Revolusi
Kebudayaan adalah revolusi besar
yang terjadi di Cina antara
tahun 1966 dan 1969. Revolusi Kebudayaan merupakan
revolusi di segala bidang untuk mengembalikan Cina kepada ajaran Maoisme yang
dirasakan semakin lama semakin luntur karena digerogoti anasir-anasir Barat.
Revolusi ini digerakkan oleh Mao Tse Tung
sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat Presiden Liu Shaoqi dan
kelompoknya yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan
kapitalisme. Revolusi ini ditandai dengan dibentuknya Pengawal Merah, sebuah
unit paramiliter yang mayoritas anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang
mendukung Mao dan ajaran-ajaranya.
Revolusi
Kebudayaan sesungguhnya merupakan reaksi atas kegagalan pelaksanaan kebijakan
Lompat Jauh ke Depan, yang dicanangkan Mao Tse Tung pada awal 1958. Setelah
kegagalan ekonomi yang dramatis tersebut, Mao mundur dari jabatannya sebagai Presiden
Cina. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao
tetap menjadi Ketua Partai Komunis, namun dilepas dari tugas ekonomi
sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping
dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.
Liu
Shaoqi sebagai Presiden Cina, diberikan tugas untuk melakukan pemulihan dan
penyesuaian kembali keadaan perekonomian negara dari krisis besar dan kekacauan
parah yang menimpa Cina akibat gerakan Lompat Jauh ke Depan. Liu
mendapat tugas menstabilkan lagi perekonomian, setidaknya seperti keadaan
Pelita I dijalankan, sehingga upaya untuk mewujudkan pembangunan Cina ke arah
yang lebih baik dapat segera dilaksanakan.
Akhir
tahun 1970-an, perdebatan antara berbagai perspektif pokok pembangunan mulai
mereda. Pada saat ini muncul pandangan dari pengusung teori modernisasi Baru
yang merupakan revisi terhadap berbagai asumsi dasar teori modernisasi klasik.
Hasil kajian baru teori modernisasi tersebut telah menemukan beberapa wilayah
kajian yang baru pula. Perbedaan utama dari teori Modernisasi Klasik adalah
terletak pada hal-hal berikut :
1. Pada
teori Modernisasi Baru, aspek yang berkenaan dengan tradisi tidak dipandang sebagai
penghambat pembangunan. Malahan dipandang sebagai faktor positif. Sehingga
tidak mempertentangkan dengan tajam antara nilai-nilai tradisional dan modern.
2. Tidak
lagi menjadikan Negara-negara Barat sebagai satu-satunya model dan arah pembangunan.
Hal ini disebabkan secara metodologis
lebih memperhatikan hal-hal yang nyata dibanding sebelumnya yang lebih
abstrak dan tipologis. Faktor
kesejarahan sangat dipertimbangkan di
dalam menjelaskan pola perkembangan Negara tertentu.
3. Lebih
memperhatikan faktor internasional yang dianggap mempengaruhi pembangunan di
Dunia Ketiga, di samping lebih memperhatikan faktor konflik kelas, dominasi
ideologi dan peranan agama.
Akhirnya,
dapat disimpulkan Modernisasi Baru dalam koreksinya terhadap Teori Modernisasi
Klasik adalah bahwa pentingnya kembali kepada peran-peran nilai tradisional dan
kembali kepada analisis sejarah. Melalui
analisis sejarah, akan lebih memberikan perhatian kepada keunikan dari setiap
kasus untuk menjelaskan dan mendukung keabsahan teori. Kemudian, menghindari
penyajian analisa dan pernyataan yang simplisistik, dan hanya mengandalkan
analisa pada satu variable. Tetapi harus mengamati keseluruhan fenomena secara
simultan, dari berbagai pranata sosial (sosial,budaya, agama dan politik),
berbagai arah pembangunan, serta interaksi internal dan eksternal.
Setelah
gagalnya program lompatan jauh kedepan Mao mencanangkan untuk merekontruksi
rakyat china untuk menghidupkan lagi budaya leluhur yang pada program lompatan
jauh kedepan mulai di tinggalkan oleh rakyat China, ketika program revolusi
budaya di gaungkan kepada seluruh rakyat terjadi penutupan budaya barat dan
kembalinya konsep kuno china yang sampai saat ini banyak di anut oleh bangsa
china sehingga menurut saya teori modernisasi baru di china yaitu mengembalikan
budaya ke nilai-nilai tradisional sangat berhasil dikarenakan China memiliki
yang memang metafora pranata keluarga yang bagus diterapkan dalam bidang
perdagangan dan pembangunan.
Dalam
penelitian Wong, thesis tentang nilai-nilai tradisional yang kontra produktif
terhadap upaya pembangunan ekonomi tersebut berhasil dijawab dengan sebuah
bukti riil, justru metafora pranata keluarga telah cukup memberikan alasan
untuk legalitas hubungan antara patron (tuan/pemilik) dengan Klien (pekerja).
Secara ekonomis, hubungan paternalisme yang penuh dengan kebajikan itu telah
membantu para usahawan untuk menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang ada
di dalam industri yang sangat fluktuatif. Secara politis, jika para pekerja
merasa tidak puas terhadap kebijakan pengusaha, maka tidak aka nada perlawanan
secara kelompok, seperti melalui demo. Tetapi lebih diekspresikan secara
pribadi. Misalnya, dengan cara mangkir dari tempat kerja atau mengundurkan
diri.
Nepotisme,
bagi Wong dalam penelitiannya memperlihatkan sisi positif. Melalui nepotisme,
berbagai badan usaha di Hongkong berhasil mempertahankan eksistensinya. Melalui
sistem penggajian dan pembagian kerja, serta lama bekerja yang fleksibel, dan
pengusaha dapat memiliki kekuatan dan posisi yang kuat di dalam persaingan
antar perusahaan. Karena , di saat perusahaan mengalami masa kritis, para
pekerja yang cakap, terdiri dari sanak keluarga bisa dibayar murah atau ditunda
bayarannya. Ketika posisi perusahaan menjadi lebih baik bahkan tumbuh kembang
ke arah yang bagus, maka perusahaan membayar hutang mereka kepada para pekerja
dan mencoba lebih mensejahterakannya. Jika ada anggota keluarga menduduki
posisi manejerial, usahawan etnis Cina tersebut akan memberikan dan mencukupi
segala kebutuhannya, dan melengkapinya dengan pendidikan formal sekaligus
kesempatan untuk magang. Oleh karena itu, menurut Wong, tenaga menejer keluarga
sangat jarang memiliki standar mutu yang rendah.
Di
samping itu, tingginya tingkat kepercayaan terhadap antar anggota keluarga
kemudahan mencapai konsensus, kemampuan menutupi rahasia dan pengambilan
keputusan yang sangat cepat membuat perusahaan keluarga memiliki daya saing
yang kuat.
Oleh
karena itu, berdasar temuannya tersebut, Wong menyebutkan tiga karakteristik
pokok dari etos usaha keluarga. Pertama, konsentrasi yang sangat tinggi dalam
proses pengambilan keputusan, kendati dalam saat yang sama terdapat rendahnya
derajat usaha untuk memformalkan struktur organisasi. Kedua, Otonomi dihargai
sangat tinggi dan lebih menyukai bekerja secara mandiri dalam bentuk hubungan
kerja yang paternalistik, ketiga pengawasan yang ketat dengan delegasi wewenang
yang sekecil mungkin
Melihat keadaan china ketika revolusi
kebudayaan sangat relevan ketika saya mengaitkan revolusi kebudayaan dengan
teori modernisasi baru karena teori modernisasi baru berbicara tentang
paham-paham tradisional atau tradisi tradisional bukan sesuatu hal yang dapat
berpengaruh terhadap pembangunan dengan di buktikan penelitian wong yang
mengupas tentang industri keluaraga di China.
Created : Ami Abdullah Fahmi (Pend Sejarah UPI)
Created : Ami Abdullah Fahmi (Pend Sejarah UPI)
Ada beberapa pandangan yang tak bisa terlewatkan dalam pembahasan revolusi kebudayaan di Cina. Pertama adalah sosok Mao yang sangat ideologis. Kedua, revolusi kebudayaan Cina merupakan sebuah langkah untuk mengembalikan RRC pada landasan sosialis komunis. Ketiga, revolusi kebudayaan Cina merupakan penghancuran modernisasi kapitalis yang sudah merasuk ke dalam pemerintahan Cina.Revolusi kebudayaan yang terjadi di RRC tidak diartikan sebatas perubahan dalam bidang seni, sastra, dan budaya saja. Revolusi kebudayaan merupakan tindakan Mao dan pengikutnya yang ingin mengembalikan RRC pada garis sosialis yang telah dibangun sejak RRC merdeka.
BalasHapusGaris politik dan ideologi sosialis Mao terbentuk setelah membaca tiga buku penting, yaitu Manifesto Komunis terjemahan Chen Wang-tao, Pertarungan Kelas oleh Karl Kautsky dan Sejarah Sosialisme oleh Kirkupp. Pandangan-pandangan Mao sangat berpengaruh terhadap gerakan komunis di Cina. Saat menjadi pemimpin negara Cina, dia merupakan arsitek negara yang baru terbentuk tersebut. Dia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RRC yang baru terbentuk merupakan negara yang bisa melebihi Eropa. Tak hanya itu, Mao dengan Cina yang baru terbentuk itu juga ingin mengubah cara pandang dunia internasional terhadap bangsa Cina. Hal ini karena, Cina pada waktu itu dipandang sebagai bangsa yang miskin, bodoh, dan terbelakang.
Pemikiran Mao tentang negara sosialis menjadi sebuah paham yang disebut dengan Maoisme. Dia tidak hanya meluapkan ide tentang cara pandang proletariat, tapi dia juga mengikuti jejak Lenin dalam mendirikan sebuah negara komunis Uni Soviet. Maoisme juga dipandang sebagai keluwesan dalam menerapkan komunisme yang disesuaikan dengan situasi objektif negeri Cina.
Terkait dengan pembentukan sosialis komunisme di Cina, seperti dalam teori Marxis ortodoks, sebuah negara yang ingin melakukan revolusi sosialis proletariat harus melalui tahapan industri bourjois. Hal ini berdasarkan konsep materialisme dialektis. Di mana sintesis merupakan hasil pertentangan antara tesis dan antitesis. Cina dipandang tidak melalui tahapan industri bourjois terlebih dahulu. Dalam hal ini, intelektual di Amerika Latin berpendapat, bahwa bisa saja negara langsung menuju tahapan revolusi sosialis tanpa melalui tahapan industri bourjois.
Penerapan modernisasi klasik ataupun modernisasi baru merupakan bagian dari ideologi Barat kapitalis untuk mengeksploitasi sumber daya negara dunia ketiga semacam Cina pada waktu itu. RRC di bawah komunis bukanlah negara yang bergantung pada negara maju, meskipun pada waktu itu RRC dikatakan masih negara berkembang atau negara Dunia Ketiga.
Mao menginginkan Cina menjadi negara yang mandiri. Negara Dunia Ketiga bisa dikatakan sebagai negara yang menentang hegemoni ekonomi, politik, budaya, dan intelektual dari negara maju. Menurut saya, tindakan Mao dalam melakukan revolusi kebudayaan sebagai langkah untuk menghalang kaum intelektual kapitalis yang melakukan hegemoni Cina dalam berbagai bidang.
Pada dekade 1960-an, sebuah pendekatan dependensi muncul di Amerika Latin untuk menjawab persoalan bangsa negara Dunia Ketiga karena hegemoni negara maju. Ketidakmampuan negara maju dalam menyelesaikan persoalan ekonomi pada negara dunia ketiga telah mengakibatkan ketidakpercayaan para cendikiawan kiri. Konsep pembangunan ekonomi di Cina pun diperkuat dengan melakukan modernisasi tanpa meninggalkan landasan dan ideologi komunisme. Model pembangunan Cina menjadi daya tarik bagi negara dunia ketiga yang lain.