Disusun oleh :
Yoga Prayoga 1103831
M.Rizal Supriyatna
KONSEPSI NEGARA KESEJAHTERAAN (WALFARESTATE)
A. Pengertian Negara Kesejahteraan (Walfarestate)
Secara singkat, Walfarestate adalah negara yang memiliki serangkaian
kebijakan publik dan sosial dalam mengintegrasikan kebijakan ekonomi dan
kebijakan sosial demi sebuah pencapaian kemakmuran.
Ditinjau dari sudut historis, ketika
Perang Dingin antara Uni Sovyet yang menerapkan komunisme dengan Amerika
Serikat yang menerapkan kapitalisme berlangsung pasca Perang Dunia II, Walfarestate hadir sebagai jalan tengah di antara
keduanya.
Di satu sisi, dalam negara komunis,
kesetaraan dalam hal ekonomi lumayan diakui, dan bahkan diupayakan. Namun
demikian, kesetaraan dalam hal politik sama sekali tidak ada. Di sisi lain,
dalam negara kapitalis, kesetaraan dalam hal politik diakui. Namun demikian,
manakala kesenjangan ekonomi terjadi, negara tidak ikut bertanggung jawab atas
hal itu. Sebab, terkait persoalan ekonomi, itu diserahkan pada mekanisme pasar.
Di antara dua kutub ideologi tersebut, Walfarestate hadir sebagai konsepsi baru yang menawarkan alternatif, yakni
mengakui kesetaraan dalam hal politik sekaligus mengupayakan kesetaraan dalam
hal ekonomi.
Sebelumnya, perlu dicatat di sini
bahwa walfare yang dimaksud tak
berarti sama dengan konsep sama rata dan
sama rasa, sebagaimana yang kerap
menjadi slogan kaum komunis. Walfare yang
setara bermaksud bahwa kesenjangan antara kaum borjuis dan proletar tidak
terlalu jauh.
Adapun dalam tataran praksis, walfare yang diupayakan secara langsung oleh
negara dilakukan melalui intervensi pasar dalam beberapa hal yang menyangkut
hajat hidup orang banyak. Contoh intervensi tersebut antara lain :
·
Subsidi bagi energi
·
Subsidi bagi program jaminan Kesehatan
·
Subsidi bagi programn pendidikan (Tim Riset PSIK, 2008 : 1-9).
Selain itu, menurut
Barr, secara tidak langsung, walfare juga
bisa diupayakan oleh negara dengan beberapa mekanisme berikut :
·
Menerapan Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang menjamin adanya pemberian upah layak oleh korporasi
·
Memberikan ruang bagi warga yang lebih
sejahtera untuk mampu menolong warga yang terkategorikan miskin melalui
donasi-donasi dalam berbagai bentuk,
dengan yayasan, atau lembaga swadaya sebagai payung hukumnya (Barr, 1998
: 6).
B.
Tujuan
Penerapan Konsep Walfarestate
Kesenjangan
dalam hal ekonomi kerap merembet pada konflik yang dicampur oleh berbagai
sentimen seperti agama, suku, kedaerahan dan lain-lain. Berlatarkan pola
tersebut, menurut Goddin, walfareste hadir
dengan tujuan untuk :
a. Mengurangi
kemiskinan
b. Mempromosikan
kesetaraan sosial
c. Mempromosikan
inklusi, dan bukan eksklusi sosial
d. Mempromosikan
stabilitas sosial
e. Mempromosikan
otonomi (Goddin, 1999 : 25-35).
C.
Kebijakan-kebijakan
Pokok dalam Walfarestate
Berdasarkan
hasil penelaahan Tim Riset Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas
Paramadina pada tahun 2008, negara-negara yang menganut konsep Walfarestate mengutamakan beberapa hal sebagai pokok
kebijakannya. Adapun hal-hal yang dimaksud antara lain :
a. Ketenagakerjaan
Kebijakan dalam hal
ketenagakerjaan, selain soal pemenuhan upah yang layak juga berkaitan dengan
usaha penciptaan lapangan pekerjaan. Hal itu mewujud dengan tahapan-tahapan
sebagai berikut :
·
Merancang program ekonomi yang berbasis
pada penyerapan tenaga kerja
·
Memberikan pelatihan serta penempatan kerja
secara gratis dan terintergarsi bagi para penganggur
b. Pendidikan
Kebijakan dalam hal
pendidikan mewujud dalam bentuk alokasi anggaran yang besar sehingga
masing-masing orang tak perlu resah perkara biaya, manakala berkeinginan dan
mampu untuk meraih studi setinggi mungkin.
c. Kesehatan
Sama halnya seperti
kebijakan dalam hal pendidikan, dalam kesehatan pun negara mengalokasikan
anggaran yang besar. Dengan demikian, kalangan miskin bisa mendapatkan layanan
kesehatan yang setara dengan mereka yang kaya.
d. Perumahan
Seiring pola konsumsi yang
melejit dalam era industri, dan kini informasi, kebutuhan masyarakat akan rumah
meningkat menjadi tak sekedar tempat untuk berteduh, melainkan pula tempat
untuk berbisnis dan lain sebagainya. Akibatnya, kini muncul apartemen-apartemen
yang dibeli hanya sebagai objek investasi dengan harga yang selangit.
Ekses yang ditimbulkan
oleh hal ini adalah kurang mampunya kalangan miskin untuk memperoleh rumah. Di
banyak negara yang kesenjangannya tinggi, kerap kita dapati masyarakat yang
hidup bergelandangan.
Kebijakan negara yang
menganut Walfarestate dalam
hal perumahan (housing) ditujukan
khusus bagi kalangan yang disebut di atas. Dengan anggaran yang dimiliki,
negara membangun Rumah Sederhana, dengan
berbagai varian bentuk dan ukuran, yang diperuntukkan bagi kalangan miskin
tadi, baik secara gratis maupun melalui kredit ringan berjangka panjang. Di
Eropa, Rumah Sederhana yang dimaksud
kerap disebut Council Houses atau Brick Houses.
e. Jaminan
Sosial
Kebijakan negara yang
menganut Walfarestate dalam
hal Jaminan Sosial (Social Security) dimaksudkan
bagi beberapa pihak tententu, antara lain :
·
Mereka yang membutuhkan bantuan modal untuk
lepas dari kondisi miskin
·
Mereka yang membutuhkan bantuan pasca
hilang/wafatnya tulang punggung ekonomi
·
Mereka yang memiliki kondisi cacat fisik
sehingga tak mampu berproduksi
·
Mereka yang sudah manula dan butuh jaminan
pensiun
·
Mereka yang mendapat dampak negatif dari
suatu kebijakan ekonomi (Pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), misalnya)
(Tim Riset PSIK, 2008 : 70-138).
PRAKTIK
PENERAPAN KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN (WALFARESTATE) DI BRAZIL
A.
Krisis
Energi di Brazil pada tahun 1970 dan Ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak
(BBM) Impor dari Venezuela
Pada
dekade 1970, ketika negara-negara pengekspor minyak meraup untung besar dari
krisis energi dunia, secara otomatis negara-negara importir komoditas tersebut
mengalami kesulitan. Dalam kondisi demikian, Brazil, yang tak mampu memenuhi
kebutuhan BBM-nya secara mandiri, harus menguras anggaran keuangan negara
secara masif.
Selama
bertahun-tahun, mereka menutupi kekurangannya ini dengan mengimpor BBM dari Venezuela,
negara yang hingga kini masih terkenal sebagai eksportir minyak terbesar ketiga
di dunia. Akibatnya, karena kuota impor yang begitu besar, ruang fiskal yang
bisa diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya menjadi
sempit. Selama bergantung pada impor BBM dari Venezuela, mereka hampir tidak
melakukan pembangunan sema sekali sehingga terlilit hutang terhadap asing
(Khudori, 2006).
B.
Pengembangan
Bahan Bakar Nabati (BBN) dan Dampak Positifnya bagi Ruang Fiskal APBN Brazil
Merespon
kondisi ketergantungan terhadap BBM impor dari Venezuela, sebagaimana yang
disebutkan di atas, pada 1973, pemerintah Brazil berinisiatif meluncurkan
program Alkohol Nasional. Program ini bertujuan untuk mengakumulasi potensi
produksi alkohol yang sebagian besar berasal dari sisa-sisa produk pertanian
seperti tebu, jangung dan lain-lain, melalui sebuah lembaga milik negara yang
fokus menciptakan produk Bahan Bakar Nabati (BBN).
Sekian
tahun program ini dijalankan, dampak positif pun diraih. Impor BBM dari
Venezuela berkurang. Kondisi fiskal pun kian membaik, meski masih sarat akan
korupsi yang dilakukan oleh para penguasa otoritarian, Brazil kini punya sisa
anggaran untuk berbagai program pembangunan (Detik Finance, 2014).
C.
Pembangunan
pada Masa Pemerintahan Presiden Cardozo
Pada
1994, ketika Cardozo terpilih sebagai Presiden, harapan akan pemerintahan yang
semakin baik pun muncul. Ia yang terkenal sebagai akademisi, diuji kemampuannya
hingga ke batas pinggir (push to the
limit), sebab Brazil peninggalan para pandahulunya yang militeristik adalah
Brazil yang sarat akan utang dan korupsi.
Selama
memerintah, Cardozo yang dibimbing oleh International
Monetary Fund (IMF) gencar menerapkan konsep-konsep Neo-Liberalisme. Hampir semua lembaga semacam Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) di Brazil di privatisasi
(dijadikan objek pribadi). Namun demikian, perubahan ini membuat investasi
asing terhadap Brazil demikian melimpah. Meski dalam hal modal masih begitu
berketergantungan, berkat privatisasi itu, hasilnya, pertumbuhan ekonomi Brazil
meningkat, ruang fiskal negara menjadi luas terbuka sehingga memudahkan
pemerintah untuk melakukan pembangunan infrastruktur.
Terlepas
dari semua itu, proses peralihan (konversi) energi dari BBM ke BBN yang dimulai
sejak 1973 tetap Cardozo lanjutkan, dan
bahkan diperbaiki, dengan upaya minimalisasi tindak pidana korupsi di dalamnya
(Raslan, 2012).
D.
Kebijakan
Bercorak Walfarestate pada
masa Pemerintahan Presiden Lula da Silva
Berkat
kemandirian dalam hal energi yang kemudian berdampak pada terbukanya ruang
fiskal negara yang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur industri, pada
tahun 2002, ketika Presiden Lula da Silva dari sayap kiri terpilih melalui
Pemiluhan Umum, Brazil menerapkan 4 (empat) program kebijakan yang bercorak Walfarestate, yakni :
a.
Fome
Zero atau Zero Hunger
b.
Bolsa
Familia atau Family Fund
c.
Sistema
Unico de Saude atau Sistem
Kesehatan Universal
d.
Sistem
Dana Pensiun
Berbagai program di
atas terbukti mampu membawa dampak positif bagi perekonomian Brazil. Tingkat pengangguran
yang pada tahun 2002 sebesar 27 %, lantas menurun ke angka 23 % pada 2005.
Hanya 3 (tiga) tahun pasca program ini berjalan.
Selain itu, fokus
pembangunan berbasis pertanian juga menunjukkan hasil yang baik. Gross Domestic Brutto (GDP) sebagai
instrumen ukur bagi produktivitas negara dari sektor ini naik sekitar 4,7
%/tahun. Dengan GDP sebesar itu, Brazil merangsak naik ke permukaan dengan
tetap terus memperbaiki infrastruktur berupa jalan, jembatan, perumahan dan
hal-hal lain yang pada akhirnya bermuara pada deurbanisasi masyarakat kumuh perkotaan yang sarat kriminalitas
(Tim Riset PSIK, 2008 : 224-226).
Prestasi-prestasi
di atas, pada dekade awal abad ke 21, akhirnya membuat Brazil masuk sebagai
anggota Group of Twenty/G-20, sebuah forum yang menjadi wadah konsultasi antar
negara-negara maju dan berkembang di dalam menghadapi tantangan perekonomiannya
masing-masing sejak 1999 (Saripedia.com).
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Barr,
Nicholas. 1998. The Economics of The Walfarestate. California :
Stanford University Press
Goddin,
Robert. 1999. The Real World of Walfare
Capitalism. Cambridge : Cambridge University Press
Tim
Riset PSIK. 2008. Negara Kesejahteraan
dan Globalisasi. Jakarta : PSIK Universitas Paramadina
Internet :
Detik Finance. Brazil
dan Thailand Sukses Kembangkan Biofuel. Diakses
pada 1 Oktober 2014 melalui m.detik.com/finence/read/2014/04/21/100748/25603621034/
Khudori.
2006. Belajar Pengembangan Biofuel dari Brazil. Dalam Uni Sosdem.Org. Diakses
pada 5 November 2014 melalui Unisosdem.org/article_detail.php?aid=5665&co.id=1&caid=58&gid=5
Raslan,
Karim. 2012. Cara Brazil Mengatasi Perlambatan Ekonomi. Dalam mobile.kontan.co.id, diakses pada 5
November 2014 melalui kontan.akses.co.id/news_wakeup/64/Cara-Brasil-Mengatasi-Perlambatan-Ekonomi
Saripedia.com.
Negara-negara G-20. Diakses pada 5 November 2014 melalui saripedia.wordpress/tag/negara-negarag20/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar