Senin, 09 Januari 2012

PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN THAILAND 1997-2007


Oleh : Nurhidayatina 0905947

Thailand merupakan salah satu negara yang terdapat di kawasan Asia tenggara. Dimana Negara – Negara yang ada di dalam kawasan Asia tenggara merupakan Negara – Negara yang termasuk Negara – Negara ketiga yaitu Negara yang termasuk kedalam Negara berkembang. Thailand sendiri berbatasan langsung dengan negara Myanmar, Laos, dan Kamboja.
Sekitar tahun 1985 ke 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Ekonomi Thailand bergantung pada ekspor, dengan nilai ekspor sekitar 60% PDB. Tenaga kerja dan sumber daya yang lumayan banyak, konsevatis fiskal, kebijakan investasi asing terbuka, dan pendorongan sektor swasta merupakan dasar dari kesuksesan ekonomi Thailand.
Sebelum krisis ekonomi, perusahaan-perusahaan domestik Thailand berlomba-lomba mendapatkan pinjaman dari luar negeri terutama mata uang US Dollar. Bagi perusahaan-perusahaan tersebut, pinjaman dari luar negeri dirasa sangat menguntungkan. Pertama karena suku bunga US Dollar lebih rendah dari pinjaman baht, dan kedua mereka merasa tidak akan ada risiko selisih kurs (karena pemerintah Thailand mematok mata uang baht terhadap US Dollar). Akibat dari kondisi ini Thailand dibanjiri oleh hutang-hutang dalam US Dollar.
Kondisi ini bukanlah kondisi yang sehat, karena mudahnya perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh dana dari luar negeri tidak diimbangi dengan kemampuan menghasilkan output yang cukup untuk membayar hutang-hutangnya. Dana-dana luar tersebut banyak yang diinvestasikan pada sektor-sektor yang tingkat pengembaliannya jauh dari yang diharapkan, seperti sektor properti. Pada titik tertentu, kondisi ini tidak bisa dipertahankan lagi dan kepercayaan pada ekonomi Thailand mulai runtuh. Akibatnya investor mulai menarik dana mereka dari Thailand dan mengakibatkan US Dollar menjadi langka dan sangat mahal. Mahalnya US Dollar menyebabkan pemerintah Thailand tidak kuat lagi mematok baht pada kurs tertentu terhadap US Dollar.
Ekspor makanan jadi seperti tuna kaleng, nenas dan udang beku juga sedang meningkat. Ekonomi Thailand bergantung kepada eksport yang merupakan 60% dari pada KDNKKadar pertukaran asing mencapai 37.00/AS$1 (KDNK: $7.3 trilion baht) pada 26 Oktober 2006, dengan KDNK nominalnya di lingkungan AS$200 bilion pada kadar pasaran. Ini mengekalkan Thailand sebagai ekonomi kedua terbesar di Asia Tenggara selepas Indonesia, suatu kedudukan yang dipegangnya selama banyak tahun. Pemulihan Thailand daripada Krisis Keuangan Asia 1997-98 bergantung kepada eksport, khususnya permintaan luar Amerika Serikat dan pasaran-pasaran asing yang lain. 
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi, Thailand mengalokasikan pengeluaran yang lebih besar dari pada penerimaannya. Kebijakan ekspansif sektor fiskal itu memungkinkan permintaan domestik pada perekonomian Thailand meningkat, karena porsi belanja modal lebih tinggi dari pada belanja untuk keperluan lain, dan belanja modal itu lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan prasarana yang menyerap lapangan kerja banyak sehingga mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan penduduk termasuk petani yang produknya mengalami peningkatan permintaan.
Thailand ialah salah satu ahli Pertumbuhan Perdagangan Dunia (WTO), Kumpulan Cairns (pertubuhan antarabangsa untuk pengeksport pertanian), serta Pertumbuhan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA). Selain itu, Thailand giat mengejar perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Perjanjian Perdagangan Bebas China-Thailand yang bermula pada bulan Oktober 2003 terjadi kepada keluaran-keluaran pertanian, dengan perjanjian yang lebih menyeluruh disetujui menjelang tahun 2010. Mulai dari tahun 2003, Thailand juga mengikat sebuah Perjanjian Perdagangan Bebas dengan India,, dengan sebuah Perjanjian Perdagangan Bebas Australia-Thailand yang menyeluruh dikuatkuasakan pada 1 Januari 2005.
Bank of Thailand (BoT) kemudian membuat sejumlah kebijakan. Pada Desember 2006, BoT mengharuskan perbankan memberlakukan ketentuan bahwa 30% dari deposito mata uang luar negeri akan bebas bunga selama satu tahun. Kebijakan itu untuk mencegah investor berspekulasi terhadap Baht. Para investor yang ingin menarik investasi dalam waktu kurang dari satu tahun diharuskan membayar penalti sebesar 33% dari jumlah yang diinvestasikan. Peraturan yang berlaku juga mengharuskan investasi dilindungnilaikan terhadap perubahan mata uang selama 12 bulan dan aliran investasi jangka pendek harus dihedge sepanjang umur investasi tersebut.
Kebijakan pemerintah lain adalah investor asing harus mengurangi kepemilikan sahamnya menjadi maksimal 50% (sebelumnya tidak dibatasi) di perusahaan domestik dalam tempo paling lambat dua tahun. Saat ini terdapat 14.000 perusahaan asing yang telah menanamkan modalnya di Thailand. Jika mereka harus mendivestasi sahamnya, investor domestik belum tentu dapat menyerap saham yang akan dilepas. Kemungkinan ini menyebabkan banyak kalangan meragukan stabilitas ekonomi Thailand. Bisa jadi Thailand kembali memicu krisis finansial di Asia. Akibatnya, kebijakan kapital kontrol yang diambil tidak hanya membuat Baht berhenti menguat, tetapi juga membuat bursa saham di Thailand terkoreksi dengan tajam. Reaksi para pemodal adalah menarik dananya sehingga Baht melemah, seperti yang diharapkan pemerintah. Pelemahan itu diikuti merosotnya indeks SET yang mengalami koreksi 15%, level terburuk selama 16 tahun terakhir. Efek domino terasa di negara-negara Asia lain. Pengendalian modal itu telah memindahkan dana dari pasar modal senilai 23 miliar USD ke luar negeri.
Keberhasilan perbaiakan ekonomi Thailand dalam mewujudkan struktur ekonomi yang stabil dipengaruhi oleh dual track strategi yang dicanangkan pemerintah (leenabanchong dan panyassavatsut,2001). Strategi pertama adalah mengembalikkan pertumbuhan ekonomi untuk memulihkan kesejahteraan. Strategi kedua adalah menciptakan stabilitas dan sustainbilitas pertumbuhan ekonomi. Menurut Nimmanahaeminda, langkah – langkah Thailand dalam mewujudkan kedua tujuan diatas adalah sebagai berikut  :
1. stimulus fiscal berupa peningkatan deficit anggaran untuk infrastruktur dari 1% menjadi 5%
2. pengurangan pajak dan pemotongan tariff serta pemebentukkan jarring pengamana social
3. stabilisasi dengan pemupukan cadangan devisa serta penguatan sector keuangan melalui prinsip prudential
4. reformasi structural.
Namun, dibalik kesuksesan bangkitnya ekonomi Thailand dari keterpurukkan krisis ekonomi yang melanda Negara itu, Thailand merupakan suatu Negara yang sering terjadi konflik internal yang sangat mencekam. Situasi ini  sangat dikhawatirkan pemerintah Thailand saat itu karena ditakutkan investor – investor asing tersebut menarik semua investasinya dari Thailand yang diakibatkan sering terjadinya konflik internal. Namun, pemerintah saat itu telah salah persepsi dikarenakan walaupun konflik itu terjadi dimana – mana dalam kawasan Thailand, investasi – invsetasi dari investor asing saat itu sangat mengalir deras dan  mampu membuat Thailand mampu bangkit lagi dari keterpurukkan.
Bila dikaitkan konflik yang ada di Thailand tidak mempengaruhi perkembangan perekonomian Thailand dari tahun 1997 samapai dengan 2007 dengan teori – teori pembangunan,  dalam hal ini, teori yang dipakai  untuk menganalisis itu semua, awalnya penulis memakai teori dependensi. Yang dimana thailand sangat bergantung dengan Jepang dalam membangun perekonomiannya.
Teori dependensi perspektif atau teori ketergantungan. yang mencoba menjelaskan fenomena pembangunan di Dunia Ketiga. Negara-negara Dunia Ketiga, yang banyak sebagai negara bekas jajahan, ternyata, secara tidak sehat ,masih bergantung pada negara-negara maju bekas penjajahnya. Teori ketergantungan merupakan hasil analisis terhadap teori modernisasi. Teori ketergantungan lahir dari hasil kritikan terhadap teori pembangunan sebelumnya. Negara berkembang terlalu lambat melaksanakan pembangunan, maka diperlukan intervensi eksternal dengan penyediaan fasilitas penunjang dari negara maju. Kemudian diperkenalkan teori baru bagi pembangunan, yaitu teori sistem dunia yang merupakan reaksi atas teori dependensi. Teori ini digagas Wallerstein, yang telah menjadi realitas sekarang bahwa sistem perekonomian dunia yang muncul sebagai kekuatan yang menggerakkan negara-negara di seluruh dunia, tidak lain adalah sistem kapitalisme global.
Dalam teori sistem dunia ada 3 strategi bagi terjadinya peningkatan ekonomi negara-negara di dunia. Yakni, pertama, negara merebut kesempatan yang datang, terutama dengan memanfaatkan peluang bidang ekonomi. Kedua, negara bekerjasasama dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Ketiga, kebijaksanaan negara untuk memandirikan negara, terutama, dalam bidang ekonomi.







2 komentar:

  1. Pembahas: Meri Erlina 0901855

    Menurut saya kajian yang disajikan oleh saudari Nurhidayatina diatas sudah cukup baik bahkan dari tema yang diambilpun sangat menarik, akan tetapi saya masih kurang memahami apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh penyaji. Hal ini dapat dilihat dari ketidaksinambungan antara judul dengan isi materi. Dimana isi pembahasan makalah ini lebih kepada kondisi perekonomian Thailand ketika terjadi krisis moneter di negara tersebut. Saya melihat penyaji lebih banyak membahas mengenai krisisnya saja dan ada ketidaksinambungan antara paragraf ke tiga dan ke empat, dimana paragraf ketiga membahas keterpururkan ekonomi dan paragraf ke empat tiba-tiba membahas peningkatan ekspor, menurut saya alangkah lebih baiknya menjelaskan yang menghubungkan antara kedua paragraf itu.
    selain itu teori defendensi dan teori ketergantungan tidak dijelaskan secara rinci.
    Maka dari itu saya sebagai pembahas akan sedikit menambahkan dari apa yang materi yang disajikan oleh penyaji.Menurut beberapa para ahli krisi yang terjadi di Thailad bukan hanya dikarenakan banyaknya investor asing dan penurunan ekspor saja tetapi ada faktor akibat dari real estat. Sebagai contoh, Roehner (1999: 76) percaya bahwa krisis keuangan tahun 1997 di Thailand sebagian dipicu oleh gelembung real.Dalam kasus pembangunan perekonomian Thailan yang dibahas oleh penyaji bila menggunakan pendekatan teori ketergantungan menurut Santos dimana lebih tepat ketergantungan finansial-industri, dikarenakan saat terjadinya krisis perekonomian di Thailand para pengusaha Thailand begitu tergantung kepada peminjaman Bank asing dan para pemilik modal asing, sehingga mereka tidak memikirkan dampak yang terjadi, saat itu uang Thailand turun deratis. Sedangkan bila dilihat dengan teori dependensi implikasi kebijaksanaan pembangunan dengan model dependensi di antaranya adalah negara pinggiran harus memutuskan hubungan dengan negara sentral. Seperti saran Baran dan Frank di atas, hal itu demi berkurang atau bahkan menghilangnya intervensi dan pengaruh asing di negara yang didominasi. Sedangkan dalam kenyataannya Thailand tidak memutuskan hubungan dengan negara senteral, dalam kebijakannya Thailand hanya mengurangi insvestor asing saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih atas kritikan dan sanggahan dari saudara. memang benar isi dari makalah ini tentang kondisi perekonomian thailand ketika terjadi krisis ekonomi namun saya sebagai penyaji telah menyampaikan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan pemerintahan Thailand untuk mengatasi perekonomian negaranya. secara tidak langsung itu merupakan pembangunan ekonomi yang dilakukan Thailand yang menurut saya isi dan judulnya berkesinambungan tidak seperti yang anda katakan.
      untuk yang paragraf ketiga yang membahas tentang keterpurukan ekonomi dan di paragraf empat membahas peningkatan ekspor, memang agak sedikit kurang nyambung namun menurut saya sudah agak baik karna setelah menjelaskan keterpurukan menjelaskan peningkatan ekspor, memang cara menghubungkannya masih kurang sempurna. terimakasih atas kritikan saudara, semoga saya bisa lebih baik kedepannya.

      Hapus