Jumat, 28 November 2014

NEGARA KESEJAHTERAAN (WALFARESTATE) Konsepsi dan Praktik Penerapannya di Brazil Sejak Tahun 2002-Kini

Disusun oleh :
Yoga Prayoga 1103831
M.Rizal Supriyatna 

KONSEPSI NEGARA KESEJAHTERAAN (WALFARESTATE)
A.      Pengertian Negara Kesejahteraan (Walfarestate)
Secara singkat, Walfarestate adalah negara yang memiliki serangkaian kebijakan publik dan sosial dalam mengintegrasikan kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial demi sebuah pencapaian kemakmuran.
Ditinjau dari sudut historis, ketika Perang Dingin antara Uni Sovyet yang menerapkan komunisme dengan Amerika Serikat yang menerapkan kapitalisme berlangsung pasca Perang Dunia II, Walfarestate hadir sebagai jalan tengah di antara keduanya.
Di satu sisi, dalam negara komunis, kesetaraan dalam hal ekonomi lumayan diakui, dan bahkan diupayakan. Namun demikian, kesetaraan dalam hal politik sama sekali tidak ada. Di sisi lain, dalam negara kapitalis, kesetaraan dalam hal politik diakui. Namun demikian, manakala kesenjangan ekonomi terjadi, negara tidak ikut bertanggung jawab atas hal itu. Sebab, terkait persoalan ekonomi, itu diserahkan pada mekanisme pasar. Di antara dua kutub ideologi tersebut, Walfarestate hadir sebagai konsepsi baru yang menawarkan alternatif, yakni mengakui kesetaraan dalam hal politik sekaligus mengupayakan kesetaraan dalam hal ekonomi.
Sebelumnya, perlu dicatat di sini bahwa walfare yang dimaksud tak berarti sama dengan konsep sama rata dan sama rasa, sebagaimana yang kerap menjadi slogan kaum komunis. Walfare yang setara bermaksud bahwa kesenjangan antara kaum borjuis dan proletar tidak terlalu jauh.
Adapun dalam tataran praksis, walfare yang diupayakan secara langsung oleh negara dilakukan melalui intervensi pasar dalam beberapa hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Contoh intervensi tersebut antara lain : 
·                Subsidi bagi energi
·                Subsidi bagi program jaminan Kesehatan
·                Subsidi bagi programn pendidikan  (Tim Riset PSIK, 2008 : 1-9).
Selain itu, menurut Barr, secara tidak langsung, walfare juga bisa diupayakan oleh negara dengan beberapa mekanisme berikut :
·                Menerapan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menjamin adanya pemberian upah layak oleh korporasi
·                Memberikan ruang bagi warga yang lebih sejahtera untuk mampu menolong warga yang terkategorikan miskin melalui donasi-donasi dalam berbagai bentuk,  dengan yayasan, atau lembaga swadaya sebagai payung hukumnya (Barr, 1998 : 6).

B.     Tujuan Penerapan Konsep Walfarestate
Kesenjangan dalam hal ekonomi kerap merembet pada konflik yang dicampur oleh berbagai sentimen seperti agama, suku, kedaerahan dan lain-lain. Berlatarkan pola tersebut, menurut Goddin, walfareste hadir dengan tujuan untuk :
a.      Mengurangi kemiskinan
b.      Mempromosikan kesetaraan sosial
c.       Mempromosikan inklusi, dan bukan eksklusi sosial
d.     Mempromosikan stabilitas sosial
e.      Mempromosikan otonomi (Goddin, 1999 : 25-35).

C.           Kebijakan-kebijakan Pokok dalam Walfarestate
Berdasarkan hasil penelaahan Tim Riset Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina pada tahun 2008, negara-negara yang menganut konsep Walfarestate mengutamakan beberapa hal sebagai pokok kebijakannya. Adapun hal-hal yang dimaksud antara lain :
a.      Ketenagakerjaan
Kebijakan dalam hal ketenagakerjaan, selain soal pemenuhan upah yang layak juga berkaitan dengan usaha penciptaan lapangan pekerjaan. Hal itu mewujud dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :
·         Merancang program ekonomi yang berbasis pada penyerapan tenaga kerja
·         Memberikan pelatihan serta penempatan kerja secara gratis dan terintergarsi bagi para penganggur
b.      Pendidikan
Kebijakan dalam hal pendidikan mewujud dalam bentuk alokasi anggaran yang besar sehingga masing-masing orang tak perlu resah perkara biaya, manakala berkeinginan dan mampu untuk meraih studi setinggi mungkin.  
c.       Kesehatan
Sama halnya seperti kebijakan dalam hal pendidikan, dalam kesehatan pun negara mengalokasikan anggaran yang besar. Dengan demikian, kalangan miskin bisa mendapatkan layanan kesehatan yang setara dengan mereka yang kaya.
d.     Perumahan
Seiring pola konsumsi yang melejit dalam era industri, dan kini informasi, kebutuhan masyarakat akan rumah meningkat menjadi tak sekedar tempat untuk berteduh, melainkan pula tempat untuk berbisnis dan lain sebagainya. Akibatnya, kini muncul apartemen-apartemen yang dibeli hanya sebagai objek investasi dengan harga yang selangit.
Ekses yang ditimbulkan oleh hal ini adalah kurang mampunya kalangan miskin untuk memperoleh rumah. Di banyak negara yang kesenjangannya tinggi, kerap kita dapati masyarakat yang hidup bergelandangan.
Kebijakan negara yang menganut Walfarestate dalam hal perumahan (housing) ditujukan khusus bagi kalangan yang disebut di atas. Dengan anggaran yang dimiliki, negara membangun Rumah Sederhana, dengan berbagai varian bentuk dan ukuran, yang diperuntukkan bagi kalangan miskin tadi, baik secara gratis maupun melalui kredit ringan berjangka panjang. Di Eropa, Rumah Sederhana yang dimaksud kerap disebut Council Houses atau Brick Houses.      
e.      Jaminan Sosial
Kebijakan negara yang menganut Walfarestate dalam hal Jaminan Sosial (Social Security) dimaksudkan bagi beberapa pihak tententu, antara lain :
·         Mereka yang membutuhkan bantuan modal untuk lepas dari kondisi miskin
·         Mereka yang membutuhkan bantuan pasca hilang/wafatnya tulang punggung ekonomi
·         Mereka yang memiliki kondisi cacat fisik sehingga tak mampu berproduksi
·         Mereka yang sudah manula dan butuh jaminan pensiun
·         Mereka yang mendapat dampak negatif dari suatu kebijakan ekonomi (Pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), misalnya) (Tim Riset PSIK, 2008 : 70-138).

PRAKTIK PENERAPAN KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN (WALFARESTATE) DI BRAZIL
A.           Krisis Energi di Brazil pada tahun 1970 dan Ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) Impor dari Venezuela
Pada dekade 1970, ketika negara-negara pengekspor minyak meraup untung besar dari krisis energi dunia, secara otomatis negara-negara importir komoditas tersebut mengalami kesulitan. Dalam kondisi demikian, Brazil, yang tak mampu memenuhi kebutuhan BBM-nya secara mandiri, harus menguras anggaran keuangan negara secara masif.
Selama bertahun-tahun, mereka menutupi kekurangannya ini dengan mengimpor BBM dari Venezuela, negara yang hingga kini masih terkenal sebagai eksportir minyak terbesar ketiga di dunia. Akibatnya, karena kuota impor yang begitu besar, ruang fiskal yang bisa diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya menjadi sempit. Selama bergantung pada impor BBM dari Venezuela, mereka hampir tidak melakukan pembangunan sema sekali sehingga terlilit hutang terhadap asing (Khudori, 2006).

B.            Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) dan Dampak Positifnya bagi Ruang Fiskal APBN Brazil
Merespon kondisi ketergantungan terhadap BBM impor dari Venezuela, sebagaimana yang disebutkan di atas, pada 1973, pemerintah Brazil berinisiatif meluncurkan program Alkohol Nasional. Program ini bertujuan untuk mengakumulasi potensi produksi alkohol yang sebagian besar berasal dari sisa-sisa produk pertanian seperti tebu, jangung dan lain-lain, melalui sebuah lembaga milik negara yang fokus menciptakan produk Bahan Bakar Nabati (BBN).
Sekian tahun program ini dijalankan, dampak positif pun diraih. Impor BBM dari Venezuela berkurang. Kondisi fiskal pun kian membaik, meski masih sarat akan korupsi yang dilakukan oleh para penguasa otoritarian, Brazil kini punya sisa anggaran untuk berbagai program pembangunan (Detik Finance, 2014).

C.           Pembangunan pada Masa Pemerintahan Presiden Cardozo
Pada 1994, ketika Cardozo terpilih sebagai Presiden, harapan akan pemerintahan yang semakin baik pun muncul. Ia yang terkenal sebagai akademisi, diuji kemampuannya hingga ke batas pinggir (push to the limit), sebab Brazil peninggalan para pandahulunya yang militeristik adalah Brazil yang sarat akan utang dan korupsi.
Selama memerintah, Cardozo yang dibimbing oleh International Monetary Fund (IMF) gencar menerapkan konsep-konsep Neo-Liberalisme. Hampir semua lembaga semacam Badan Usaha Milik Negara (BUMN)  di Brazil di privatisasi (dijadikan objek pribadi). Namun demikian, perubahan ini membuat investasi asing terhadap Brazil demikian melimpah. Meski dalam hal modal masih begitu berketergantungan, berkat privatisasi itu, hasilnya, pertumbuhan ekonomi Brazil meningkat, ruang fiskal negara menjadi luas terbuka sehingga memudahkan pemerintah untuk melakukan pembangunan infrastruktur.
Terlepas dari semua itu, proses peralihan (konversi) energi dari BBM ke BBN yang dimulai sejak 1973 tetap  Cardozo lanjutkan, dan bahkan diperbaiki, dengan upaya minimalisasi tindak pidana korupsi di dalamnya (Raslan, 2012).
D.           Kebijakan Bercorak Walfarestate pada masa Pemerintahan Presiden Lula da Silva
Berkat kemandirian dalam hal energi yang kemudian berdampak pada terbukanya ruang fiskal negara yang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur industri, pada tahun 2002, ketika Presiden Lula da Silva dari sayap kiri terpilih melalui Pemiluhan Umum, Brazil menerapkan 4 (empat) program kebijakan yang bercorak Walfarestate, yakni :
a.       Fome Zero atau Zero Hunger
b.       Bolsa Familia atau Family Fund
c.       Sistema Unico de Saude atau Sistem Kesehatan Universal
d.      Sistem Dana Pensiun
Berbagai program di atas terbukti mampu membawa dampak positif bagi perekonomian Brazil. Tingkat pengangguran yang pada tahun 2002 sebesar 27 %, lantas menurun ke angka 23 % pada 2005. Hanya 3 (tiga) tahun pasca program ini berjalan.
Selain itu, fokus pembangunan berbasis pertanian juga menunjukkan hasil yang baik. Gross Domestic Brutto (GDP) sebagai instrumen ukur bagi produktivitas negara dari sektor ini naik sekitar 4,7 %/tahun. Dengan GDP sebesar itu, Brazil merangsak naik ke permukaan dengan tetap terus memperbaiki infrastruktur berupa jalan, jembatan, perumahan dan hal-hal lain yang pada akhirnya bermuara pada deurbanisasi masyarakat kumuh perkotaan yang sarat kriminalitas (Tim Riset PSIK, 2008 : 224-226).
Prestasi-prestasi di atas, pada dekade awal abad ke 21, akhirnya membuat Brazil masuk sebagai anggota Group of Twenty/G-20, sebuah forum yang menjadi wadah konsultasi antar negara-negara maju dan berkembang di dalam menghadapi tantangan perekonomiannya masing-masing sejak 1999 (Saripedia.com).


DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Barr, Nicholas. 1998. The Economics of The Walfarestate. California : Stanford University Press
Goddin, Robert. 1999. The Real World of Walfare Capitalism. Cambridge : Cambridge University Press
Tim Riset PSIK. 2008. Negara Kesejahteraan dan Globalisasi. Jakarta : PSIK Universitas Paramadina

Internet :
Detik Finance. Brazil dan Thailand Sukses Kembangkan Biofuel. Diakses pada 1 Oktober 2014 melalui m.detik.com/finence/read/2014/04/21/100748/25603621034/
Khudori. 2006. Belajar Pengembangan Biofuel dari Brazil. Dalam Uni Sosdem.Org. Diakses pada 5 November 2014 melalui Unisosdem.org/article_detail.php?aid=5665&co.id=1&caid=58&gid=5
Raslan, Karim. 2012. Cara Brazil Mengatasi Perlambatan Ekonomi. Dalam mobile.kontan.co.id, diakses pada 5 November 2014 melalui kontan.akses.co.id/news_wakeup/64/Cara-Brasil-Mengatasi-Perlambatan-Ekonomi

Saripedia.com. Negara-negara G-20. Diakses pada 5 November 2014 melalui saripedia.wordpress/tag/negara-negarag20/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar