Singapura mengalami perubahan
strategi perekonomiannya dari industri subtistusi impor menjadi industri yang
berorientasi ekspor. Perubahan strategi perekonomiannya itu berawal dari
gagalnya merger antara Singapura dengan Malaysia, yang dimana penggabungan
tersebut dilakukan oleh kedua negara pada tahun 1963 dalam suatu wadah Federasi
Malaysia. Mengingat luas wilayah Singapura dan sumber daya alam
yang terbatas, maka Singapura merubah arah strategi perekonomiannya. Langkah
awal perjalanan ekonomi Singapura pasca hengkangnya dari Federasi Malaysia,
Pemerintah mengubah arah kebijakan Singapura menjadi negara Industri yang
berorientasi ekspor dan memanfaatkan letak geografisnya yang strategis menjadi
tempat perdagangan dan jasa internasional dengan mengajak perusahaan-perusahaan
internasional untuk mendirikan kantor cabangnya di Singapura.
Strategi industrialisasi yang
dilakukan Singapura diikuti dengan strategi menarik investor sebanyak-banyaknya
ke Singapura, mengingat modal pembangunan yang sangat terbatas dan terbatasnya
pula sumber daya manusia yang berkualitas pada saat itu. Serta pemanfaatan
Selat Malaka secara optimal sebagai
pelabuhan internasional dan jasa internasional yang dimana selat jalur laut
yang sangat strategis dan padat yang menghubungkan antara benua Eropa dengan
kawasan di Asia Tenggara
Modernisasi merupakan suatu
proses bertahap (Suwarsono-So, 1991: 21). Jelas bahwa
untuk mencapai segala sesuatu pun harus melalui proses yang ada. Rostow
memaparkan berbagai fase pertumbuhan ekonomi yang hendak dilalui masyarakat.
Dimulai dengan fase masyarakat tradisional, kemudian masuk kedalam fase
prakondisi tinggal landas, diikuti dengan tahapan tinggal landas, kemudian akan
dicapai tahap kematangan pertumbuhan, serta yang akan dicapai masyarakat dengan
konsumsi massa yang tinggi. Fase-fase yang dipaparkan oleh Rostow ini juga
dapat diterapkan dalam tahapan pertumbuhan ekonomi di Singapura. Diawali
masyarakat tradisional yang hanya sedikit sekali mengalami perubahan sosial.
Kemudian secara lambat laun memasuki tahap pra tinggal landas dimana sudah
terdapat perubahan karena adanya kaum usahawan ataupun sudah mulai adanya
industrialisasi. Walaupun sudah ada perubahan tetapi Rostow memandangnya hanya
sebagai prakondisi untuk mencapai tahap tinggal landas. Investasi menjadi hal
yang cukup penting dalam perubahan ke fase tinggal landas ini. Bahkan Rostow
menjelaskan bahwa faktor penentu untuk mencapai tahap tinggal landas dan
pertumbuhan ekonomi yang otonom dan berkelanjutan adalah pemilikan kemampuan
untuk melakukan investasi 10% dari pendapatan nasional (Suwarsono-So, 1991:
17). Dan ini memang terbukti, Singapura dapat tinggal landas karena menerapkan
peluang berinvestasi yang cukup besar kepada pihak asing.
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang otonom dan berkelanjutan Rostow
juga memaparkan, maka selanjutnya akan tercapai tahap kematangan pertumbuhan
dengan diikuti oleh pesatnya perluasan kesempatan kerja, meningkatnya
pendapatan Nasional, peningkatan permintaan konsumen, dan pembentukan pasar
domestik yang tangguh. Rostow memberikan label tahapan akhir ini sebagai
“masyarakat dengan konsumsi massa tinggi” (Suwarsono-So, 1991:17).
Perekonomian yang baik tentunya ditunjang pula oleh suasana politik yang
stabil pula. Itulah salah satunya yang dipertahankan oleh Singapura, mereka
berupaya untuk menjaga suasana politik yang stabil dan ditunjang oleh
terjaminnya keamanan dan pertahanan. Karena mereka sadar dengan keadaan bahwa
mereka hanya memiliki wilayah yang sempit dengan miskinnya sumber daya alam
yang dimiliki tetapi mereka sadar pula akan strategisnya posisi mereka. Dengan
begitu pelabuhan di Singapura ini merupakan pelabuhan yang cukup ramai bahkan
menjadi salah satu pelabuhan tersibuk di dunia. Dengan stabilnya politik maka
kebijakan untuk membuka investasi asing mendapat respon yang baik dari para
investor asing untuk berinvestasi di Singapura. Segala ketakutan-ketakuatan
menjadi hilang karena kestabilan politiknya dengan ditunjang oleh keamanan dan
pertahanan.
Selain itu, dukungan rakyat sangat menentukan. Pemerintah harus memastikan persetujuan rakyatnya
sendiri untuk politik luar negeri maupun npolitik dalam negerinya yang
dirancang untuk mengarahkan unsur-unsur kekuatan nasional supaya dapat
mendukung keduanya. Dalam kasus di Singapura yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang
pesat, dukungan rakyat mempunyai pengaruh yang cukup penting didalam menunjang pemerintahnya untuk melaksanakan
program-program pembangunan yang telah dibuatnya.
Apabila kita mencermati salah satu ciri pokok manusia modern seperti
yang disebutkan oleh Inkeles bahwa manusia modern percaya terhadap ilmu
pengetahuan, termasuk percaya akan kemampuannya untuk menundukan alam semesta.
Itulah yang dilakukan oleh penduduk Singapura dengan wilayahnya yang sempit
tapi mereka dapat menundukan alam dengan cara memanfaatkan alamnya yang sempit
tetapi dapat dijadikan menjadi tempat transito yang cukup ramai bahkan salah
satu yang tersibuk di dunia. Mereka juga aktif dalam percaturan politik tetapi
disiplin sehingga dapat dilihat bahwa tingkat korupsi di negara Singapura cukup
rendah. Itu juga sedikit banyaknya diakibatkan oleh faktor agama yaitu
konfusianisme seperti yang dinyatakan oleh Bellah dalam contoh kasusnya di
Jepang. Seperti di Cina, Konfusianisme menekankan pentingnya faktor efisiensi,
harmoni, dan sekaligus integrasi dari berbagai bagian yang berbeda dari
masyarakat dalam usaha produksi (Suwarsono-So, 1991: 38). Konfusianisme yang tertanam pada diri masyarakat etnis
Cina di Singapura membentuk suatu karakter sosial yang positif terhadap bangsa
Singapura sebagai bangsa yang tertib, bersih, teratur, nyaman. Hampir 70% warga Singapura berasal dari Cina dan beragama
Konfusianisme sehingga nilai-nilai konfusianisme yang
berkembang di Singapura juga turut mengkontribusi pada pembentukan kualitas
pemerintah.
Pola perubahan dalam
perekonomian di Singapura setelah berpisah dari Malaya berubah dari pola
tradisional menjadi modern dengan menggalakan industialisasi di negaranya.
Bahkan membuka peluang investasi asing selebar-lebarnya sepertti dipaparkan
diatas menjadi sesuai dengan apa yang disebutkan dalam persfektif teori
modernisasi memandang pertumbuhan ekonomi dalam sutu negara. Karena selain
bertahap, modernisasi juga merupakan proses sistemik dimana didalamnya ada
proses industrialisasi. Karena sifatnya yang sistemik dan transformatif maka
prosesnya akan berjalan terus-menerus. Teori ini berusaha untuk mengentaskan
kemiskinan bahkan mengajak negara dunia ketiga untuk meninggalkan
keterbelakangan. Berbeda dengan Indonesia sudah berusaha untuk berubah
meninggalkan keterbelakangan tetapi apa boleh buat mentalitasnya yang
masih belum kuat untuk menerima itu semua,
Singapura dapat berubah kearah yang progresif karena didukung oleh mentalitas
setiap penduduknya. Setiap kebijakan pemerintahnya didukung pula oleh setiap
warga masyarakatnya.
Sukses ekonomi Singapura dinilai tak bisa dilepaskan dari etika Konfusianisme yang menekankan pada kerajinan, inovasi, disiplin,
kesetiaan pada keluarga, penghormatan pada orang tua dan otoritas, selalu
mencari harmoni, dan sifat-sifat baik lainnya yang mendukung sukses. Bila dilihat dari teori
Modernisasi Baru, sebenarnya konfusianisme yang bersifat tradisional dapat
bergandengan dengan hal-hal modern. Awalnya tradisi itu dianggap sebagai
penghalang pembangunan dalam teori modernisasi tapi dalam kajian modernisasi
baru, justru tadisi seperti konfusianisme itu menjadi faktor positif yang dapat
mendukung pembangunan. Itu semua terbukti dalam proses pembangunan di Singapura
dimana hal-hal tradisional itu justru dapat mendorong bahkan mendukung
pembangunan di Singapura.
Selain faktor-faktor di atas, kesuksesan
Singapura tidak terlepas dari peran tokoh Lee Kuan Yew. Sebagai Perdana Menteri
pertama dari tahun 1965 sampai 1990, Lee merancang ekonomi Singapura dengan
keunggulan sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme (Soepriyatno,2008). Dari
sisi kapitalisme, Singapura membuka selebar-lebarnya peluang investasi asing
atau swasta sedangkan dari sisi sosialisme, sektor usaha strategis seperti
telekomunikasi, pembangunan infrastruktur seperti bandara, jalan raya, dan
lain-lain dikuasai Pemerintah. Infrastuktur yang handal pun akan mengundang
warga asing untuk berlibur dan tentu saja membelanjakan uang mereka di
Singapura sehingga menjadi penghasilan bagi negara.
Created : Nyanyang Engkus (Pend. Sejarah UPI)
Created by Widya Rakha Dania Fistani 0907127
BalasHapusJurusan Pendidikan Sejarah
Universitas Pendidikan Indonesia
KOMENTAR
Sungguh sangat menarik sekali materi yang diangkat oleh penyaji ini dalam melihat kesuksesan negara Singapura. Hal ini dikarenakan Singapura merupakan negara dengan luas wilayah minimal (luasnya tidak lebih dari pulau Jawa) dan sumber daya alam maupun sumber daya manusia terbatas tetapi dapat muncul ke permukaan kancah internasional sebagai negara yang patut diperhitungkan. Bahkan penyaji pun mengatakan bahwa Singapura merupakan pelabuhan tersibuk dan teramai ke lima di dunia.
Penulis merasa setuju sekali bila keberhasilan Singapura ini ditinjau dengan menggunakan teori modernisasi karena dengan menggunakan teori akan terlihat sekali perubahan tajam Singapura dari negara tradisional telah lepas landas menjadi negara modern. Kestabilan ekonomi Singapura pun didukung dengan kestabilan politiknya yang menjadikan Singapura sebagai negara nomor lima paling bersih dengan score 9,4 (rentang 0-10, 0=negara terkorup, 10=negara terbersih korupsi) menurut survei Transparency Internasional. Dibandingkan dengan negara Indonesia yang hanya mendapat score 2,2 yakni di urutan 132.
Tetapi dalam artikel yang ditulis penyaji kurang menampilkan sisi Lee Kuan Yew (walaupun sedikit disinggung), padahal penulis meresa justru Lee Kuan Yew inilah kunci dari kesuksesan yang diraih Singapura saat ini. Pada 1954, Lee bersama sekelompok rekan kelas menengah yang berpendidikan di Inggris membentukPartai Aksi Rakyat (PAP) untuk mendorong berdirinya pemerintahan Singapura yang berdaulat sehinggakolonialisme Britania Raya dapat berakhir. Lima tahun kemudian, pada 1959, Lee terpilih sebagai Perdana Menteri pertama Singapura, menggantikan mantanKepala Menteri Singapura, David Saul Marshall. Lee kembali terpilih menjadi PM untuk ketujuh kalinya berturut-turut dalam kondisi Singapura yang bercondong kepada demokrasi terbatas (1963, 1968,1972, 1976, 1980, 1984 dan 1988), hingga pengunduran dirinya pada November 1990 kemudian menjabat sebagai Menteri Senior pada kabinet Goh Chok Tong. Pada Agustus 2004, tatkala Goh mundur dan digantikan oleh anak Lee, Lee Hsien Loong, Goh menjabat sebagai Menteri Senior, dan Lee Kuan Yew menjabat posisi baru, yakni Menteri Penasihat. Selama masa kepemimpinan Lee sepanjang tiga dasawarsa, Singapura berkembang dari negara golongan Dunia Ketiga menjadi salah satu negara maju di dunia, walaupun dia mempunyai sedikit penduduk dan minimnya sumber daya alam. Lee kerap berkata bahwa satu-satunya sumber daya alam Singapura adalah rakyatnya dan ketekadan dalam bekerja. Hal inilah mungkin yang dimaksud penyaji dalam mengatakan bahwa Konfusianisme memegang andil dalam keberhasilan Singapura.
Selain daripada hal tersebut, penulis sangat menyayangkan bahwa artikel ini kurang berbumbu karena tidak menyajikan perbandingan. Perbandingan yang dimaksud misalkan perbandingan antara Singapura dengan Indonesia sehingga akan lebih jauh menarik dan menimbulkan pengetahuan baru yang semoga akan diikuti dengan suatu kesadaran. Walaupun tak jarang akan banyak menimbulkan kontroversi dikalangan pembacanya. Tetapi penulis yang merupakan warga negara Indonesia ini berharap kesuksesan Singapura akan menjadi suatu pembelajaran bagi masyarakat Indonesia untuk kembali bangkit menyongsong suatu perubahan ke arah ekonomi yang lebih baik. Karena penulis berpendapat bila ekonomi suatu bangsa stabil, faktor-faktor lainnya seperti politik, keamanan, budaya maupun sosial otomatis akan terbawa stabil.
Indonesia pun sebagian besar masyarakatnya adalah pemeluk agama Islam, seperti halnya Singapura yang sebagian besar masyarakatnya adalah penganut Konfusianisme. Jadi, mengapa semangat agama Islam tidak dapat ditularkan dalam etos kerja masyarakat Indonesia sebagaimana Konfusianisme menularkan pada etos kerja masyarakat Singapura? Mungkin kajian ini perlu ditelaah lebih lanjut. Tapi yang penulis harapkan semoga artikel ini beserta masukan-masukan dari penulis dapat bermanfaat bagi siapapun yang haus akan pengetahuan.