Kamis, 20 November 2014

TRANSFORMASI EKONOMI TIONGKOK PASCA MAO ZEDONG (1978-1984)



TRANSFORMASI EKONOMI TIONGKOK PASCA MAO ZEDONG
(1978-1984)

Oleh:
Dudung Abdul Fatah (1202814)
Ferdy Yudha Pratama (1200345)

Abstrak:
Tiongkok masa kini merupakan salah satu negara yang paling pesat kemajuannya terutama dalam bidang ekonomi. Banyak yang bertanya-tanya mengapa hal tersebut dapat terjadi, lebih-lebih Tiongkok merupakan salah satu dari beberapa negara yang masih menjalankan paham komunis dalam sistem pemerintahannya. Namun di tahun 1970-an Tiongkok melakukan perubahan besar yang tampak asing pada masanya, menggabungkan sistem pemerintahan kekuasaan negara yang sentral (komunis) dan sistem ekonomi pasar (kapitalis). Transformasi Tiongkok yang membawanya terbuka terhadap pergaulan global mengharuskan Tiongkok berhati-hati terhadap ancaman luar namun tetap menjadikan transformasinya kini menjadi sebuah peluang yang sangat menguntungkan.

Perseteruan menjelang Transformasi: Antara Golongan Radikal dan Golongan Pragmatis
Tentu kita mengenal Mao Zedong, ia adalah pendiri Republik Rakyat Tiongkok, yang kemudian membawa Tiongkok pada rezim baru dengan paham komunis. Namun tak disangka hal tersebut tidak selamanya berjalan mulus sesuai keinginan Sang Pendiri, bahkan rezim berakhir dengan begitu pahit. Kegagalan “Lompatan Besar ke Depan” menyebabkan pengunduran diri Mao sebagai ketua umum Republik Rakyat China pada tahun 1959, dan sebagai gantinya diangkat Liu Shaoqi (Taniputera, 2009: 586). Diawali oleh gagasan Liu Shaoqi pada tahun 1961 yang merupakan kaum moderat, “...untuk melunakkan penindasan pemerintah terhadap kehidupan sosial-ekonomi rakyat. Dengan program “Tiga Milik Pribadi dan Satu Garansi” (Taniputera, 2009: 587).
Setelah Mao wafat, Jiang Qing, istri Mao, berambisi untuk menjadi penggantinya selaku ketua Partai Komunias Tiongkok (Taniputera, 2009: 589). Jiang Qing lalu mendirikan sebuah kelompok pro-Mao, yang pada akhirnya sering disebut sebagai golongan radikal yang menjunjung tinggi konservatisme komunisme. Golongan radikal berusaha untuk mempertahankan politik berdiri sendiri, tidak perlu menggantungkan nasibnya kepada bangsa asing, kecuali pada bangsanya sendiri (Hidajat, 1993: 157). Namun golongan ini tidak sendirian berada di kancah suksesi kepemimpinan Tiongkok, keinginan-keinginan dari golongan radikal Qing merangsang sebuah penentangan dari golongan pragmatis. Hua Guofeng dan Deng Xiaobing termasuk ke dalam golongan pragmatis. Menurut Hidajat (1993), golongan pragmatis menilai bahwa prinsip ajaran mao sudah tidak cocok dalam menghadapi masa modern.
Dalam perkembangan selanjutnya golongan pragmatis mulai mendapat kedudukan terlihat pada 1976 berusaha merebut pimpinan dalam pemerintahan Cina (Hidajat, 1993: 158). Hua Kuo-feng kemudian mengadakan pembersihan terhadap golongan radikal (Hidajat, 1993: 159). Faktor penunjang keberhasilan mengenyahkan Kelompok Empat ini adalah dukungan partai dan tentara (Taniputera, 2009: 591). Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, China mengalami sebuah perubahan yang menyadarkan masyarakat China mengenai dunia dan masa depan. Stagnasi ekonomi dan perbaikan kondisi sosio-ekonomi masyarakat yang tak kunjung tercapai, mendorong Deng untuk segera melakukan reformasi ekonomi pada tahun 1978 (Akbar, 2011: 6).

Deng Xiaoping: ‘Sosialisme dengan Ciri China’
Berakhirnya pergerakan golongan radikal pimpinan Jiang Qing memberikan arti positif bagi China, sebuah perubahan yang sebenarnya bisa menjadi nyata mulai menampakkan dirinya. Perubahan tersebut yang nantinya akan merubah China di segala bidang termasuk bidang ekonomi. Seorang Deng Xiaoping seakan kembali ke dalam kancah pemerintahan China, setelah sempat dikesampingkan beserta Liu Shaoqi dan dikritik habis-habisan oleh kelompok pro-Mao. Liu dan pengikutnya dianggap memberontak terhadap ajaran Mao dan dituduh menempuh jalan kapitalisme (Hidajat, 1993: 161).
Dalam 1978, dalam Sesi Pleno Ketiga pertemuan Komite Pusat ke-11 Partai Komunis China. Sebuah terobosan ide – yang sesungguhnya telah lama dibangun sejak awal 1960-an – berhasil memenangkan ‘pertempuran’ melawan kekuatan konservatif untuk menjadi arah komando baru pembangunan ekonomi negeri yang berniat ‘bangun dari mimpi buruk Revolusi Kebudayaan (1966-1976) (Akbar, 2011: ix).

Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, China mengalami sebuah perubahan yang menyadarkan masyarakat China mengenai dunia dan masa depan. Stagnasi ekonomi dan perbaikan kondisi sosio-ekonomi masyarakat yang tak kunjung tercapai, mendorong Deng untuk segera melakukan reformasi ekonomi pada tahun 1978 (Akbar, 2011: 6).
China dengan julukan negeri tirai bambu pada saat itu benar-benar telah memulai untuk membuka tirainya dan menatap ragam macam dunia luar dengan harapan masa depan yang lebih baik. ‘Sosialisme dengan ciri China’, yaitu semacam kolaborasi antara peran sentral negara dan ‘tangan yang tidak tampak’, berhasil menjadikan China sebagai salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dewasa ini (Akbar, 2011: ix). Inilah yang sebenarnya belum diketahui betul oleh banyak orang, kebijakan ini memang begitu asing bagi sebagian kalangan, yaitu dengan mengkolaborasikan dua paham yang memiliki sejarah perseteruan yang rumit. Slogan reformasi dan membuka diri (gaige, kaifang) pada masa pemerintahan Deng Xiaoping menandai bangkitnya kesadaran baru bagi China dalam melihat dunia dan masa depan (Akbar, 2011:1).
Globalisasi memang hal yang tidak bisa dihindari oleh bangsa China betapapun baik atau buruk sifatnya, cara terbaik untuk menghadapinya adalah justru dengan merangkul dan mengolahnya untuk kepentingan bangsa China sendiri (Akbar, 2011: 1). Menurut Nandi Akbar (2011), langkah awal Deng adalah memperbaiki keadaan sosial-ekonomi, membuka diri terhadap mekanisme pasar karena dianggap lebih efektif guna mempercepat pertumbuhan ekonomi dibanding sistem ekonomi komando. Namun mekanisme pasar tetap dikontrol oleh negara, agar mobilitas sumber daya produksi tetap terjaga sehingga pemerataan kesejahteraan akan mudah terwujud. Deng menerapkan ideologi secara lebih inklusif, yakni mempertemukan semangat sosialisme dengan kapitalisme yang kemudian lebih sering disebut sebagai pragmatisme ekonomi. Ia memperbaiki sisi manajerial, kesadaran bahwa keterbukaan terhadap dunia luar mesti disertai dengan perencanaan dan perhitungan yang matang dalam pelaksanaan program pembangunan dan perbaikan dalam struktur maupun manajemen perekonomian. Untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, dilakukan berbagai terobosan seperti desentralisasi kekuasaan negara dan reformasi birokrasi. Melalui desentralisasi, pemerintah daerah dan para pengusaha diberi wewenang dan otonomi lebih besar untuk mengambil keputusan-keputusan strategis demi kemajuan daerah dan perusahaan mereka tanpa tergantung komando dari pusat. Meskipun demikian, pemerintah tetap berhak melakukan intervensi apabila terjadi hal-hal yang dianggap membahayakan perekonomian nasional, seperti yang dilakukan pada tahun 1992 hingga 1993.

Kebijakan-kebijakan yang menjadi Alat Transformasi
Memang tidak mudah bagi China untuk segera bangkit dan memperbaiki perekonomiannya, terutama setelah terpuruk dengan adanya Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Secara umum produksi pertanian mengalami stagnasi, demikian juga di sektor-sektor modern (non pertanian). Tidak ada kebijakan-kebijakan baru dan inovatif dalam bidang ekonomi (Akbar 2011: 36). Tidak cukup di bidang ekonomi saja, dampaknya ternyata mempengaruhi perkembangan teknologi di China. Pada masa Revolusi Kebudayaan (1966-1976) China seperti terkukung dalam xenophobia yang menjadi-jadi dan sangat tertutup dari dunia luar. Impor barang-barang teknologi tinggi dari luar negeri pun menjadi jauh berkurang. Hal ini akhirnya justru membatasi kesempatan China untuk mempelajari teknologi-teknologi baru dan mengembangkannya untuk kepentingan industrialisasi (Akbar, 2011:36).
Melihat begitu sulitnya keadaan dan banyaknya permasalahan yang dihadapi, menurut Nandi Akbar (2011), China melakukan kurang lebih tiga langkah penyesuaian di awal reformasi (1979-1981) untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Pertama, menyusun ulang prioritas di sektor industri. Menyeimbangkan produksi industri ringan dengan industri berat. Kedua, lebih menggiatkan produksi pertanian melalui pemberian intensif kepada petani (sistem kontrak). Ketiga, restrukturisasi manajemen ekonomi. Perusahaan-perusahaan diberi kewenangan lebih besar dalam menentukan kebijakan operasional (desentralisasi).
Selama reformasi China dihadapkan pada dua hal: tuntutan percepatan industrialisasi dan perubahan tata ekonomi internasional, yang ditandai dengan semakin kuatnya determinasi pasar finansial global terhadap perekonomian domestik (Akbar, 2011: 79). Menurut Nandi Akbar (2011), ia membagi kebijakan-kebijakan yang dilakukan China setelah reformasi ke dalam empat kebijakan atau yang sering disebut dengan good governance. Keempat kebijakan tersebut adalah Desentralisasi, Reformasi Birokrasi, Menciptakan akuntabilitas hukum, dan Reformasi finansial dan perbankan.
Selain perbaikan dalam segi industri, pertanian, dan manajemen ekonomi, China pun memperbaiki sistem politik dan struktur pemerintahannya, yang sering disebut dengan re-strukturisasi negara. Diperlukan semacam kerangka kelembagaan yang dapat menyediakan pondasi yang kokoh bagi perekonomian domestik, sekaligus menjadi gatekeeper dalam hubungannya dengan sistem ekonomi internasional (Akbar, 2011: 79). Pelbagai perkembangan yang terjadi di lingkup global memaksa China untuk lebih berpikir cerdik dan bersikap positip terhadap hubungan-hubungannya dengan dunia internasional. Sistem pasar tidak hanya dipandang sebagai ancaman, tetapi juga sebagai peluang (Akbar, 2011: 95). Persepsi seperti itu yang diterapkan oleh Tiongkok dalam menyikapi sistem ekonomi internasional yang berkembang saat itu, lalu berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Salah satu caranya untuk beradaptasi adalah dengan melakukan beberapa penyesuaian struktural yang sangat penting.
Menurut Nandi Akbar (2011), ia membagi kebijakan-kebijakan yang dilakukan China setelah reformasi ke dalam empat kebijakan atau yang sering disebut dengan good governance. Keempat kebijakan tersebut adalah Desentralisasi, Reformasi Birokrasi, Menciptakan akuntabilitas hukum, dan Reformasi finansial dan perbankan.

Transformasi Tiongkok Dalam Perspektif Teori Pembangunan
Pada pembahasan sebelumnya, dijelaskan bahwa Tiongkok sebelum tahun 1978 melakukan politik isolasi atau politik berdiri sendiri di bawah kekuasaan golongan konservatif yang tidak ingin menggantungkan diri pada negara mana pun. Menurut Alvin Y. So (2013), menurut teori sistem dunia, negara-negara sosialis tersebut hanyalah merupakan salah satu unit dari tata ekonomi kapitalis dunia. Tiongkok melakukan penarikan (isolasi) dan pengintegrasian kembali dalam tata ekonomi kapitalis dunia.
Terdapat dua sebab yang mengakibatkan perubahan yang terjadi pada Tiongkok. Sebab internal dan sebab eksternal. Sebab internal telah dibahas pada bagian sebelumnya, yaitu kemenangan golongan pragmatis yang menginginkan Tiongkok terbuka terhadap dunia luar dengan kebijakan perbaikan administrasi, ekonomi dan politik luar negeri. Namun ternyata dunia internasional pun memiliki andil dalam perubahan Tiongkok di tahun1970-an, terutama berbagai tanggapan datang dari negara kapitalis sentral.
Sejak akhir tahun 1960-an, sistem ekonomi dunia telah mulai menjalani masa surutnya, dan oleh karena itu banyak negara sentral mengalami persoalan untuk mempertahankan pertumbuhan pendapatan nasionalnya. Untuk alasan inilah negara sentral mulai mengalihkan perhatiannya ke RRC, dan negara-negara sosialis lain yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Negara kapitalis ini dapat memanfaatkan tenaga murah dan berlimpah, bahan mentah, bahan tambang dan besarnya pasar dari RRC (Suwarsono dan So, 2013: 232).

Kedua faktor tersebut mendukung transformasi Tiongkok menjadi negara sosialis yang terbuka terhadap hubungannya dengan dunia internasional. Melalui kebijaksanaan pintu terbuka inilah kemudian yang menyebabkan mulai tumbuh dan berkembangnya kepentingan modal asing di Cina (Suwarsono dan So, 2013: 233). Tiongkok pun mulai sadar bahwa keputusannya membuka diri dan merubah sistem ekonominya ke arah lebih terbuka menjadikannya berada dalam lingkungan yang berbahaya. Persaingan semakin kuat antara produk lokal dan produk asing termasuk juga investor asing yang mulai membanjiri Tiongkok di tahun 1980-an. Artinya Tiongkok harus bersiap-siap akan sistem ketergantungan yang segera muncul terhadap negara kapitalis sentral.
Bagi penganut mazhab ketergantungan, relasi yang terbentuk dalam sistem ekonomi internasional telah menempatkan negara-negara berkembang ke dalam struktur ketergantungan yang aktif (Akbar, 2011: 94-95). Namun dalam perkembangannya, Tiongkok menawarkan perspektif berbeda yang begitu asing terjadi pada masanya, menggabungkan sistem kekuasaan negara yang sentral dengan sistem ekonomi pasar. Tiongkok melihat sistem ekonomi pasar yang dipakai di dunia internasional adalah sebuah ancaman sekaligus peluang yang perlu dimanfaatkan secara positif dan aktif setelah Tiongkok membuka diri terhadap pergaulan global. Menurut Wibowo (dalam Akbar, 2011: 95), untuk menghadapi kontradiksi-kontradiksi yang muncul di dalamnya, tepat kiranya yang dikatakan oleh Jiang Zemin bahwa China harus mengambil sikap yang aktif, memakai metode yang fleksibel, pintar bernegoisasi dan jangan naif. Pada akhirnya Tiongkok mulai membenahi keadaan dalam negerinya yang kompatibel terhadap iklim pembangunan yang baru. Prinsip kemandirian tidak lagi diletakkan dalam kerangka isolasionis, namun diwujudkan secara gradual melalui langkah kreatif dalam mengelola hubungannya dengan kekuatan-kekuatan ekonomi global (Akbar, 2011: 95).

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A. N. (2011). Transformasi Besar China : Dinamika Negara Dalam Kebangkitan Ekonomi. Jogjakarta: Jogja Mediautama.

Suseno, F.M. (2010). PEMIKIRAN KARL MARX: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Suwarsono dan So, A. Y. (2013). Perubahan Sosial Dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Z. M, Hidajat. (1993). Masyarakat Dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Tarsito.

Taniputera, I. (2009). History Of China. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar