Jumat, 23 Desember 2011

Revolusi Kebudayaan China Dalam Perfective Teori Modernisasi Baru


Revolusi Kebudayaan adalah revolusi besar yang terjadi di Cina antara tahun 1966 dan 1969. Revolusi Kebudayaan merupakan revolusi di segala bidang untuk mengembalikan Cina kepada ajaran Maoisme yang dirasakan semakin lama semakin luntur karena digerogoti anasir-anasir Barat. Revolusi ini digerakkan oleh Mao Tse Tung sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat Presiden Liu Shaoqi dan kelompoknya yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kapitalisme. Revolusi ini ditandai dengan dibentuknya Pengawal Merah, sebuah unit paramiliter yang mayoritas anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang mendukung Mao dan ajaran-ajaranya.
Revolusi Kebudayaan sesungguhnya merupakan reaksi atas kegagalan pelaksanaan kebijakan Lompat Jauh ke Depan, yang dicanangkan Mao Tse Tung pada awal 1958. Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis tersebut, Mao mundur dari jabatannya sebagai Presiden Cina. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi Ketua Partai Komunis, namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.
Liu Shaoqi sebagai Presiden Cina, diberikan tugas untuk melakukan pemulihan dan penyesuaian kembali keadaan perekonomian negara dari krisis besar dan kekacauan parah yang menimpa Cina akibat gerakan Lompat Jauh ke Depan. Liu mendapat tugas menstabilkan lagi perekonomian, setidaknya seperti keadaan Pelita I dijalankan, sehingga upaya untuk mewujudkan pembangunan Cina ke arah yang lebih baik dapat segera dilaksanakan.
Akhir tahun 1970-an, perdebatan antara berbagai perspektif pokok pembangunan mulai mereda. Pada saat ini muncul pandangan dari pengusung teori modernisasi Baru yang merupakan revisi terhadap berbagai asumsi dasar teori modernisasi klasik. Hasil kajian baru teori modernisasi tersebut telah menemukan beberapa wilayah kajian yang baru pula. Perbedaan utama dari teori Modernisasi Klasik adalah terletak pada hal-hal berikut :
1.       Pada teori Modernisasi Baru, aspek yang berkenaan dengan tradisi tidak dipandang sebagai penghambat pembangunan. Malahan dipandang sebagai faktor positif. Sehingga tidak mempertentangkan dengan tajam antara nilai-nilai tradisional dan modern.
2.       Tidak lagi menjadikan Negara-negara Barat sebagai satu-satunya model dan arah  pembangunan.  Hal  ini  disebabkan secara  metodologis  lebih memperhatikan hal-hal yang nyata dibanding sebelumnya yang lebih abstrak dan  tipologis.  Faktor  kesejarahan  sangat  dipertimbangkan  di  dalam menjelaskan pola perkembangan Negara tertentu.
3.       Lebih memperhatikan faktor internasional yang dianggap mempengaruhi pembangunan di Dunia Ketiga, di samping lebih memperhatikan faktor konflik kelas, dominasi ideologi dan peranan agama.
Akhirnya, dapat disimpulkan Modernisasi Baru dalam koreksinya terhadap Teori Modernisasi Klasik adalah bahwa pentingnya kembali kepada peran-peran nilai tradisional dan kembali kepada  analisis sejarah. Melalui analisis sejarah, akan lebih memberikan perhatian kepada keunikan dari setiap kasus untuk menjelaskan dan mendukung keabsahan teori. Kemudian, menghindari penyajian analisa dan pernyataan yang simplisistik, dan hanya mengandalkan analisa pada satu variable. Tetapi harus mengamati keseluruhan fenomena secara simultan, dari berbagai pranata sosial (sosial,budaya, agama dan politik), berbagai arah pembangunan, serta interaksi internal dan eksternal.
Setelah gagalnya program lompatan jauh kedepan Mao mencanangkan untuk merekontruksi rakyat china untuk menghidupkan lagi budaya leluhur yang pada program lompatan jauh kedepan mulai di tinggalkan oleh rakyat China, ketika program revolusi budaya di gaungkan kepada seluruh rakyat terjadi penutupan budaya barat dan kembalinya konsep kuno china yang sampai saat ini banyak di anut oleh bangsa china sehingga menurut saya teori modernisasi baru di china yaitu mengembalikan budaya ke nilai-nilai tradisional sangat berhasil dikarenakan China memiliki yang memang metafora pranata keluarga yang bagus diterapkan dalam bidang perdagangan dan pembangunan.
Dalam penelitian Wong, thesis tentang nilai-nilai tradisional yang kontra produktif terhadap upaya pembangunan ekonomi tersebut berhasil dijawab dengan sebuah bukti riil, justru metafora pranata keluarga telah cukup memberikan alasan untuk legalitas hubungan antara patron (tuan/pemilik) dengan Klien (pekerja). Secara ekonomis, hubungan paternalisme yang penuh dengan kebajikan itu telah membantu para usahawan untuk menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang ada di dalam industri yang sangat fluktuatif. Secara politis, jika para pekerja merasa tidak puas terhadap kebijakan pengusaha, maka tidak aka nada perlawanan secara kelompok, seperti melalui demo. Tetapi lebih diekspresikan secara pribadi. Misalnya, dengan cara mangkir dari tempat kerja atau mengundurkan diri.
Nepotisme, bagi Wong dalam penelitiannya memperlihatkan sisi positif. Melalui nepotisme, berbagai badan usaha di Hongkong berhasil mempertahankan eksistensinya. Melalui sistem penggajian dan pembagian kerja, serta lama bekerja yang fleksibel, dan pengusaha dapat memiliki kekuatan dan posisi yang kuat di dalam persaingan antar perusahaan. Karena , di saat perusahaan mengalami masa kritis, para pekerja yang cakap, terdiri dari sanak keluarga bisa dibayar murah atau ditunda bayarannya. Ketika posisi perusahaan menjadi lebih baik bahkan tumbuh kembang ke arah yang bagus, maka perusahaan membayar hutang mereka kepada para pekerja dan mencoba lebih mensejahterakannya. Jika ada anggota keluarga menduduki posisi manejerial, usahawan etnis Cina tersebut akan memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya, dan melengkapinya dengan pendidikan formal sekaligus kesempatan untuk magang. Oleh karena itu, menurut Wong, tenaga menejer keluarga sangat jarang memiliki standar mutu yang rendah.
Di samping itu, tingginya tingkat kepercayaan terhadap antar anggota keluarga kemudahan mencapai konsensus, kemampuan menutupi rahasia dan pengambilan keputusan yang sangat cepat membuat perusahaan keluarga memiliki daya saing yang kuat.
Oleh karena itu, berdasar temuannya tersebut, Wong menyebutkan tiga karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Pertama, konsentrasi yang sangat tinggi dalam proses pengambilan keputusan, kendati dalam saat yang sama terdapat rendahnya derajat usaha untuk memformalkan struktur organisasi. Kedua, Otonomi dihargai sangat tinggi dan lebih menyukai bekerja secara mandiri dalam bentuk hubungan kerja yang paternalistik, ketiga pengawasan yang ketat dengan delegasi wewenang yang sekecil mungkin
Melihat keadaan china ketika revolusi kebudayaan sangat relevan ketika saya mengaitkan revolusi kebudayaan dengan teori modernisasi baru karena teori modernisasi baru berbicara tentang paham-paham tradisional atau tradisi tradisional bukan sesuatu hal yang dapat berpengaruh terhadap pembangunan dengan di buktikan penelitian wong yang mengupas tentang industri keluaraga di China.
Created : Ami Abdullah Fahmi (Pend Sejarah UPI)

1 komentar:

  1. Ada beberapa pandangan yang tak bisa terlewatkan dalam pembahasan revolusi kebudayaan di Cina. Pertama adalah sosok Mao yang sangat ideologis. Kedua, revolusi kebudayaan Cina merupakan sebuah langkah untuk mengembalikan RRC pada landasan sosialis komunis. Ketiga, revolusi kebudayaan Cina merupakan penghancuran modernisasi kapitalis yang sudah merasuk ke dalam pemerintahan Cina.Revolusi kebudayaan yang terjadi di RRC tidak diartikan sebatas perubahan dalam bidang seni, sastra, dan budaya saja. Revolusi kebudayaan merupakan tindakan Mao dan pengikutnya yang ingin mengembalikan RRC pada garis sosialis yang telah dibangun sejak RRC merdeka.

    Garis politik dan ideologi sosialis Mao terbentuk setelah membaca tiga buku penting, yaitu Manifesto Komunis terjemahan Chen Wang-tao, Pertarungan Kelas oleh Karl Kautsky dan Sejarah Sosialisme oleh Kirkupp. Pandangan-pandangan Mao sangat berpengaruh terhadap gerakan komunis di Cina. Saat menjadi pemimpin negara Cina, dia merupakan arsitek negara yang baru terbentuk tersebut. Dia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RRC yang baru terbentuk merupakan negara yang bisa melebihi Eropa. Tak hanya itu, Mao dengan Cina yang baru terbentuk itu juga ingin mengubah cara pandang dunia internasional terhadap bangsa Cina. Hal ini karena, Cina pada waktu itu dipandang sebagai bangsa yang miskin, bodoh, dan terbelakang.
    Pemikiran Mao tentang negara sosialis menjadi sebuah paham yang disebut dengan Maoisme. Dia tidak hanya meluapkan ide tentang cara pandang proletariat, tapi dia juga mengikuti jejak Lenin dalam mendirikan sebuah negara komunis Uni Soviet. Maoisme juga dipandang sebagai keluwesan dalam menerapkan komunisme yang disesuaikan dengan situasi objektif negeri Cina.

    Terkait dengan pembentukan sosialis komunisme di Cina, seperti dalam teori Marxis ortodoks, sebuah negara yang ingin melakukan revolusi sosialis proletariat harus melalui tahapan industri bourjois. Hal ini berdasarkan konsep materialisme dialektis. Di mana sintesis merupakan hasil pertentangan antara tesis dan antitesis. Cina dipandang tidak melalui tahapan industri bourjois terlebih dahulu. Dalam hal ini, intelektual di Amerika Latin berpendapat, bahwa bisa saja negara langsung menuju tahapan revolusi sosialis tanpa melalui tahapan industri bourjois.

    Penerapan modernisasi klasik ataupun modernisasi baru merupakan bagian dari ideologi Barat kapitalis untuk mengeksploitasi sumber daya negara dunia ketiga semacam Cina pada waktu itu. RRC di bawah komunis bukanlah negara yang bergantung pada negara maju, meskipun pada waktu itu RRC dikatakan masih negara berkembang atau negara Dunia Ketiga.

    Mao menginginkan Cina menjadi negara yang mandiri. Negara Dunia Ketiga bisa dikatakan sebagai negara yang menentang hegemoni ekonomi, politik, budaya, dan intelektual dari negara maju. Menurut saya, tindakan Mao dalam melakukan revolusi kebudayaan sebagai langkah untuk menghalang kaum intelektual kapitalis yang melakukan hegemoni Cina dalam berbagai bidang.
    Pada dekade 1960-an, sebuah pendekatan dependensi muncul di Amerika Latin untuk menjawab persoalan bangsa negara Dunia Ketiga karena hegemoni negara maju. Ketidakmampuan negara maju dalam menyelesaikan persoalan ekonomi pada negara dunia ketiga telah mengakibatkan ketidakpercayaan para cendikiawan kiri. Konsep pembangunan ekonomi di Cina pun diperkuat dengan melakukan modernisasi tanpa meninggalkan landasan dan ideologi komunisme. Model pembangunan Cina menjadi daya tarik bagi negara dunia ketiga yang lain.

    BalasHapus