Rabu, 07 Desember 2011

Perekonomian Singapura Pasca Kemerdekaan Dilihat Dari Perspektif Teori Modernisasi


Singapura mengalami perubahan strategi perekonomiannya dari industri subtistusi impor menjadi industri yang berorientasi ekspor. Perubahan strategi perekonomiannya itu berawal dari gagalnya merger antara Singapura dengan Malaysia, yang dimana penggabungan tersebut dilakukan oleh kedua negara pada tahun 1963 dalam suatu wadah Federasi Malaysia. Mengingat luas wilayah Singapura dan sumber daya alam yang terbatas, maka Singapura merubah arah strategi perekonomiannya. Langkah awal perjalanan ekonomi Singapura pasca hengkangnya dari Federasi Malaysia, Pemerintah mengubah arah kebijakan Singapura menjadi negara Industri yang berorientasi ekspor dan memanfaatkan letak geografisnya yang strategis menjadi tempat perdagangan dan jasa internasional dengan mengajak perusahaan-perusahaan internasional untuk mendirikan kantor cabangnya di Singapura.
Strategi industrialisasi yang dilakukan Singapura diikuti dengan strategi menarik investor sebanyak-banyaknya ke Singapura, mengingat modal pembangunan yang sangat terbatas dan terbatasnya pula sumber daya manusia yang berkualitas pada saat itu. Serta pemanfaatan Selat Malaka secara optimal sebagai pelabuhan internasional dan jasa internasional yang dimana selat jalur laut yang sangat strategis dan padat yang menghubungkan antara benua Eropa dengan kawasan di Asia Tenggara
 Modernisasi merupakan suatu proses bertahap (Suwarsono-So, 1991: 21). Jelas bahwa untuk mencapai segala sesuatu pun harus melalui proses yang ada. Rostow memaparkan berbagai fase pertumbuhan ekonomi yang hendak dilalui masyarakat. Dimulai dengan fase masyarakat tradisional, kemudian masuk kedalam fase prakondisi tinggal landas, diikuti dengan tahapan tinggal landas, kemudian akan dicapai tahap kematangan pertumbuhan, serta yang akan dicapai masyarakat dengan konsumsi massa yang tinggi. Fase-fase yang dipaparkan oleh Rostow ini juga dapat diterapkan dalam tahapan pertumbuhan ekonomi di Singapura. Diawali masyarakat tradisional yang hanya sedikit sekali mengalami perubahan sosial. Kemudian secara lambat laun memasuki tahap pra tinggal landas dimana sudah terdapat perubahan karena adanya kaum usahawan ataupun sudah mulai adanya industrialisasi. Walaupun sudah ada perubahan tetapi Rostow memandangnya hanya sebagai prakondisi untuk mencapai tahap tinggal landas. Investasi menjadi hal yang cukup penting dalam perubahan ke fase tinggal landas ini. Bahkan Rostow menjelaskan bahwa faktor penentu untuk mencapai tahap tinggal landas dan pertumbuhan ekonomi yang otonom dan berkelanjutan adalah pemilikan kemampuan untuk melakukan investasi 10% dari pendapatan nasional (Suwarsono-So, 1991: 17). Dan ini memang terbukti, Singapura dapat tinggal landas karena menerapkan peluang berinvestasi yang cukup besar kepada pihak asing.
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang otonom dan berkelanjutan Rostow juga memaparkan, maka selanjutnya akan tercapai tahap kematangan pertumbuhan dengan diikuti oleh pesatnya perluasan kesempatan kerja, meningkatnya pendapatan Nasional, peningkatan permintaan konsumen, dan pembentukan pasar domestik yang tangguh. Rostow memberikan label tahapan akhir ini sebagai “masyarakat dengan konsumsi massa tinggi” (Suwarsono-So, 1991:17).
Perekonomian yang baik tentunya ditunjang pula oleh suasana politik yang stabil pula. Itulah salah satunya yang dipertahankan oleh Singapura, mereka berupaya untuk menjaga suasana politik yang stabil dan ditunjang oleh terjaminnya keamanan dan pertahanan. Karena mereka sadar dengan keadaan bahwa mereka hanya memiliki wilayah yang sempit dengan miskinnya sumber daya alam yang dimiliki tetapi mereka sadar pula akan strategisnya posisi mereka. Dengan begitu pelabuhan di Singapura ini merupakan pelabuhan yang cukup ramai bahkan menjadi salah satu pelabuhan tersibuk di dunia. Dengan stabilnya politik maka kebijakan untuk membuka investasi asing mendapat respon yang baik dari para investor asing untuk berinvestasi di Singapura. Segala ketakutan-ketakuatan menjadi hilang karena kestabilan politiknya dengan ditunjang oleh keamanan dan pertahanan.
Selain itu, dukungan rakyat sangat menentukan. Pemerintah harus memastikan persetujuan rakyatnya sendiri untuk politik luar negeri maupun npolitik dalam negerinya yang dirancang untuk mengarahkan unsur-unsur kekuatan nasional supaya dapat mendukung keduanya. Dalam kasus di Singapura yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, dukungan rakyat mempunyai pengaruh yang cukup penting didalam menunjang pemerintahnya untuk melaksanakan program-program pembangunan yang telah dibuatnya.
Apabila kita mencermati salah satu ciri pokok manusia modern seperti yang disebutkan oleh Inkeles bahwa manusia modern percaya terhadap ilmu pengetahuan, termasuk percaya akan kemampuannya untuk menundukan alam semesta. Itulah yang dilakukan oleh penduduk Singapura dengan wilayahnya yang sempit tapi mereka dapat menundukan alam dengan cara memanfaatkan alamnya yang sempit tetapi dapat dijadikan menjadi tempat transito yang cukup ramai bahkan salah satu yang tersibuk di dunia. Mereka juga aktif dalam percaturan politik tetapi disiplin sehingga dapat dilihat bahwa tingkat korupsi di negara Singapura cukup rendah. Itu juga sedikit banyaknya diakibatkan oleh faktor agama yaitu konfusianisme seperti yang dinyatakan oleh Bellah dalam contoh kasusnya di Jepang. Seperti di Cina, Konfusianisme menekankan pentingnya faktor efisiensi, harmoni, dan sekaligus integrasi dari berbagai bagian yang berbeda dari masyarakat dalam usaha produksi (Suwarsono-So, 1991: 38). Konfusianisme yang tertanam pada diri masyarakat etnis Cina di Singapura membentuk suatu karakter sosial yang positif terhadap bangsa Singapura sebagai bangsa yang tertib, bersih, teratur, nyaman. Hampir 70%  warga Singapura berasal dari Cina dan beragama Konfusianisme sehingga nilai-nilai konfusianisme yang berkembang di Singapura juga turut mengkontribusi pada pembentukan kualitas pemerintah.
Pola perubahan dalam perekonomian di Singapura setelah berpisah dari Malaya berubah dari pola tradisional menjadi modern dengan menggalakan industialisasi di negaranya. Bahkan membuka peluang investasi asing selebar-lebarnya sepertti dipaparkan diatas menjadi sesuai dengan apa yang disebutkan dalam persfektif teori modernisasi memandang pertumbuhan ekonomi dalam sutu negara. Karena selain bertahap, modernisasi juga merupakan proses sistemik dimana didalamnya ada proses industrialisasi. Karena sifatnya yang sistemik dan transformatif maka prosesnya akan berjalan terus-menerus. Teori ini berusaha untuk mengentaskan kemiskinan bahkan mengajak negara dunia ketiga untuk meninggalkan keterbelakangan. Berbeda dengan Indonesia sudah berusaha untuk berubah meninggalkan keterbelakangan tetapi apa boleh buat mentalitasnya yang masih belum kuat untuk menerima itu semua, Singapura dapat berubah kearah yang progresif karena didukung oleh mentalitas setiap penduduknya. Setiap kebijakan pemerintahnya didukung pula oleh setiap warga masyarakatnya.
Sukses ekonomi Singapura dinilai tak bisa dilepaskan dari etika Konfusianisme yang menekankan pada kerajinan, inovasi, disiplin, kesetiaan pada keluarga, penghormatan pada orang tua dan otoritas, selalu mencari harmoni, dan sifat-sifat baik lainnya yang mendukung sukses. Bila dilihat dari teori Modernisasi Baru, sebenarnya konfusianisme yang bersifat tradisional dapat bergandengan dengan hal-hal modern. Awalnya tradisi itu dianggap sebagai penghalang pembangunan dalam teori modernisasi tapi dalam kajian modernisasi baru, justru tadisi seperti konfusianisme itu menjadi faktor positif yang dapat mendukung pembangunan. Itu semua terbukti dalam proses pembangunan di Singapura dimana hal-hal tradisional itu justru dapat mendorong bahkan mendukung pembangunan di Singapura.
Selain faktor-faktor di atas, kesuksesan Singapura tidak terlepas dari peran tokoh Lee Kuan Yew. Sebagai Perdana Menteri pertama dari tahun 1965 sampai 1990, Lee merancang ekonomi Singapura dengan keunggulan sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme (Soepriyatno,2008). Dari sisi kapitalisme, Singapura membuka selebar-lebarnya peluang investasi asing atau swasta sedangkan dari sisi sosialisme, sektor usaha strategis seperti telekomunikasi, pembangunan infrastruktur seperti bandara, jalan raya, dan lain-lain dikuasai Pemerintah. Infrastuktur yang handal pun akan mengundang warga asing untuk berlibur dan tentu saja membelanjakan uang mereka di Singapura sehingga menjadi penghasilan bagi negara.

Created : Nyanyang Engkus (Pend. Sejarah UPI)

1 komentar:

  1. Created by Widya Rakha Dania Fistani 0907127
    Jurusan Pendidikan Sejarah
    Universitas Pendidikan Indonesia

    KOMENTAR

    Sungguh sangat menarik sekali materi yang diangkat oleh penyaji ini dalam melihat kesuksesan negara Singapura. Hal ini dikarenakan Singapura merupakan negara dengan luas wilayah minimal (luasnya tidak lebih dari pulau Jawa) dan sumber daya alam maupun sumber daya manusia terbatas tetapi dapat muncul ke permukaan kancah internasional sebagai negara yang patut diperhitungkan. Bahkan penyaji pun mengatakan bahwa Singapura merupakan pelabuhan tersibuk dan teramai ke lima di dunia.
    Penulis merasa setuju sekali bila keberhasilan Singapura ini ditinjau dengan menggunakan teori modernisasi karena dengan menggunakan teori akan terlihat sekali perubahan tajam Singapura dari negara tradisional telah lepas landas menjadi negara modern. Kestabilan ekonomi Singapura pun didukung dengan kestabilan politiknya yang menjadikan Singapura sebagai negara nomor lima paling bersih dengan score 9,4 (rentang 0-10, 0=negara terkorup, 10=negara terbersih korupsi) menurut survei Transparency Internasional. Dibandingkan dengan negara Indonesia yang hanya mendapat score 2,2 yakni di urutan 132.
    Tetapi dalam artikel yang ditulis penyaji kurang menampilkan sisi Lee Kuan Yew (walaupun sedikit disinggung), padahal penulis meresa justru Lee Kuan Yew inilah kunci dari kesuksesan yang diraih Singapura saat ini. Pada 1954, Lee bersama sekelompok rekan kelas menengah yang berpendidikan di Inggris membentukPartai Aksi Rakyat (PAP) untuk mendorong berdirinya pemerintahan Singapura yang berdaulat sehinggakolonialisme Britania Raya dapat berakhir. Lima tahun kemudian, pada 1959, Lee terpilih sebagai Perdana Menteri pertama Singapura, menggantikan mantanKepala Menteri Singapura, David Saul Marshall. Lee kembali terpilih menjadi PM untuk ketujuh kalinya berturut-turut dalam kondisi Singapura yang bercondong kepada demokrasi terbatas (1963, 1968,1972, 1976, 1980, 1984 dan 1988), hingga pengunduran dirinya pada November 1990 kemudian menjabat sebagai Menteri Senior pada kabinet Goh Chok Tong. Pada Agustus 2004, tatkala Goh mundur dan digantikan oleh anak Lee, Lee Hsien Loong, Goh menjabat sebagai Menteri Senior, dan Lee Kuan Yew menjabat posisi baru, yakni Menteri Penasihat. Selama masa kepemimpinan Lee sepanjang tiga dasawarsa, Singapura berkembang dari negara golongan Dunia Ketiga menjadi salah satu negara maju di dunia, walaupun dia mempunyai sedikit penduduk dan minimnya sumber daya alam. Lee kerap berkata bahwa satu-satunya sumber daya alam Singapura adalah rakyatnya dan ketekadan dalam bekerja. Hal inilah mungkin yang dimaksud penyaji dalam mengatakan bahwa Konfusianisme memegang andil dalam keberhasilan Singapura.
    Selain daripada hal tersebut, penulis sangat menyayangkan bahwa artikel ini kurang berbumbu karena tidak menyajikan perbandingan. Perbandingan yang dimaksud misalkan perbandingan antara Singapura dengan Indonesia sehingga akan lebih jauh menarik dan menimbulkan pengetahuan baru yang semoga akan diikuti dengan suatu kesadaran. Walaupun tak jarang akan banyak menimbulkan kontroversi dikalangan pembacanya. Tetapi penulis yang merupakan warga negara Indonesia ini berharap kesuksesan Singapura akan menjadi suatu pembelajaran bagi masyarakat Indonesia untuk kembali bangkit menyongsong suatu perubahan ke arah ekonomi yang lebih baik. Karena penulis berpendapat bila ekonomi suatu bangsa stabil, faktor-faktor lainnya seperti politik, keamanan, budaya maupun sosial otomatis akan terbawa stabil.
    Indonesia pun sebagian besar masyarakatnya adalah pemeluk agama Islam, seperti halnya Singapura yang sebagian besar masyarakatnya adalah penganut Konfusianisme. Jadi, mengapa semangat agama Islam tidak dapat ditularkan dalam etos kerja masyarakat Indonesia sebagaimana Konfusianisme menularkan pada etos kerja masyarakat Singapura? Mungkin kajian ini perlu ditelaah lebih lanjut. Tapi yang penulis harapkan semoga artikel ini beserta masukan-masukan dari penulis dapat bermanfaat bagi siapapun yang haus akan pengetahuan.

    BalasHapus