oleh : Shendy Ariftia
Wisnu Adam Alfiqri
Ragil
Wyda Triana
Pendahuluan
Salah
satu hubungan atau relasi itu adalah hubungan patron-klien atau yang dikenal
dengan “patronase”. Istilah patron berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang
secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status,
wewenang dan pengaruh. (Usman, 2004:132). Sedangkan klien berarti bawahan, atau
orang yang diperintah dan yang disuruh. Selanjutnya pola hubungan patron-klien
merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak
sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga
menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior). (http://roedijambi.wordpree.com/2011/01/27/mengenal-hubungan-patron-klien/).
Patron-klien
adalah hubungan antara majikan dan bawahan dan yang dimaksud dengan bawahan
disini diantaranya adalah budak. Perbudakan sering diartikan sebagai penindasan
yang dilakukan oleh kaum penguasa terhadap kaum jelata yang biasanya hidup
melarat. Kaum tertindas ini harus menjadi pelayan bagi kaum minoritas ini
dengan cara mengerjakan apa yang diperintahkan. Mereka yang menjadi majikan ini
dapat menguasai budak-budak tersebut karena kemampuannya memiliki apa yang
tidak dimiliki oleh para budak, seperti kedudukan tinggi, dan harta yang
berlimpah. Berbeda dengan para budak yang tidak memiliki harta yang berlimpah,
bahkan tidak memiliki apa-apa, dan derajatnya dianggap lebih rendah. Kemampuan
para budak ini memang sangat terbatas, ditambah lagi dengan adanya
ketidakberdayaan mereka terhadap kesewenang-wenangan majikan.
Mereka
yang menjadi budak, memiliki alas an keterpaksaan, tetapi ada pula yang
melakukannya dengan sukarela. Perbudakan yang dilakukan secara sukarela ini
dapat terjadi karena adanya hutang atau untuk melakukan balas budi terhadap
orang yang telah menolongnya dari kesusahan, atau terjadi disebabkan hukuman
karena melakukan suatu kesalahan. Di setiap masa serta wilayah yang berbeda,
perbudakan memiliki karakter yang berbeda pula.
Pengertian
budak yang paling umum dapat dilihat pada pernyataan berikut:
“kita bisa mendefinisikan budak
dalam pengertian paling lazim dari kata ini sebagai seseorang yang menjadi hak
milik pribadi orang lain yang secara politik dan social berada di tingkatan
lebih rendah dibanding kebanyakan orang dan melaksanakan kerja wajib”
(Nieboer 1910: 5, dalam Reid 2004: 241).
Budak dianggap lebih rendah kastanya
dan bekerja pada seorang patron yang
memeliharanya akan disebut sebagai budak. Manusia yang menjadi budak memang
memiliki alasan yang berbeda-beda. Bentuk-bentuk perbudakan pun berbeda-beda.
Kebanyakan karena adanya hutang yang tidak dapat dilunasi. Atau ketika masa
kolonial, perbudakan diberlakukan dengan memaksa rakyat jelata untuk
mengerjakan sesuatu yang dapat menguntungkan pihak kolonial.
Seseorang
dapat menjadi budak dengan beberapa cara. Pertama, kepemilikan dari tahanan atau
tawanan perang, prajurit-prajurit yang tertangkap dapat dijadikan budak oleh
musuhnya. Ada dua pilihan yang harus dipilih sebagai pihak yang kalah perang,
mati atau dijadikan budak. Mereka yang masih ingin hidup akan memilih menjadi
budak sehingga pada jaman peperangan banyak sekali perempuan, anak-anak dan
laki-laki yang menjadi budak-budak atau hamba sahaya. Kedua, budak bisa
berasal dari anak budak wanita, dimana anak tersebut adalah hasil hubungan
dengan selain tuannya. Hal ini merupakan wewenang tuannya, anak yang dilahirkan
itu adalah orang yang merdeka atau akan dijadikan budak. Biasanya anak ini akan
menjadi budak milik tuan dari ibunya tadi, karena yang dimiliki oleh budak
adalah miliknya juga. Ketiga, budak bisa diperoleh juga
dengan cara membeli dari seseorang yang memiliki budak dengan cara yang sah.
Selain itu bisa pula dengan jalan mendapat hadiah, wasiat, sedekah, warisan dan
cara lainnya yang masih dianggap sah pemindahan hak miliknya. Praktek jual beli
budak ini memang tidak anaeh pada zaman ini, banyak tuan-tuan yang menjual para
budaknya kemudian membeli budak baru. Keempat,
seringkali kemiskinan membuat manusia menjual anaknya untuk dijadikan budak,
hal ini biasanya setelah hutang yang telah menumpuk banyak, sehingga seseorang
itu tidak dapat melunasi hutang-hutangnya.
Perbudakan
di Asia Tenggara merupakan suatu adat (baca: budaya) yang terjadi karena tiga
kondisi utama yang terjadi di Asia Tenggara. Pertama ialah bahwa orang-orang di Asia Tenggara beranggapan bahwa
tenaga kerja merupakan sumber daya yang langka. Kemampuan penguasaan tenaga
kerja dipandang sebagai suatu tanda kekuasaan dan status seseorang. Hal ini
bisa saja berkaitan dengan kondisi jumlah penduduk saat itu yang masih sedikit
dan sumber daya alam yang masih sangat berlimpah, sehingga tenaga kerja menjadi
lebih sedikit. Kedua, manusia
memiliki nilai jual yang dihitung dengan nilai uang. Anthony Reid (2011:
148-149) mengemukakan alasannya sebagai berikut:
Perdagangan maritim selama
berabad-abad telah memasuki kawasan mereka sehingga orang Asia Tenggara
tampaknya sudah terbiasa berpikir juga mengenai dirinya sendiri sebagai aset
yang mempunyai nilai tunai.
Ketiga,
perlindungan hukum dan finansial negara masih relatif rendah sehingga pelindung
dan yang dilindungi harus saling bekerja sama dan mendukung. Ketiga kondisi ini
menimbulkan suatu ikatan yang kuat dan akrab antara budak dengan majikan.
Peranan Budak dalam Peradaban di
Asia Tenggara
Merupakan
suatu anomali ketika kebudayaan yang merupakan hasil karya, cipta dan karsa
dari suatu bangsa atau masyarakat akan tetapi untuk menghasilkan peradaban yang
maju di dalamnya terdapat bentuk penindasan di dalamnya yaitu salah satunya
adalah perbudakan. Seperti contohnya saja adalah dalam pembangunan Tembok
Raksasa Cina atau kita kenal dengan The Great Wall terpampang gagahnya dan
merupakan symbol peradaban yang sangat maju, dengan panjangnya 6.400 kilometer
dan tingginya 8 meter dengan tujuan untuk mencegah serbuan dari bangsa Mongol.
Pembangunannya dimulai Dinasti Qin dan berakhir pada masa pemerintahan Dinasti
Ming. Tidak salah bila tembok raksasa ini dijadikan salah satu dari 7 keajaiban
dunia, karena ini adalah tembok terpanjang dan terbesar yang dibuat oleh
manusia. Dalam hal pembuatannya banyak memakan korban jiwa, karena para
pegawainya tidak diberi makan, dan bila sakit tidak diobati kemudian banyak
yang meninggal karena kelaparan dan sakit dan lebih menyedihkan lagi, mayatnya
di lempr disana begitu saja. (http://tourirwisatamurah.com/blog/?p=4).
Dan jika kita melihat kepribadian Qin Shih Huang Ti (259-210 SM), yang notabene
merupakan kaisar pertama yang menyatukan Cina mempunyai ide untuk melanjutkan
pembangunan tembok raksasa yang belum diselesaikan oleh dinasti sebelumnya,
memimpin dengan militeristik dan kekuatan senjata dengan dasar-dasar
peombakkannya.(http://abyliuz.blogspot.com//2011/06/qin-shih-huang-ti-259-sm-210-sm.html?m=1).
Bisa dikatakan Qin Shih Huang Ti sangat tegas dan dengan sikap militernya dia
bisa menyatukan Cina, begitu pun dalam memimpin pembuatan tembok raksasa Cina
seperti disebutkan di atas banyak korban jiwa yang berjatuhan, dalam
pembuatannya para “tukang” itu bekerja keras untuk membuat suatu karya yang
diperintahkan rajanya, dan di antara para tukang itu terdapat para budak yang
dipekerjakan untuk membangun tembok Cina. Para budak ini didapat dari tawanan
perang Cina, ketika mereka bekerja tidak diberi makan dan jika sakit tidak
diberi obat. Namun bukan fenomena perbudakan di Cina yang akan dibahas dalam
artikel ini.
Jika
kita melihat ke kawasan Asia Tenggara, tiga belas abad yang lalu sekumpulan
seniman, rohaniwan yang sampai sekarang tidak diketahui namanya, mendirikan
sebuah bangunan dari batu massif di suatu daerah yang dianggap keramat di Jawa
Tengah dan dilingkungi oleh beberapa gunung berapi. Mereka kiranya menyadari tak
akan berkesempatan menyaksiskan penyelesaian konstruksi yang telah dimulai itu
namun yakin bahwa generasi-generasi mendatang akan menyempurnakannya, mengagumi
ciptaan awal mereka itu dan berusaha merawatnya. Ia menjulang dengan megahnya
dan generasi penerus dari para pembangun tersebut menamakannya Candi Borobudur
serta memperlakukannya sebagai salah satu warisan budaya nenek moyang yang
sangat membanggakan (Joesoef, Borobudur).
Candi
Borobudur dibangun sekitar tahun 800 Masehi. Mengingat candi ini sebagai
keseluruhan berpenampilan Buddhistik, kesimpulan selanjutnya yang dapat diambil
adalah bahwa ia dibangun semasa pemerintahan Raja Samaratungga dari Wangsa
Sailendra, yaitu wangsa (dinasti) yang dikenal dalam sejarah karena usahanya
untuk menjunjung tinggi agama Buddha Mahayana. Kesimpulan ini sesuai benar
dengan pola sejarah daerah Jawa Tengah, khususnya dalam kurun waktu antara
pertengahan abad VIII dan pertengahan abad IX. Periode ini terkenal sebagai
Abad Emas Sailendra atau “Penguasa Pegunungan ” (Rulers of Mountain). Kejadian
ini ditandai, menurut Dr. Soekomono dalam bukunya Daoed Joesoef
”Borobudur”, oleh kehadiran sejumlah
besar candi-candi, yang mencerminkan semangat membangun yang luar biasa, baik
di lembah maupun di lereng gunung bagian tengah Pulau Jawa. Candi-candi yang
ada di lereng-lereng gunung adalah semuanya bangunan agama Siwa, sedangkan yang
bertebaran di daratan-daratan adalah bangunan baik dari agama Siwa maupun dari
agama Buddha (hlm:20).
Kehadiran
candi-candi yang menampilkan citra dari dua agama yang berlainan, menimbulkan
spekulasi bahwa dalam pertengahan abad VIII itu ada dua keluarga raja yang
memerintah di Jawa Tenah. Kedua keluarga itu adalah Wangsa Sailendra yang
beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu yang notabenen keturunan
Mataram. Mengapa hal itu bisa terjadi, menurut Dr. Boechari, ahli purbakala
yang menemukan dan membaca sendiri prasasti Sojomerto karena Depunta Sailendra,
leluhur dari Wangsa Sailendra yang memeluk agama Buddha, adalah seorang yang
masih beragama Hindu. Jadi ada terjadi sesuatu yang menyebabkan salah seorang
keturunannya pindah agama. Teori ini berlawanan dengan tesis ahli-ahli
purbakala Barat yang menyimpulkan bahwa memang ada dua wangsa yang hidup
berdampingan dengan damai ketika itu. Hal ini berarti bahwa tesis itu secara
implicit memberikan kesaksian betapa bagi bangsa Indonesia agama rupanya
tidakpernah menjadi sumber pertentangan yang gawat. Mungkin saja terjadi
seorang raja Hindu menjadi pelindung pembangunan tempat-tempat suci agaa
Buddha. Sebaliknya seorang penguasa Buddha tidak mustahil turut serta dalam
kegiatan yang bersifat Hindu. Bahkan pergantian agama resmi pun dapat terjadi
tanpa menimbulkan pengaruh yang merugikan terhaap kelangsungan keluarga raja dan
kelestarian segala macam kegaitan dalam bidang kebudayaan.
Pembanguan
candi-candi indah yang menajmur di Jawa Tengah selama beberapa dasawarsa, di
samping menakjubkan, menimbulkan pula pertanyaan: apakah kegiatan tersebut
disebabkan oleh kemakmuran yang mendadak dan adanya suatu sistem kemasyarakatan
yang begitu rupa hingga memungkinkan raja-raja menitahkan pendirian
tempat-tempat suci tersebut? Ahli purbakala Dr. Satyawati Suleiman berfikir
kira-kira begitulah adanya, berdasarkan beberapa pertimbangan.
Pertama,
kemakmuran yang diperoleh dari perdagangan maritim dan pemanfaatan tanah subur
secara efisien dapat member cukup padi dan tumbuhan makanan lainnya guna
menghidupi sejumlah besar seniman dan pengrajin yang terlibat dalam pembuatan
candi.
Kedua,
para pengikut dan pengabdi raja mampu memberikan kepadanya upeti wajib berupa
hasil tanah mereka, arsitek,tukang, pengrajin serta pekerja yang diperlukan
oleh proyek pembangunan candi dan menyumbang berbagai bahan konstruksi. Lalu
setelah pembuatannya selesai, perawatannya mungkin diserahkan kepada desa-ddesa
yang tanahnya boleh dimiliki dan dibebaskan dari pajak.
Ketiga,
penguasaan jalur perdagangan mempermudah kerajaan mengirim pendeta dan tenaga
ahli ke India, tidak hanya untuk belajar Buddhisme atau Hinduisme, tetapi juga
guna mempelajari arsitektur dan seni patung. Bagi keperluan raja-raja Sailendra
orang-orang tersebut dididik di India untuk berkemampuan melaksanakan sistem
Buddha, bodhisatwa dan pembuatan relief yang terlihat di Borobudur. Ketika kembali
ke Indonesia, mereka membawa pulang gambar-gambar, catatan-catatan dan
buku-buku petunjuk yang mereka peroleh dari Nalanda, Kauchi dan Sri Lanka, yang
telah dipelajari dengan teliti dan mungkin dikopi di daun-daun nipah.
Keempat,
ketika para arsitek, pengrajin, dan seniman tersebut mendapat tuga membangun
candi atau membuat patung atau memahat relief, mereka dengan memakai asas-asas
konstruksi India menciptakan karya-karya yang benar-benar orisinil, dalam arti
menyedot, menginkorporasikan, dan memantulkan bentuk-bentuk seni serta
nilai-nilai estetik Indonesia.
Jika
melihat penjelasan di atas, memang tidak ada pembahsan secara rinci mengenai
peran dari budak terhadap pembuatan Candi Borobudur, akan tetapi jika kita
menyimak teliti pada poin kedua disebutkan bahwa:
“Para pengikut dan pengabdi raja
mampu memberikan kepadanya upeti wajib berupa hasil tanah mereka,
arsitek,tukang, pengrajin serta pekerja yang diperlukan oleh proyek pembangunan
candi dan menyumbang berbagai bahan konstruksi. Lalu setelah pembuatannya
selesai, perawatannya mungkin diserahkan kepada desa-desa yang tanahnya boleh
dimiliki dan dibebaskan dari pajak.”
Dari
pernyataan di atas, dapat diasumsikan bahwa bagi para pengikut dan pengabdi
raja diharuskan memberikan hasil tanah mereka, arsitek,”tukang”, serta pekerja.
Jadi dapat dikatakan terdapat pembagian kelas disana, dalam artian walaupun
agama Buddha tidak mengenal sistem kasta akan tetapi terdapat stratifikasi
sosial di sana. Yang penulis soroti adalah ada nama tukang dan pekerja di sana,
pekerja di sana bisa di identikkan dengan budak. Karena perbudakan di Asia
Tenggara bersifat lebih lunak jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya,
jadi peran budak di Asia Tenggara memang kedudukannya berada di bawah, akan
tetapi mereka diberikan kebebasan hak dalam artian budak-budak ini setelah
bekerja akan memperoleh hak untuk makan, minum, dan istirahat.
Disebutkan
pula menurut Daoed Joesoef dalam bukunya “Borobudur”,
bahwa pembangunan Candi Borobudur diperkirakkan berjalan secara bertahap selama
puluhan tahun, sedangkan tenaga kerjanya sendiri terdiri atas seniman, para
tukang, pekerja, dan warga desa di seluruh kerajaan yang secara bergiliran dan
bergotong royong melakukan kerja bakti sukarela demi pengumpulan jasa
sebagaimana diajarkan oleh agama mereka.
Jadi
pada dasarnya pembangunan Candi Borobudur tidak akan berjalan jika tidak ada
seniman, dan tidak akan berjalan jika tidak di bantu oleh para
tukang,pekerja,dan para budak. Dan semuanya tidak akan tunduk jika tidak adanya
kewibawaan dari Raja Sailendra dalam meimpin pembangunan candi tersebut. Bisa
dikatakan, peranan budak dalam pembuatan Candi Borobudur memang tidak terlalu
vital karena semuanya bergotong royong dengan mempunyai tujuan yang sama yang
sesuai dengan ajaran agama mereka yaitu Buddha.
Wacana
mengenai budak di atas tidak jauh berbeda ketika dalam perkembangannya nanti
khususnya di Asia Tenggara para budak dilaporkan menjalankan semua jenis
pekerjaan, sebagai petani, pemanen tanaman dagang, nelayan, pelaut, pekerja
bangunan, pekerja tambang, buruh perkotaan, pengrajin, pekerja tekstil,
penghibur, gundik, pembantu rumah tangga, pedagang eceran, saudagar, juru
tulis, penerjemah, tabib, serdadu, dan bahkan menteri-menteri yang dipercaya
(Warren 1981: 221-8). Namun, jika kita mempertimbangkan “cara produksi budak”,
maka kita harus membedakan antara tenaga kerja budak yang dikelola secara
terpusat dan memungkinkan suatu skala produksi yang tidak dapat dilakukan pada
perekonomian yang berorientasi rumah tangga dengan mayoritas budak yang hubungan
penghambaannya berangsur-angsur berubah menjadi semacam bentuk pelayanan atau
anggota rumah tangga (Reid : 269).
Contoh
jenis yang pertama pasti berasal dari kota-kota, dimana rumah tangga perniagaan
paling makmur dipenuhi budak-budak yang berdagang, mengangkut barang, membuat
kapal dan berlayar untuk kepentingan tuan mereka. Di bidang manufaktur, banyak
dari kerajinan logam dan kerajinan lain yang terkait dengan persenjataan dan
peralatan perang terutama dikerjakan untuk raja dan hubungannya lebih
berdasarkan upeti ketimbang perbudakan. Kain tenun dan tekstil merupakan barang
manufaktur paling dan banyak menyerap tenaga kerja budak. Orang Belanda
mencatat bahwa perempuan-perempuan budak di Banten yang sedang tidak sibuk
memasarkan barang dagangan tuan mereka “berdiam di rumah dan menenun, sementara
yang lain memintal” (Lodewycksz 1598:129). Burger (1962:108) menguraikan bahwa
beberapa bupati Jawa sekitar tahun 1800 memiliki “pabrik-pabrik” penenunan
dengan 30 sampai 40 perempuan budak karena hutang dipekerjakan di pabrik-pabrik
itu. Karena itu barangkali penting untuk dicatat bahwa daerah-daerah Nusantara
yang paling banyak mengekspor tekstil, Sulawesi Selatan, khususnya Selayar, dan
Bali juga menjadi tempat akumulasi budak yang besar. Ketika John Anderson
(1826:312) mengunjungi pusat ekspor tekstil paling maju di Sumatera pada tahun
1820-an, dia mencatat bahwa “hampir setiap rumah di Batubara memiliki satu alat
tenun atau lebih; dan gadis-gadis budak terutama suku Batak memintal, mencelup,
dan menenun benang.”
Bidang pertanian yang merupakan
aktivitas perekonomian dominan di Asia Tenggara, jauh lebih sulit menunjukkan
dengan pasti adanya suatu sistem produksi budak bersifat jangka panjang,
meskipun sumber-sumber kita mengatakan hal itu. Dalam keadaan normal, para
petani memiliki rumah sendiri dan mempunyai banyak kebebasan mengelola waktu
mereka sendiri. Biasanya dia menikah pada saat membuka danmenyiapkan sebuah
lahan pertanian. Dia bekerja lebih keras tapi dalam kondisi lebih bebas
ketimbang budak rumah tangga. Weren (1981:221-222) menunjukkan suatu “cara produksi budak” dalam
pertanian Sulu, dan sesuatu yang agak mirip terdapat di kalangan Suku Kachin
(Leach 1965:232), di Selayar dan terkadang di tempat-tempat lain. Budak-budak
sering disuruh menggarap sebidang tanah yang belum diolah. Kendati tidak ada
konsep manajemen terpusat seperti latifundia
Romawi atau perkebunan besar Hindia Barat, status mereka disamakan dengan
abdi yang diharuskan mengirim sebagian hasil panen kepada tuan mereka. Kami
cenderung mengambil sudut pandang bahwa cara produksi yang secara signifikan
berbeda dengan persahayaan (serfdom), kendati mobilitas tenaga kerja
dimungkinkan oleh perbudakan yang kerap digunakan untuk membuka lahan-lahan
baru. Satu-satunya pengecualian adalah sistem produksi biji pala perkenier Belanda di Banda yang
mengerjakan ratusan tenaga kerja budak di perkebunan-perkebunan besar (Hanna
1978).
Peran
budak yang paling mencolok adalah pekerjaan rumah tangga dan penghibur, dan di
dalam peran itu status mereka sebagai budak sering ditegaskan karena menambah
tinggi derajat status majikan mereka. Ketika orang-orang Belanda tiba di
Banten, para bangsawan-saudagar istana sudah memiliki sejumlah budak yang
senantiasa menghibur mereka setiap malam dengan menyanyi dan menari.
Gadis-gadis penari Persia paling seronok di Banten dilaporkan menelan biaya
sekitar 2.000 hingga 3.000 guilder (Fryke 1692:78) untuk hiburan semalam
suntuk.
Bangsawan-bangsawan
Sulu dan warga kota Batavia memberi harga tinggi untuk budak-budak yang
berbakat memainkan alat music (Warren 1981: 225-226), dan kesenangan khusus
kedua masyarakat ini terhadap biola Eropa membantu menjelaskan bagaimana alat
music ini tersebar luas di dunia Melayu. Bisnis hiburan juga menjadi salah satu
bidang pekerjaan tenaga kerja budak atau semi-budak, apakah dalam bentuk
tradisional seperti pajoge Bugis
(Kennedy 1953:103-104) atau joget Melayu/Jawa
atau dalam bentuk pelacuran dan bujuk-rayu gadis-gadis bar modern.
Dalam
perkembangannya peran domestik para budak tampak dominan pada abad ke-18 dan
ke-19, khususnya di lingkungan rumah tangga orang Eropa. Kehidupan budak di
sini mungkin lebih mudah dan lebih aman dalam arti fisik. Jenjang naik seorang
budak selalu dengan menempelkan diri kepada seorang tuan yang kaya raya dan
berpengaruh. Dalam pengertian ini, pemilik budak Eropa di Batavia, Malaka, dan
Makasar, sebagai kelas berada yang cukup mapan, menghadirkan sejumlah harapan
bagi peningkatan nasib, walaupun tetap masih di dalam batas-batas penghalang rasial
yang tidak berlaku di tempat-tempat lain. (Reid 2004).
Budak-budak
biasanya diperlakukan tidak jauh berbeda dari anggota kelas-kelas sosial lebih
rendah di setiap waktu dan tempat. La Loubere (1691:77) mengupas dengan baik
masyarakat Siam abad ke-17:
“Majikan memiliki kekuasaan
sepenuhnya terhadap budak, kecuali membunuhnya; Dan ada banyak laporan bahwa
para budak dipukuli dengan kejam (sangat mungkin di sebuah negeri di mana
orang-orang merdeka pun bisa dicambuk dengan rotan) namun perbudakan di sana
begitu sangat anggun atau, jika kalian mau, Kebebasan adalah sesuatu yang
sangat hina, sehingga ada pepatah bahwa orang Siam rela menjualnya demi
mencicipi buah…Durian .”
Bagi
budak, kesengsaran paling nyata ialah bukan hilangnya kebebasan atau kesejahteraan,
melainkan kemungkinan di jual ke tempat jauh dimana nasib lebih mengerikan
sedang menantinya. Para budak kadang-kadang dikorbankan sebagai perlengkapan
beberapa kebutuhan ritual seperti upacara penguburan seorang kepala suku atau
pembangunan sebuah bangunan besar di Filipina, Sulawesi, Borneo, Nias, Birma,
Kamboja dan barangkali juga di tempat-tempat lain. Biasanya, budak yang baru
dibeli atau budak tawanan, atau budak lokal yang didakwa telah melakukan
sejumlah kejahatan, digunakan untuk keperluan itu. Sekalipun jarang terjadi,
kebiasaan tersebut masih dijalankan di Sulu, sehingga masih banyak diantara
budak yang di jual disana merasa khawatir mengalami nasib serupa (Warren
1981:199,249). Catatan-catatan perdagangan budak menegaskan bahwa mereka yang
di kirim jauh dari tempat asal, dan barangkali juga dari kerabat keluarga,
harus dirantai untuk mencegah agar mereka tidak melakukan perlawanan terhadap
penangkap mereka atau melemparkan diri dari geladak kapal. Karena tercerabut
dari lingkungan sanak keluarga, maka sifat seorang budak sebagai harta-bergerak
yang tidak berdaya sama sekali terungkap sangat jelas. Sekali pun budak
didapatkan oleh seorang pemilik dan dipekerjakan dalam lingkungan baru, ikatan
berupa rantai tersebut akan beralih wujud menjadi ikatan kebiasaan atau bahkan
kasih sayang. Selain kisah tentang budak yang mencoba melarikan diri, ada pula
banyak cerita tentang budak yang menolak melarikan diri atau bahkan menampik
dikembalikkan ke tempat asal meskipun terbuka kesempatan untuk itu (Warren
1981: 221,223).
Ada
sejumlah kisah mengerikan dari Batavia dan Maluku tentang bagaimana
penguasa-penguasa Belanda abad ke-17 dan ke-18 menghukum mati budak pelanggar
aturan dengan cara paling keji, tetapi tampaknya mereka pun menjatuhkan hukuman
serupa kepada orang-orang Indonesia merdeka atau orang Belanda yang
memberontak. Stereotip kekerasan terhadap budak yang digunakan oleh para
pembaharu Belanda untuk menghantam sistem perbudakan secara keseluruhan adalah
kekerasan jenis lain. Itu berupa penyiksaan lebih kejam yang dilakukan oleh
para nyonya di banyak rumah tangga orang Belandam biasanya tidak jauh berbeda
dalam tingkat pendidikan atau gaya hidup dengan budak-budak yang
mengelilinginya, terhadap setiap gadis budak cukup rupawan yang bisa membangkitkan
rasa cemburunya. Kisah sengsara disebabkan oleh kecemburuan semacam itu menjadi
legenda dalam lakon drama Van Hogendorp “Kraspoekoel” atau guritan lukisan
“Bathing Slave Girl” dari Hardouin (Hardouin dan Ritter 1855:71-94).
Dari
pemaparan di atas sudah dijelaskan mengenai peran dari seorang budak dan
kehidupan para budak di Asia Tenggara tepatnya, kembali pada kota-kota, baik
yang dikendalikan orang Eropa maupun orang Asia, kita dapat memahami mengapa
perbudakan terlihat sangat menonjol dalam kondisi perdagangan internasional
yang paling kokoh dan berhasil. Semua bandar pelabuhan Asia Tenggara yang
berjaya tergantung pada kedatangan dan bertahannya saudagar-saudagar kaya dari
berbagai latar belakang etnis, semuanya (setidak-tidaknya pada masa awal) terpaksa
bersandar pada hamba-hamba sahaya mereka sendiri ketimbang terikat sistem
tenaga kerja maupun perlindungan yang ada. Walaupun raja kerap berusaha
merendahkan saudagar-saudagar berpengaruh yang independen ini serta mencabut budak dan pelayan-pelayan mereka,
raja tidak akan pernah berhasil melakukannya tanpa menghancurkan seluruh basis
kemakmuran negara. Karena itu di kota-kota ini budak “pribadi” jauh mengungguli
budak negara (termasuk budak-budak VOC di Batavia), sehingga budak-budak negara
pun dianggap memiliki karakter sebagai harta milik yang dapat diperdagangkan.
Dampak Perkembangan Perbudakan
Terhadap Peradaban Di Asia Tenggara
Pada
perkembangannya sedikit demi sedikit perbudakan di Asia Tenggara mengalami
kemunduran, kemunduran perbudakan sebagai suatu pranata sedikit berhubungan
dengan tumbuhnya kesadaran moral. Moralitas yang patut dicontoh dapat pula
dilihat dalam ikatan hubungan perhambaan vertikal serta perlawanan terhadapnya
atas nama kesetaraan. Ada dua faktor struktural yang kelihatan berperan penting
dalam jangka panjang. Pertama, negara,
baik dalam bentuk kolonial maupun nasional, semakin mengendalikan seluruh
rakyat di bidang hokum, politik, kemiliteran, dan perpajakan yang dalam sistem
perhambaan menjadi tanggung jawab masing-masing patron. Kedua, pertambahan jumlah buruh-tani tunakisma miskin membuat kerja
upahan dan sistem eksploitasi menjadi lebih murah dan efisien.
Penghapusan
perbudakan secara berangsur-angsur bukan berarti pasar bebas kerja upahan sudah
berjalan di Asia Tenggara. Sejauh tersedia kerja upahan di abad ke-19, ini
terutama dilakukan oleh para imigran Cina yang tinggal di kota-kota.
Orang-orang Asia Tenggara sendiri agaknya menilai kerja upahan sebagai sesuatu
yang sama sekali asing dan dianggap merendahkan derajat manusia. Sebaliknya, sistem
perhambaan dan kerja wajib tradisional didefinisikan ulang dengan mengabaikan
hubungan-hubungan yang sangat terkait erat dengan perbudakan harta-bergerak
pada masa itu dinilai mahal dan tidak dibutuhkan lagi. Pemerintah kolonial
maupun pemerintah pribumi jelas memeperoleh kewenangan penuh bahkan pendapatan
cukup besar ketika mereka berhasil mengalihkan bentuk perbudakan pribadi
menjadi corvee untuk negara,
sebagaimana dicontohkan Spanyol di Filipina awal abad ke-16. Corvee dan perhambaan akibat hutang
kemudian berubah menjadi bentuk kerja yang dominan hampir di seluruh negara
Asia Tenggara pada abad ke-19 (Reid, 284).
Jika
melihat pemaparan di atas, jelaslah bahwa dampak dari perkembangan perbudakan
itu sendiri mengalami kemunduran dalam artian semua masyarakat mempunyai
kesadaran bahwa tindakan perbudakan sangat tidak manusiawi, dan hal itu
diperkuat dengan adanya Perjanjian Wina tahun 1815 dengan diikuiti
negara-negara yang memberlakukan perbudakan. Dalam perkembangannya, perbudakan
sendiri dihapuskan dan diganti dengan bentuk kerja, dan bersifat lebih
manusiawi. Hubungannya dengan sebuah peradaban adalah ketika kita melihat pada
abad ke-19 dan 20 peradaban di dunia dan Asia Tenggara khususnya sudah tidak
muncul lagi, peradaban disini adalah peradaban yang menghasilkan sebuah karya
nyata yang fenomenal (seperti Borobudur, Piramida di Mesir, dsb). Apakah hal
ini didasari karena tidak adanya lagi perbudakan dalam suatu masyarakat,
ataukah tidak adanya patron-klien yang nyata dalam kehidupan dalam suatu
negara? Dalam perkembangannya peradaban yang kita tahu pada masa kontemporer
ini jelas tidak ada hubungannya dengan perbudakan, semua masyarakat sudah
mempunyai hak-hak sendiri sehingga tidak dapat dijadikan budak.
Kesimpulan
Kebudayaan
menurut Koentjaraningrat dalam
bukunya, “Pengantar Ilmu Antropologi”
disebutkan bahwa kebudayaan berasal dari kata Sansekerta yaitu Buddhayah yaitu bentuk jamak dari budi
atau akal. Dengan demikian dikatakan bahwa kebudayaan itu berarti hal-hal yang
bersangkutan dengan akal (hlm:181). Dan peradaban adalah puncak-puncak dari
kebudayaan. Merupakan suatu anomali ketika kebudayaan yang merupakan hasil
karya, cipta dan karsa dari suatu bangsa atau masyarakat akan tetapi untuk
menghasilkan peradaban yang maju di dalamnya terdapat bentuk penindasan di
dalamnya yaitu salah satunya adalah perbudakan.
Perbudakan
sering diartikan sebagai penindasan yang dilakukan oleh kaum penguasa terhadap
kaum jelata yang biasanya hidup melarat. Kaum tertindas ini harus menjadi
pelayan bagi kaum minoritas ini dengan cara mengerjakan apa yang diperintahkan.
Mereka yang menjadi majikan ini dapat menguasai budak-budak tersebut karena
kemampuannya memiliki apa yang tidak dimiliki oleh para budak, seperti
kedudukan tinggi, dan harta yang berlimpah. Berbeda dengan para budak yang
tidak memiliki harta yang berlimpah, bahkan tidak memiliki apa-apa, dan
derajatnya dianggap lebih rendah. Kemampuan para budak ini memang sangat
terbatas, ditambah lagi dengan adanya ketidakberdayaan mereka terhadap
kesewenang-wenangan majikan.
Mereka
yang menjadi budak bukan tanpa alasan. Ada yang memang menjadi budak karena
keterpaksaan semata, tetapi ada pula yang diperbudak dengan sukarela.
Perbudakan yang dilakukan secara sukarela ini dapat terjadi karena adanya
hutang atau untuk melakukan balas budi terhadap orang yang telah menolongnya
dari kesusahan, atau terjadi disebabkan hukuman karena melakukan suatu
kesalahan. Di setiap masa serta wilayah yang berbeda, perbudakan memiliki
karakter yang berbeda pula.
Para
budak dilaporkan menjalankan semua jenis pekerjaan, sebagai petani, pemanen
tanaman dagang, nelayan, pelaut, pekerja bangunan, pekerja tambang, buruh
perkotaan, pengrajin, pekerja tekstil, penghibur, gundik, pembantu rumah
tangga, pedagang eceran, saudagar, juru tulis, penerjemah, tabib, serdadu, dan
bahkan menteri-menteri yang dipercaya (Warren 1981: 221-8). Namun, jika kita
mempertimbangkan “cara produksi budak”, maka kita harus membedakan antara
tenaga kerja budak yang dikelola secara terpusat dan memungkinkan suatu skala
produksi yang tidak dapat dilakukan pada perekonomian yang berorientasi rumah
tangga dengan mayoritas budak yang hubungan penghambaannya berangsur-angsur
berubah menjadi semacam bentuk pelayanan atau anggota rumah tangga.
Pada
perkembangannya sedikit demi sedikit perbudakan di Asia Tenggara mengalami
kemunduran, kemunduran perbudakan sebagai suatu pranata sedikit berhubungan
dengan tumbuhnya kesadaran moral. Moralitas yang patut dicontoh dapat pula
dilihat dalam ikatan hubungan perhambaan vertical serta perlawanan terhadapnya
atas nama kesetaraan. Ada dua factor structural yang kelihatan berperan penting
dalam jangka panjang. Pertama, negara,
baik dalam bentuk kolonial maupun nasional, semakin mengendalikan seluruh
rakyat di bidang hokum, politik, kemiliteran, dan perpajakan yang dalam sistem
perhambaan menjadi tanggung jawab masing-masing patron. Kedua, pertambahan jumlah buruh-tani tunakisma miskin membuat kerja
upahan dan sistem eksploitasi menjadi lebih muran dan efisien.
Pemerintahan
Eropa mulai mengambil langkah menentang perbudakan di koloni-koloni mereka pada
permulaan abad ke-19. Perdagangan budak
secara teoritis dilarang oleh parlemen Inggris pada 1807, dan pelarangan serupa
diberlakukan atas Perancis dalam perjanjian Wina tahun 1815. Negeri Belanda
bergerak kearah yang sama di tanah-tanah jajahannya pada 1818.
Kata Kunci: Perbudakan, Borobudur, Asia Tenggara
Daftar
Pustaka
Joesoef,
D. (2004). Borobudur. Jakarta: Buku
Kompas.
Kempers,
B. (1974). Mendut, Pawon, dan Borobudur.
Bandung: GANACO N.V.
Koentjaraningrat.
(1990). Pengantar Ilmu Antrpologi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Musa,
K. (1988). Geografi Asia Tenggara.
Jakarta: Depdikbud.
Notosusanto,
N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia II.
Jakarta: Balai Pustaka
Reid,
A. (2004). Sejarah Modern Awal Asia
Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Reid,
A. (2011). Asia Tenggara Dalam Kurun
Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Soekmono,
R. DR., Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1973
Sumber
Internet:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar