mendapatkan pinjaman dari luar negeri terutama mata uang US Dollar. Bagi perusahaan-perusahaan tersebut, pinjaman dari luar negeri dirasa sangat menguntungkan. Pertama karena suku bunga US Dollar lebih rendah dari pinjaman baht, dan kedua mereka merasa tidak akan ada risiko selisih kurs (karena pemerintah Thailand mematok mata uang baht terhadap US Dollar). Akibat dari kondisi ini Thailand dibanjiri oleh hutang-hutang dalam US Dollar.
Sebelum krisis ekonomi, perusahaan-perusahaan domestik Thailand berlomba-lomba mendapatkan pinjaman dari luar negeri terutama mata uang US Dollar. Bagi perusahaan-perusahaan tersebut, pinjaman dari luar negeri dirasa sangat menguntungkan. Pertama karena suku bunga US Dollar lebih rendah dari pinjaman baht, dan kedua mereka merasa tidak akan ada risiko selisih kurs (karena pemerintah Thailand mematok mata uang baht terhadap US Dollar). Akibat dari kondisi ini Thailand dibanjiri oleh hutang-hutang dalam US Dollar.
Kondisi
ini bukanlah kondisi yang sehat, karena mudahnya perusahaan-perusahaan tersebut
memperoleh dana dari luar negeri tidak diimbangi dengan kemampuan menghasilkan
output yang cukup untuk membayar hutang-hutangnya. Dana-dana luar tersebut
banyak yang diinvestasikan pada sektor-sektor yang tingkat pengembaliannya jauh
dari yang diharapkan, seperti sektor properti. Pada titik tertentu, kondisi ini
tidak bisa dipertahankan lagi dan kepercayaan pada ekonomi Thailand mulai
runtuh. Akibatnya investor mulai menarik dana mereka dari Thailand dan
mengakibatkan US Dollar menjadi langka dan sangat mahal. Mahalnya US Dollar
menyebabkan pemerintah Thailand tidak kuat lagi mematok baht pada kurs tertentu
terhadap US Dollar.
Ekspor makanan jadi seperti tuna kaleng, nenas dan udang beku juga
sedang meningkat.
Ekonomi Thailand bergantung kepada eksport yang
merupakan 60% dari pada KDNK. Kadar pertukaran asing mencapai
37.00/AS$1 (KDNK: $7.3 trilion baht) pada 26 Oktober 2006, dengan KDNK
nominalnya di lingkungan AS$200 bilion pada
kadar pasaran. Ini mengekalkan Thailand sebagai ekonomi kedua terbesar di Asia Tenggara selepas Indonesia, suatu
kedudukan yang dipegangnya selama banyak tahun. Pemulihan Thailand
daripada Krisis
Keuangan Asia 1997-98 bergantung
kepada eksport, khususnya
permintaan luar Amerika
Serikat dan pasaran-pasaran asing yang lain.
Untuk memacu
pertumbuhan ekonomi, Thailand mengalokasikan pengeluaran yang lebih besar dari pada
penerimaannya. Kebijakan ekspansif sektor fiskal itu memungkinkan permintaan
domestik pada perekonomian Thailand meningkat, karena porsi belanja modal lebih
tinggi dari pada belanja untuk keperluan lain, dan belanja modal itu lebih
banyak dialokasikan untuk pembangunan prasarana yang menyerap lapangan kerja
banyak sehingga mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan
penduduk termasuk petani yang produknya mengalami peningkatan permintaan.
Thailand ialah salah satu ahli Pertumbuhan Perdagangan Dunia (WTO), Kumpulan Cairns (pertubuhan antarabangsa untuk
pengeksport pertanian), serta Pertumbuhan
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA).
Selain itu, Thailand giat mengejar perjanjian-perjanjian perdagangan bebas.
Perjanjian Perdagangan Bebas China-Thailand yang
bermula pada bulan Oktober 2003 terjadi kepada keluaran-keluaran pertanian,
dengan perjanjian yang lebih menyeluruh disetujui menjelang tahun 2010. Mulai dari
tahun 2003, Thailand juga
mengikat sebuah Perjanjian Perdagangan Bebas
dengan India,, dengan sebuah Perjanjian Perdagangan Bebas Australia-Thailand yang
menyeluruh dikuatkuasakan pada 1 Januari 2005.
Bank of Thailand (BoT)
kemudian membuat sejumlah kebijakan. Pada Desember 2006, BoT mengharuskan
perbankan memberlakukan ketentuan bahwa 30% dari deposito mata uang luar negeri
akan bebas bunga selama satu tahun. Kebijakan itu untuk mencegah investor
berspekulasi terhadap Baht. Para investor yang ingin menarik investasi dalam
waktu kurang dari satu tahun diharuskan membayar penalti sebesar 33% dari
jumlah yang diinvestasikan. Peraturan yang berlaku juga mengharuskan investasi
dilindungnilaikan terhadap perubahan mata uang selama 12 bulan dan aliran
investasi jangka pendek harus dihedge sepanjang umur investasi tersebut.
Kebijakan pemerintah
lain adalah investor asing harus mengurangi kepemilikan sahamnya menjadi
maksimal 50% (sebelumnya tidak dibatasi) di perusahaan domestik dalam tempo
paling lambat dua tahun. Saat ini terdapat 14.000 perusahaan asing yang telah
menanamkan modalnya di Thailand. Jika mereka harus mendivestasi sahamnya,
investor domestik belum tentu dapat menyerap saham yang akan dilepas.
Kemungkinan ini menyebabkan banyak kalangan meragukan stabilitas ekonomi
Thailand. Bisa jadi Thailand kembali memicu krisis finansial di Asia. Akibatnya,
kebijakan kapital kontrol yang diambil tidak hanya membuat Baht berhenti
menguat, tetapi juga membuat bursa saham di Thailand terkoreksi dengan tajam.
Reaksi para pemodal adalah menarik dananya sehingga Baht melemah, seperti yang
diharapkan pemerintah. Pelemahan itu diikuti merosotnya indeks SET yang
mengalami koreksi 15%, level terburuk selama 16 tahun terakhir. Efek domino
terasa di negara-negara Asia lain. Pengendalian modal itu telah memindahkan
dana dari pasar modal senilai 23 miliar USD ke luar negeri.
Keberhasilan perbaiakan ekonomi Thailand dalam mewujudkan
struktur ekonomi yang stabil dipengaruhi oleh dual track strategi yang dicanangkan pemerintah (leenabanchong
dan panyassavatsut,2001). Strategi pertama adalah mengembalikkan pertumbuhan
ekonomi untuk memulihkan kesejahteraan. Strategi kedua adalah menciptakan
stabilitas dan sustainbilitas pertumbuhan ekonomi. Menurut Nimmanahaeminda,
langkah – langkah Thailand dalam mewujudkan kedua tujuan diatas adalah sebagai
berikut :
1. stimulus fiscal berupa
peningkatan deficit anggaran untuk infrastruktur dari 1% menjadi 5%
2. pengurangan pajak dan pemotongan
tariff serta pemebentukkan jarring pengamana social
3. stabilisasi dengan pemupukan cadangan devisa serta
penguatan sector keuangan melalui prinsip prudential
4. reformasi structural.
Namun, dibalik kesuksesan bangkitnya ekonomi Thailand dari
keterpurukkan krisis ekonomi yang melanda Negara itu, Thailand merupakan suatu
Negara yang sering terjadi konflik internal yang sangat mencekam. Situasi
ini sangat dikhawatirkan pemerintah Thailand saat itu karena ditakutkan
investor – investor asing tersebut menarik semua investasinya dari Thailand
yang diakibatkan sering terjadinya konflik internal. Namun, pemerintah saat itu
telah salah persepsi dikarenakan walaupun konflik itu terjadi dimana – mana
dalam kawasan Thailand, investasi – invsetasi dari investor asing saat itu
sangat mengalir deras dan mampu membuat Thailand mampu bangkit lagi dari
keterpurukkan.
Bila dikaitkan konflik yang ada di Thailand tidak
mempengaruhi perkembangan perekonomian Thailand dari tahun 1997 samapai dengan
2007 dengan teori – teori pembangunan, dalam hal ini, teori yang
dipakai untuk menganalisis itu semua, awalnya penulis memakai teori
dependensi. Yang dimana thailand sangat bergantung dengan Jepang dalam
membangun perekonomiannya.
Teori dependensi perspektif atau teori ketergantungan. yang
mencoba menjelaskan fenomena pembangunan di Dunia Ketiga. Negara-negara Dunia
Ketiga, yang banyak sebagai negara bekas jajahan, ternyata, secara tidak sehat
,masih bergantung pada negara-negara maju bekas penjajahnya. Teori
ketergantungan merupakan hasil analisis terhadap teori modernisasi. Teori ketergantungan
lahir dari hasil kritikan terhadap teori pembangunan sebelumnya. Negara
berkembang terlalu lambat melaksanakan pembangunan, maka diperlukan intervensi
eksternal dengan penyediaan fasilitas penunjang dari negara maju. Kemudian
diperkenalkan teori baru bagi pembangunan, yaitu teori sistem dunia yang
merupakan reaksi atas teori dependensi. Teori ini digagas Wallerstein, yang
telah menjadi realitas sekarang bahwa sistem perekonomian dunia yang muncul
sebagai kekuatan yang menggerakkan negara-negara di seluruh dunia, tidak lain
adalah sistem kapitalisme global.
Dalam teori sistem dunia ada 3 strategi bagi terjadinya
peningkatan ekonomi negara-negara di dunia. Yakni, pertama, negara merebut kesempatan yang datang, terutama
dengan memanfaatkan peluang bidang ekonomi. Kedua, negara bekerjasasama dengan perusahaan-perusahaan
multinasional. Ketiga, kebijaksanaan
negara untuk memandirikan negara, terutama, dalam bidang ekonomi.
Pembahas: Meri Erlina 0901855
BalasHapusMenurut saya kajian yang disajikan oleh saudari Nurhidayatina diatas sudah cukup baik bahkan dari tema yang diambilpun sangat menarik, akan tetapi saya masih kurang memahami apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh penyaji. Hal ini dapat dilihat dari ketidaksinambungan antara judul dengan isi materi. Dimana isi pembahasan makalah ini lebih kepada kondisi perekonomian Thailand ketika terjadi krisis moneter di negara tersebut. Saya melihat penyaji lebih banyak membahas mengenai krisisnya saja dan ada ketidaksinambungan antara paragraf ke tiga dan ke empat, dimana paragraf ketiga membahas keterpururkan ekonomi dan paragraf ke empat tiba-tiba membahas peningkatan ekspor, menurut saya alangkah lebih baiknya menjelaskan yang menghubungkan antara kedua paragraf itu.
selain itu teori defendensi dan teori ketergantungan tidak dijelaskan secara rinci.
Maka dari itu saya sebagai pembahas akan sedikit menambahkan dari apa yang materi yang disajikan oleh penyaji.Menurut beberapa para ahli krisi yang terjadi di Thailad bukan hanya dikarenakan banyaknya investor asing dan penurunan ekspor saja tetapi ada faktor akibat dari real estat. Sebagai contoh, Roehner (1999: 76) percaya bahwa krisis keuangan tahun 1997 di Thailand sebagian dipicu oleh gelembung real.Dalam kasus pembangunan perekonomian Thailan yang dibahas oleh penyaji bila menggunakan pendekatan teori ketergantungan menurut Santos dimana lebih tepat ketergantungan finansial-industri, dikarenakan saat terjadinya krisis perekonomian di Thailand para pengusaha Thailand begitu tergantung kepada peminjaman Bank asing dan para pemilik modal asing, sehingga mereka tidak memikirkan dampak yang terjadi, saat itu uang Thailand turun deratis. Sedangkan bila dilihat dengan teori dependensi implikasi kebijaksanaan pembangunan dengan model dependensi di antaranya adalah negara pinggiran harus memutuskan hubungan dengan negara sentral. Seperti saran Baran dan Frank di atas, hal itu demi berkurang atau bahkan menghilangnya intervensi dan pengaruh asing di negara yang didominasi. Sedangkan dalam kenyataannya Thailand tidak memutuskan hubungan dengan negara senteral, dalam kebijakannya Thailand hanya mengurangi insvestor asing saja.
terimakasih atas kritikan dan sanggahan dari saudara. memang benar isi dari makalah ini tentang kondisi perekonomian thailand ketika terjadi krisis ekonomi namun saya sebagai penyaji telah menyampaikan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan pemerintahan Thailand untuk mengatasi perekonomian negaranya. secara tidak langsung itu merupakan pembangunan ekonomi yang dilakukan Thailand yang menurut saya isi dan judulnya berkesinambungan tidak seperti yang anda katakan.
Hapusuntuk yang paragraf ketiga yang membahas tentang keterpurukan ekonomi dan di paragraf empat membahas peningkatan ekspor, memang agak sedikit kurang nyambung namun menurut saya sudah agak baik karna setelah menjelaskan keterpurukan menjelaskan peningkatan ekspor, memang cara menghubungkannya masih kurang sempurna. terimakasih atas kritikan saudara, semoga saya bisa lebih baik kedepannya.