TRANSFORMASI EKONOMI
TIONGKOK PASCA MAO ZEDONG
(1978-1984)
Oleh:
Dudung
Abdul Fatah (1202814)
Ferdy
Yudha Pratama (1200345)
Abstrak:
Tiongkok masa kini merupakan salah satu
negara yang paling pesat kemajuannya terutama dalam bidang ekonomi. Banyak yang
bertanya-tanya mengapa hal tersebut dapat terjadi, lebih-lebih Tiongkok
merupakan salah satu dari beberapa negara yang masih menjalankan paham komunis
dalam sistem pemerintahannya. Namun di tahun 1970-an Tiongkok melakukan
perubahan besar yang tampak asing pada masanya, menggabungkan sistem
pemerintahan kekuasaan negara yang sentral (komunis) dan sistem ekonomi pasar
(kapitalis). Transformasi Tiongkok yang membawanya terbuka terhadap pergaulan
global mengharuskan Tiongkok berhati-hati terhadap ancaman luar namun tetap
menjadikan transformasinya kini menjadi sebuah peluang yang sangat menguntungkan.
Perseteruan menjelang Transformasi: Antara Golongan Radikal
dan Golongan Pragmatis
Tentu kita mengenal Mao
Zedong, ia adalah pendiri Republik Rakyat Tiongkok, yang kemudian membawa
Tiongkok pada rezim baru dengan paham komunis. Namun tak disangka hal tersebut
tidak selamanya berjalan mulus sesuai keinginan Sang Pendiri, bahkan rezim
berakhir dengan begitu pahit. Kegagalan “Lompatan Besar ke Depan” menyebabkan
pengunduran diri Mao sebagai ketua umum Republik Rakyat China pada tahun 1959,
dan sebagai gantinya diangkat Liu Shaoqi (Taniputera, 2009: 586). Diawali oleh
gagasan Liu Shaoqi pada tahun 1961 yang merupakan kaum moderat, “...untuk
melunakkan penindasan pemerintah terhadap kehidupan sosial-ekonomi rakyat.
Dengan program “Tiga Milik Pribadi dan Satu Garansi” (Taniputera, 2009: 587).
Setelah Mao wafat,
Jiang Qing, istri Mao, berambisi untuk menjadi penggantinya selaku ketua Partai
Komunias Tiongkok (Taniputera, 2009: 589). Jiang Qing lalu mendirikan sebuah kelompok
pro-Mao, yang pada akhirnya sering disebut sebagai golongan radikal yang menjunjung tinggi konservatisme komunisme. Golongan radikal berusaha untuk
mempertahankan politik berdiri sendiri, tidak perlu menggantungkan nasibnya
kepada bangsa asing, kecuali pada bangsanya sendiri (Hidajat, 1993: 157). Namun
golongan ini tidak sendirian berada di kancah suksesi kepemimpinan Tiongkok,
keinginan-keinginan dari golongan radikal Qing merangsang sebuah penentangan
dari golongan pragmatis. Hua Guofeng dan Deng Xiaobing termasuk ke dalam
golongan pragmatis. Menurut Hidajat (1993), golongan pragmatis menilai bahwa
prinsip ajaran mao sudah tidak cocok dalam menghadapi masa modern.
Dalam
perkembangan selanjutnya golongan pragmatis mulai mendapat kedudukan terlihat pada
1976 berusaha merebut pimpinan dalam pemerintahan Cina (Hidajat, 1993: 158).
Hua Kuo-feng kemudian mengadakan pembersihan terhadap golongan radikal
(Hidajat, 1993: 159). Faktor penunjang keberhasilan mengenyahkan Kelompok Empat
ini adalah dukungan partai dan tentara (Taniputera, 2009: 591). Di bawah
kepemimpinan Deng Xiaoping, China mengalami sebuah perubahan yang menyadarkan
masyarakat China mengenai dunia dan masa depan. Stagnasi ekonomi dan perbaikan
kondisi sosio-ekonomi masyarakat yang tak kunjung tercapai, mendorong Deng
untuk segera melakukan reformasi ekonomi pada tahun 1978 (Akbar, 2011: 6).
Deng Xiaoping: ‘Sosialisme dengan Ciri
China’
Berakhirnya pergerakan golongan radikal pimpinan
Jiang Qing memberikan arti positif bagi China, sebuah perubahan yang sebenarnya
bisa menjadi nyata mulai menampakkan dirinya. Perubahan tersebut yang nantinya
akan merubah China di segala bidang termasuk bidang ekonomi. Seorang Deng
Xiaoping seakan kembali ke dalam kancah pemerintahan China, setelah sempat
dikesampingkan beserta Liu Shaoqi dan dikritik habis-habisan oleh kelompok
pro-Mao. Liu dan pengikutnya dianggap memberontak terhadap ajaran Mao dan
dituduh menempuh jalan kapitalisme (Hidajat, 1993: 161).
Dalam 1978,
dalam Sesi Pleno Ketiga pertemuan Komite Pusat ke-11 Partai Komunis China.
Sebuah terobosan ide – yang sesungguhnya telah lama dibangun sejak awal 1960-an
– berhasil memenangkan ‘pertempuran’ melawan kekuatan konservatif untuk menjadi
arah komando baru pembangunan ekonomi negeri yang berniat ‘bangun dari mimpi
buruk Revolusi Kebudayaan (1966-1976) (Akbar, 2011: ix).
Di
bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, China mengalami sebuah perubahan yang
menyadarkan masyarakat China mengenai dunia dan masa depan. Stagnasi ekonomi
dan perbaikan kondisi sosio-ekonomi masyarakat yang tak kunjung tercapai,
mendorong Deng untuk segera melakukan reformasi ekonomi pada tahun 1978 (Akbar,
2011: 6).
China dengan julukan negeri tirai bambu pada saat itu benar-benar telah memulai untuk
membuka tirainya dan menatap ragam macam dunia luar dengan harapan masa depan
yang lebih baik. ‘Sosialisme dengan ciri China’, yaitu semacam kolaborasi
antara peran sentral negara dan ‘tangan yang tidak tampak’, berhasil menjadikan
China sebagai salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dewasa ini
(Akbar, 2011: ix). Inilah yang sebenarnya belum diketahui betul oleh banyak
orang, kebijakan ini memang begitu asing bagi sebagian kalangan, yaitu dengan
mengkolaborasikan dua paham yang memiliki sejarah perseteruan yang rumit.
Slogan reformasi dan membuka diri (gaige,
kaifang) pada masa pemerintahan Deng Xiaoping menandai bangkitnya kesadaran
baru bagi China dalam melihat dunia dan masa depan (Akbar, 2011:1).
Globalisasi memang hal yang tidak bisa dihindari
oleh bangsa China betapapun baik atau buruk sifatnya, cara terbaik untuk
menghadapinya adalah justru dengan merangkul dan mengolahnya untuk kepentingan
bangsa China sendiri (Akbar, 2011: 1). Menurut Nandi Akbar (2011), langkah awal
Deng adalah memperbaiki keadaan sosial-ekonomi, membuka diri terhadap mekanisme
pasar karena dianggap lebih efektif guna mempercepat pertumbuhan ekonomi
dibanding sistem ekonomi komando. Namun mekanisme pasar tetap dikontrol oleh
negara, agar mobilitas sumber daya produksi tetap terjaga sehingga pemerataan
kesejahteraan akan mudah terwujud. Deng menerapkan ideologi secara lebih
inklusif, yakni mempertemukan semangat sosialisme dengan kapitalisme yang
kemudian lebih sering disebut sebagai pragmatisme ekonomi. Ia memperbaiki sisi
manajerial, kesadaran bahwa keterbukaan terhadap dunia luar mesti disertai
dengan perencanaan dan perhitungan yang matang dalam pelaksanaan program
pembangunan dan perbaikan dalam struktur maupun manajemen perekonomian. Untuk
meningkatkan kinerja pemerintahan, dilakukan berbagai terobosan seperti
desentralisasi kekuasaan negara dan reformasi birokrasi. Melalui desentralisasi,
pemerintah daerah dan para pengusaha diberi wewenang dan otonomi lebih besar
untuk mengambil keputusan-keputusan strategis demi kemajuan daerah dan
perusahaan mereka tanpa tergantung komando dari pusat. Meskipun demikian,
pemerintah tetap berhak melakukan intervensi apabila terjadi hal-hal yang
dianggap membahayakan perekonomian nasional, seperti yang dilakukan pada tahun
1992 hingga 1993.
Kebijakan-kebijakan yang menjadi
Alat Transformasi
Memang tidak mudah bagi
China untuk segera bangkit dan memperbaiki perekonomiannya, terutama setelah
terpuruk dengan adanya Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Secara umum produksi
pertanian mengalami stagnasi, demikian juga di sektor-sektor modern (non
pertanian). Tidak ada kebijakan-kebijakan baru dan inovatif dalam bidang
ekonomi (Akbar 2011: 36). Tidak cukup di bidang ekonomi saja, dampaknya
ternyata mempengaruhi perkembangan teknologi di China. Pada masa Revolusi
Kebudayaan (1966-1976) China seperti terkukung dalam xenophobia yang menjadi-jadi dan sangat tertutup dari dunia luar.
Impor barang-barang teknologi tinggi dari luar negeri pun menjadi jauh
berkurang. Hal ini akhirnya justru membatasi kesempatan China untuk mempelajari
teknologi-teknologi baru dan mengembangkannya untuk kepentingan industrialisasi
(Akbar, 2011:36).
Melihat
begitu sulitnya keadaan dan banyaknya permasalahan yang dihadapi, menurut Nandi
Akbar (2011), China melakukan kurang lebih tiga langkah penyesuaian di awal
reformasi (1979-1981) untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Pertama, menyusun ulang prioritas di
sektor industri. Menyeimbangkan produksi industri ringan dengan industri berat.
Kedua, lebih menggiatkan produksi
pertanian melalui pemberian intensif kepada petani (sistem kontrak). Ketiga, restrukturisasi manajemen
ekonomi. Perusahaan-perusahaan diberi kewenangan lebih besar dalam menentukan
kebijakan operasional (desentralisasi).
Selama
reformasi China dihadapkan pada dua hal: tuntutan percepatan industrialisasi
dan perubahan tata ekonomi internasional, yang ditandai dengan semakin kuatnya
determinasi pasar finansial global terhadap perekonomian domestik (Akbar, 2011:
79). Menurut Nandi Akbar (2011), ia membagi kebijakan-kebijakan yang dilakukan
China setelah reformasi ke dalam empat kebijakan atau yang sering disebut
dengan good governance. Keempat
kebijakan tersebut adalah Desentralisasi, Reformasi Birokrasi, Menciptakan
akuntabilitas hukum, dan Reformasi finansial dan perbankan.
Selain
perbaikan dalam segi industri, pertanian, dan manajemen ekonomi, China pun
memperbaiki sistem politik dan struktur pemerintahannya, yang sering disebut
dengan re-strukturisasi negara. Diperlukan semacam kerangka kelembagaan yang
dapat menyediakan pondasi yang kokoh bagi perekonomian domestik, sekaligus
menjadi gatekeeper dalam hubungannya
dengan sistem ekonomi internasional (Akbar, 2011: 79). Pelbagai perkembangan
yang terjadi di lingkup global memaksa China untuk lebih berpikir cerdik dan
bersikap positip terhadap hubungan-hubungannya dengan dunia internasional.
Sistem pasar tidak hanya dipandang sebagai ancaman, tetapi juga sebagai peluang
(Akbar, 2011: 95). Persepsi seperti itu yang diterapkan oleh Tiongkok dalam
menyikapi sistem ekonomi internasional yang berkembang saat itu, lalu berusaha
menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Salah satu caranya untuk beradaptasi
adalah dengan melakukan beberapa penyesuaian struktural yang sangat penting.
Menurut
Nandi Akbar (2011), ia membagi kebijakan-kebijakan yang dilakukan China setelah
reformasi ke dalam empat kebijakan atau yang sering disebut dengan good governance. Keempat kebijakan
tersebut adalah Desentralisasi, Reformasi Birokrasi, Menciptakan akuntabilitas
hukum, dan Reformasi finansial dan perbankan.
Transformasi Tiongkok Dalam
Perspektif Teori Pembangunan
Pada
pembahasan sebelumnya, dijelaskan bahwa Tiongkok sebelum tahun 1978 melakukan
politik isolasi atau politik berdiri sendiri di bawah kekuasaan golongan
konservatif yang tidak ingin menggantungkan diri pada negara mana pun. Menurut
Alvin Y. So (2013), menurut teori sistem dunia, negara-negara sosialis tersebut
hanyalah merupakan salah satu unit dari tata ekonomi kapitalis dunia. Tiongkok
melakukan penarikan (isolasi) dan pengintegrasian kembali dalam tata ekonomi
kapitalis dunia.
Terdapat
dua sebab yang mengakibatkan perubahan yang terjadi pada Tiongkok. Sebab
internal dan sebab eksternal. Sebab internal telah dibahas pada bagian
sebelumnya, yaitu kemenangan golongan pragmatis yang menginginkan Tiongkok
terbuka terhadap dunia luar dengan kebijakan perbaikan administrasi, ekonomi
dan politik luar negeri. Namun ternyata dunia internasional pun memiliki andil
dalam perubahan Tiongkok di tahun1970-an, terutama berbagai tanggapan datang
dari negara kapitalis sentral.
Sejak
akhir tahun 1960-an, sistem ekonomi dunia telah mulai menjalani masa surutnya,
dan oleh karena itu banyak negara sentral mengalami persoalan untuk
mempertahankan pertumbuhan pendapatan nasionalnya. Untuk alasan inilah negara
sentral mulai mengalihkan perhatiannya ke RRC, dan negara-negara sosialis lain
yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Negara kapitalis ini
dapat memanfaatkan tenaga murah dan berlimpah, bahan mentah, bahan tambang dan
besarnya pasar dari RRC (Suwarsono dan So, 2013: 232).
Kedua
faktor tersebut mendukung transformasi Tiongkok menjadi negara sosialis yang
terbuka terhadap hubungannya dengan dunia internasional. Melalui kebijaksanaan
pintu terbuka inilah kemudian yang menyebabkan mulai tumbuh dan berkembangnya
kepentingan modal asing di Cina (Suwarsono dan So, 2013: 233). Tiongkok pun
mulai sadar bahwa keputusannya membuka diri dan merubah sistem ekonominya ke
arah lebih terbuka menjadikannya berada dalam lingkungan yang berbahaya.
Persaingan semakin kuat antara produk lokal dan produk asing termasuk juga
investor asing yang mulai membanjiri Tiongkok di tahun 1980-an. Artinya
Tiongkok harus bersiap-siap akan sistem ketergantungan yang segera muncul terhadap
negara kapitalis sentral.
Bagi
penganut mazhab ketergantungan, relasi yang terbentuk dalam sistem ekonomi
internasional telah menempatkan negara-negara berkembang ke dalam struktur
ketergantungan yang aktif (Akbar, 2011: 94-95). Namun dalam perkembangannya,
Tiongkok menawarkan perspektif berbeda yang begitu asing terjadi pada masanya,
menggabungkan sistem kekuasaan negara yang sentral dengan sistem ekonomi pasar.
Tiongkok melihat sistem ekonomi pasar yang dipakai di dunia internasional
adalah sebuah ancaman sekaligus peluang yang perlu dimanfaatkan secara positif
dan aktif setelah Tiongkok membuka diri terhadap pergaulan global. Menurut
Wibowo (dalam Akbar, 2011: 95), untuk menghadapi kontradiksi-kontradiksi yang
muncul di dalamnya, tepat kiranya yang dikatakan oleh Jiang Zemin bahwa China
harus mengambil sikap yang aktif, memakai metode yang fleksibel, pintar
bernegoisasi dan jangan naif. Pada akhirnya Tiongkok mulai membenahi keadaan
dalam negerinya yang kompatibel terhadap iklim pembangunan yang baru. Prinsip
kemandirian tidak lagi diletakkan dalam kerangka isolasionis, namun diwujudkan
secara gradual melalui langkah kreatif dalam mengelola hubungannya dengan
kekuatan-kekuatan ekonomi global (Akbar, 2011: 95).
DAFTAR PUSTAKA
Akbar,
A. N. (2011). Transformasi Besar China :
Dinamika Negara Dalam Kebangkitan Ekonomi. Jogjakarta: Jogja Mediautama.
Suseno,
F.M. (2010). PEMIKIRAN KARL MARX: Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Suwarsono
dan So, A. Y. (2013). Perubahan Sosial
Dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Z. M,
Hidajat. (1993). Masyarakat Dan
Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Tarsito.
Taniputera,
I. (2009). History Of China.
Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar