Rabu, 20 Juni 2012

Perkembangan Agama Hindu di India



Oleh :
Sri Faida Wulandari (0907198)
Suci Apratiwi (0906334)
Abdul Aziz (0906075)
Hindu, dalam bahasa  Sanskerta, yaitu  Sanatana Dharma (Kebenaran Abadi)  dan Vaidika-Dharma (Pengetahuan Kebenaran). Secara etimologi bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu  Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda.
Tidak seperti agama lain di dunia, agama Hindu tidak mengklaim seorang pendiri agama saja, tidak menyembah satu dewa saja, tidak menganut satu dogma saja, tidak meyakini satu filsafat saja, tidak mengikuti satu macam ritual keagamaan saja. Memang, ia tidak muncul untuk menampilkan satu macam ciri tradisional yang sempit. Agama Hindu mungkin dapat digambarkan sebagai sebuah jalan kehidupan.
Perkembangan Agama Hindu di India
Sebagai dampak dari masuknya bangsa Arya pada sekitar abad 2500 SM yang mendesak bangsa Dravida untuk hijrah Ke Dekkan, maka Bangsa ini mengembangkan agama baru sebagai perkembangan agama sebelumnya. Agama sebelumnya dari bangsa Arya terdiri atas penyembahan terhadap dewa-dewa seperti penyambahan terhadap Dewa Cahaya atau Dewa Angkasa yang dianggap mereka berdiam di kayangan. Sedangkan Dewa Zeus atau Dewa Yupitar dari bangsa Yunani yang disebut sebagai Dyauspitar dianggap sebagai bapak langit. Kedudukan Dewa Dyauspitar kemudian tergeser oleh Dewa Langit lain yang bernama Varuna, yaitu Dewa pembuka cahaya dan penguasa alam semesta (Abu Su’ud,50:1988).
Bangsa Dravida sendiri pada awalnya sudah memilki kepercayaan yaitu memuja roh nenek moyang. Dan pada akhirnya Dari adanya dewa-dewa yang dipercaya oleh bangsa Arya  tersebut maka disatukanlah dengan dewa-dewa dari bangsa Dravida hingga lahirlah agama Hindu. Agama Hindu yang merupakan sinkretisme antara kebudayaan dan kepercayaan bangsa Aria dan bangsa Dravida. Terjadi perpaduan antara budaya Arya dan Dravida yang disebut Kebudayaan Hindu.
Dalam perkembangannya agama ini terdiri dari beberapa fase yaitu Jaman Weda, jaman Brahmana, dan jaman Upanisad.
Veda  Sekitar 1.500 – 1.000 Sm
Fase veda ini telah dimulai sejak terdesaknya bangsa Dravida yang lari ke Asia Selatan tepatnya di dataran tinggi Dekkan oleh bangsa Arya yang mulai memasuki India pada sekitar 2500-1500 SM. Sejak saat itu pula dikenal sistem kasta. Sistem ini juga menjadi inti dari ajaran Hindu itu sendiri. Sistem kasta itu terdiri dari Ksatria, Brahmana, Waisya serta Sudra. Ada satu lagi kasta yang dianggap paling buruk adalah kasta Paria. Kasta ini ada untuk orang-orang yang dikeluarkan dari kasta karena membuat kesalahan fatal dalam kastanya. Mereka hanya bisa kembali memasuki kasta setelah melakukan upacara Vradyastoma.
Sistem kasta yang menjelaskan Sistem kemasyarakatan yang tercipta dalam masyarakat Hindu itu , yaitu sebagai berikut:
1.       Brahmana, Kelompok brahmana ialah pemikir, ahli filsafat dan para rohaniawan agama Hindu.      (Su’ud,17:1988). Didalam masyarakat Hindu kaum brahamana ini bertugas mengurus soal kehidupan keagamaan. Mereka adalah orang yang paling mengerti mengenai seluk beluk agama Hindu, karena kegiatan sehari-harinya hampir selalu dikaitkan dengan kegiatan keagamaan selain itu ereka juga mempunyai peranan yang sangat besar bagi berjalannya pemerintahan, karena para brahman ini membimbing para warga dan juga memberikan nasehat terhadap raja dalam menjalankan pemerintahannya. Sehingga dalam uritan kasta ini para btahman menduduki posisi yang paling atas.
2.      Ksatria, Kaum elite dalam masyarakat beragama hindu terdiri dari kaum bangsawan yang mengelola kekuasaan duniawi dalam arti mereka adalah orang-orang yang berkewajiban menjalankan pemerintahan termasuk pertahanan Negara. Yang termasuk dalam golongan ini adalah raja beserta keluarganya, para pejabat pemerintah, dan para tentara.
3.      Waisya, kaum  yang memiliki profesi sebagai para pedagang besar, para pemilik modal maupun para petani kaya yang mempunayi lahi pertanian yang cukup luas. Walaupun berada dalam lapisan ketuga namun dalam golongan masyarakat biasa yang tergolong dalam golongan sudra ini mereka memiliki peran yang cukup penting. Karena mereka merupakan kaum yang memberikan nafkah bagi sudra karena mereka ini memperkerjakan sudra sebagai pekerja, buruh maupun budak. Selain itu para waisya ini merupakan kekuatan sosial yang menguasai sektor ekonomi dalam hal produksi dan distribusi.
4.      Sudra, biasanya masyarakat yang bermata pencaharian sebagi petani peternak, para pekerja, buruh, maupun budak, mereka ini adalah para pekerja kasar. Mereka mempunyai banyak kewajiban terutama wajib kerja tetapi keberadaannya kurang diperhatikan dan mereka yang berada dalam golongan ini menmduduki kedudukan yang kurang terhormat dalam masyarakatnya.
Selain, empat golongan tadi terdapat pula golongan yang berasa di luar kasta tersebut yang disebut dengan golongan Paria yang terdiri dari pengemis dan gelandangan.
Fase dalam Perkembangan Agama Hindu
Brahmana  Sekitar  800 – 300 Sm
Fase Brahmana yaitu disusunnya tata cara keagamaan dalam kitab suci agama Hindu yaitu Weda. Kitab ini selanjutnya dibagi menjadi 4 bagian yaitu Reg Weda, Yajur Weda, Samma Wedda serta Atharwa Weda. Reg Weda merupakan bentuk yang paling tua, yang terdiri dari 1028 lagu pujaan,dan sekarang terbagi dalam sepuluh buku (Su’ud, 1988).
1) Reg VedaReg Veda merupakan bentuk yang paling tua, yang terdiri dari 1.028 lagu pujian dan sekarang terbagi menjadi sepuluh buku. Berisi pemujaan terhadap bermacam-macam dewa dan dimaksudkan untuk dibacakan oleh para hotri yang merupakan pendeta utama pada upacara pengorbanan. (Su’ud, 1988).
2) Sama Veda
Memiliki kitab Tandya Brahmana yang dikenal dengan nama Panca Wimsa, memuat legenda kuna yang dikaitkan dengan upacara korban.
Sama weda terdiri dari ayat-ayat yang terdapat dalam Reg Weda yang diatur dalam suatu bentuk himne untuk dipergunakan oleh para udagatri atau para penyanyi lagu-lagu pujaan.( Su’ud,1988).
3) Yajur Veda
Memiliki beberapa buah kitab antara lain Taitirya Brahmana untuk Yajur Vedahitam/Kresna dan Yajur Veda Putih/Sukla.
Dalam yajur veda ini berbentuk prosa yang merupakan doa-doa yang harus diucapkan pendeta yang melakukan pujaan.
4) Atharva Veda
Memiliki Gopatha Brahmana. Dimana didalam arharava veda ini terdapat mantera-mantera dan rumus-rumus magis.
Perkembangan agama Hindu pada zaman Brahmana ditandai dengan memusatkan keaktifan pada rohani dalam upacara korban. Sehingga kedudukan kaum Brahmana mendapatkan perlindungan yang baik, karena dapat berpengaruh amat besar. Hal ini terlihat pada masa pemerintahan dinasi Chandragupta Maurya (322-298 sm) di kerajaan Magadha berkat bantuan Brahmana Canakya (Kautilya).
Fase Upanishad
Upanishad berasal dari kata Upa- nir- shad yang berarti duduk bersimpuh di dekat sang guru. (Su’ud,59:1988). Ajaran dalam upanishad lebih menekankan pada upaya seseorang manusia dalam membebaskan diri kesengsaraan yang terjadi dalam hidupnya dengan cara pemahaman atas hakekat hidup. Para pengikut ajaran ini tidak begitu mengutamakan mantra-mantra maupun pengorbanan seperti yang dilakukan pada fase brahmana maupun weda. Karena ada kepercayaan bahwa kebenaran maupun kejelekan itu semuanya larut dalam serapan btahman atau jiwa perorangan. Karena itu upacara kurban dan ritual mistik mulai berkurang namun ajaran moralaritas atau etika mulai meningkat. Dan kebanyakan orang percaya ini sebagai kendaraan untuk mencapai sorga. Para cendekiawan mulai penasaran melakukan penelitian kembali kitab suci Veda dan mengasilkan kitab-kitab Upanishad dan memproklamirkan bahwa sebuah kebebasan dari terang akal-budi bahwa ia mengetahui Tuhan, akan mencapai Tuhan dan ia sendiri adalah Tuhan.  
Dalam ajaran ini hambatan hidup dalam manusia itu adalah berupa keterikatan dengan raga manusia yang dianggap sebagai suatu siksaan atau yang dikenal dengan istilah samsara, diman hambatan itu terjadi karena adanya hukum perbuatan yang disebut dengan hukum karma. Dan cara yang digunakan untuk mempercepat pembebasan dari hukum karma ini adalah dengan cara yoga yang merupakan rentetan latihan fisik dalam sikap tertentu yang berpadu dengan pengendalian pikiran.
Dalam ajaran upanishad ini pada hakikatnya  Brahman dan Atman tidak berbeda, Brahman adalah asas kosmis, sedangkan Atman adalah asas hidup manusia. Oleh karena akikat Brahman sama dengan Atman maka sifat dari Atman adalah kekal dan abadi dia tidak pernah terlahir atau mati. Akan tetapi karena Atman bersatu dengan tubuh maka seolah-olah mengalami ia mengalami process kelahiran dan kematian berulang-ulang  artinya, setelah orang meninggal maka Atma-nya akan berpindah kebadan yang lain, dan seterusnya.
Didalam kitab upanisad dijelaskan bahwa setelah orang meninggal maka jiwanya akan pergi ke dunia nenek moyang melalui asap pembakaran. Perjalanan itu terjadi ketika matahari bergerak dari arah selatan ke utara. Didunia nenek moyang itulah perbuatan baik dan buruk dinikmati, setelah itu mereka akan menjelma kembali. Penjelmaan ini akan terjadi berulang-ulang sesui dengan hukum karma, sampai akhirnya Atma bersatu dengan Brahman atau Paramaatman. Keadaan bersatu ini yang disebut dengan Moksa. Jadi pada zaman upanisad ini ditafsirkan secara Jnana Kanda bahwa moksa itu tidak hanya dapat dicapai dengan upakara yadnya, etika, tapa brata, dan meditasi tetapi juga dengan pengetahuan mengenai Brahman). Oleh karena itu pada zaman ini tidak lagi hanya berkiblat keluar diri, kealam semesta saja namun mencari Brahman dalam diri sendiri melalui kosentrasi. 
Maka dari itu munculah konsep reinkarnasi atau proses kelahiran kembali dan dimana kelahiran sesorang setelah kematian itu ditentukan oleh perbuatannya selama hidup, dipercayai bahwa jika orang tersenut hidup dalam keadaan yang baik maka dia akan terlahir kembali menjadi mausia yang berada dalam posisi yang lebih tinggi dibandingkan sebelimnya dan sebaliknya jika dia hidup sebagai orang jahat maka ia akan terlahir kembali sebagai manusia yang hina dan rendah.
Sehingga dalam ajaran ini dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya dan mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu.
Fase Purana
Zaman purana menandai terjadinya evolusi Hindu di India, yaitu munculnya berbagai macam mazhab atau sekte. Meskipun demikian agama Purana mewarisi konsep-konsep keagamaan dari zaman Brahmana. Keduanya sama-sama menekankan praktik agama yang penuh dengan upacara. Agama Brahmana dan agama Purana mementingkan upacara yajna sebagai jalan untuk mencapai moksa. Hal ini diuraikan secara teliti dan mendalam dalam kitab Mimamsasutra. Ajaran yang mengajarkan pentingnya kedudukan yajna (Karma kandha) dalam agama Hindu ini dikembangkan dan diajarkan oleh para rshi pada zaman ini. Dengan pelopor-pelopornya antara lain, Rshi Prabhakaran, Rshi Kumarila Batta, dan masih banyak lagi. Ajaran ini rupanya mendapat sambutan yang luas di kalangan umat Hindu. Agama Hindu yang berdasarkan yajna, sebagaimana muncul sejak zaman Weda, Brahmana, dan Purana ini umumnya disebut Hindu ortodoks atau agama Brahmana-Smarta. Ajaran inilah yang menjadi agama rakyat India hingga akhir zaman Purana (sekitar 700 Masehi).
Akhir zaman Purana ditandai dengan terjadinya kekacauan di antara umat Hindu, akibat pertentangan yang hebat antara satu mazhab dengan mazhab yang lainnya. Setiap mazhab membenarkan prinsip-prinsip kepercayaan dan ajaran dari mazhab mereka sendiri dan menyalahkan kebenaran dari mazhab yang lain. Hal-hal yang dipertentangkan terutama mengenai ajaran Ahimsa. Di samping itu, juga mengenai upacara yajna, kurban binatang, vegetarian dan non-vegetarian, dan hal-hal prinsip lainnya. Pertentangan itu semakin memanas dan memuncak pada akhir zaman Purana. Selain itu, pertentangan antara pemeluk agama Hindu dan agama Buddha juga terus berlangsung.
 Sekte-Sekte Agama Hindu Di India
Pemujaan pada Dewa Wisnu: Satu-satunya aliran yang mendapatkan kemajuan sehingga bisa berkembang dengan pesat terutama pada masa Gupta yaitu vaisnava atau aliran yang memuja dewa wisnu sebagai dewa utama. Dan dalam menjalankan fungsinya sebagai dewa pemelihara jagat raya, wisnu mempunyai kemampuan untuk menjelma kedalam berbagai makhluk. Akibatnya Wisnu disembah dalam wujud penjelmaannya atau avatarnya.
Pemujaan pada  Dewa Siwa: Pemujaan pada dewa siwa menggambarkan Siwa sebagai maha pertapa dan sebagai pelindung para petapa. Menurut para penganutnya siwa juga melakukan penjelmaan tertentu yang nampaknya meniru aliran wisnu. Kecenderungan pendekatan diantara kedua aliran ini terlihat nyata dalam perpaduan bentuk penjelmaan Harihara. Tokoh ini merupakan gabungan dari gelar hari bagi wisnu dan hara bagi  Siwa. Pemujaan ini banyak dilakukan di daerah Deccan terutama pada masa Vijayanegara.
Pemujaan pada Sakti: Pemujaan terhadap para dewa perempuan yang nampaknya berkembang disepanjang waktu di india, yang bermula pada masa kebudayaan Harrapa dilembah sungai Indus. Pemujaan itu merupakan kelangsungan dari rasa ketergantungan mereka terhadap dewi kesuburan karena ketergantungan mereka pada tanah pertanian.
Sekte Brahma : sebagai pencipta yang menurunkan Sekte Agni, Sekte Rudra, Sekte Yama, dan Sekte Indra. Sekte adalah jalan untuk mencapai tujuan hidup menurut Agama Hindu, yaitu moksha (kembali kepada Tuhan), dan pemeluk Hindu dipersilahkan memilih sendiri aliran yang mana menurutnya yang paling baik/bagus.
Kemunduran Agama Hindu Abad Ke 6 Sm Di India
Pada abad 6 SM terjadi proses penbaharuan dalam bidang keagamaan yang terus berkembang dan berkelanjutan. Hal ini terjadi karena mereka ingin bebas dari dominasi para brahman. Dua ajaran yang muncul pada masa itu adalah jainisme dan budhisme. Kedua ajaran ini pada dasarnya tidak menolak keberadaan dewa-dewa karena itu banyak orang yang mudah masuk kedalam ajaran ini karena tanpa harus meninggalkan kepercayaan pada dewa-dewa, kan tetapi dalam ajaran budhisme dapat dikatakan anti kasta yang ada dalam masyarakat hindu. Tentu saja hal ini disambut baik oleh para kaum yang merasa di diskrimimnasi oleh kasta.

Pengaruh Peradaban Timur (China) di Asia Tenggara

Oleh :

Amaliatul Hubbillah               0906092
Amiruddin Adi P                     0906910
Citra Antika                           0906652
1.      Awal Pradaban Asia Tenggara
Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan kuno di dunia jika dilihat adanya penduduk yang hidup di wilayah ini. Hal ini dilihat dari banyaknya penemuan fosil-fosil manusia purba di beberapa wilayah Asia Tenggara, terutama di Indonesia. Kawasan ini, pada masa protosejarah sebenarnya merupakan wilayah yang dinamis dalam perkembangan kebudayaannya. Wilayah tersebut merupakan terminal migrasi bangsa yang datang dari arah Asia kontinental. Dalam upaya menempati wilayah yang baru saja dihuni, manusia migran dari daratan Asia mengembangkan kebudayaannya yang akan menjadi dasar perkembangan kebudayaan Asia Tenggara hingga kini.
Setelah beberapa ratus abad bermukim di daratan Asia Tenggara, orang-orang yang kemudian mengembangkan kebudayaan Austronesia tersebut, sebagian ada yang melanjutkan migrasinya ke wilayah kepulauan, menyebar ke arah kepulauan Nusantara dan juga Filipina, bahkan terus berlanjut ke arah pulau-pulau di Samudera Pasifik. Menurut Robert von Heine Geldern, migrasi ke arah wilayah kepulauan terjadi dalam dua tahap, yaitu:
a.    Tahap pertama berlangsung dalam kurun waktu antara 2500--1500 SM
b.    Tahap kedua berlangsung dalam kurun waktu yang lebih muda antara  1500—500 SM (Von Heine Geldern  1932 and 1936; Soejono 1984: 206--208).
Kesimpulan tersebut didasarkan kepada berbagai penemuan arkeologi, antara lain monument-monumen dari tradisi megalitik yang tersebar di berbagai wilayah Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Gelombang pertama menghasilkan kebudayaan megalitik tua dengan cirinya selalu menggunakan batu-batu alami besar, sedikit pengerjaan pada batu, dan minimnya ornament. Dalam gelombang kedua migrasi dihasilkan kebudayaan megalitik muda yang mempunyai cirri, batu-batu tidak selalu berukuran besar, telah banyak pengerjaan pada batu, dan juga telah banyak digunakan ornamen dengan beragam bentuknya. Megalitik muda itu telah menempatkan nenek moyang bangsa-bangsa Asia Tenggara dalam era proto-sejarah. Bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan megalitik muda, kemahiran mengolah bijih logam telah maju, sehingga masa itu juga telah dihasilkan benda-benda dari perunggu dan besi.
Sebagai makhluk yang belum berperadaban, pada mulanya mereka hidup dengan cara berburu binanatng-binatang liar dengan cara nomaden. Namun seiring berkembangnya anak keturunannya, mereka mulai memikirkan suatu pola hidup yang baru. Dan mulailah mereka menetap yang kemudian berkembang dari sistem perburuan menjadi pertanian, meski pada mulanya mereka tetap mempertahankan perburuan. Namun pada perkembangannya, mereka mulai menemukan sistem bercocok tanam yang baik dan mengumpulkan bahan makanan.
Ketika migrasi telah mulai jarang dilakukan, dan orang-orang Austronesia telah menetap di beberapa wilayah Asia Tenggara, terbukalah kesempatan untuk lebih mengembangkan kebudayaan secara lebih baik lagi. Berdasarkan temuan artefaknya, dapat ditafsirkan bahwa antara abad ke-5 SM hingga abad ke-2 M, terdapat bentuk kebudayaan yang didasarkan kepada kepandaian seni tuang perunggu, dinamakan Kebudayaan Dong-son. Penamaan itu diberikan atas dasar kekayaan situs Dong-son dalam beragam artefaknya, semua artefak perunggu yang ditemukan dalam jumlah besar dengan bermacam bentuknya. Dong-son  sebenarnya nama situs yang berada di daerah Thanh-hoa, di pantai wilayah Annam (Vietnam bagian utara). Hasil-hasil artefak perunggu yang bercirikan ornament Dong-son ditemukan tersebar meluas di hampir seluruh kawasan Asia Tenggara, dari Myanmar hingga kepulauan Kei di Indonesia timur.
Bermacam artefak perunggu yang mempunyai ciri Kebudayaan Dong-son, contohnya nekara dalam berbagai ukuran, moko (tifa perunggu), candrasa (kampak upacara), pedang pendek, pisau pemotong, bejana, boneka, dan kampak sepatu. Ciri utama dari artefak perunggu Dong-son adalah kaya dengan ornamen, bahkan pada beberapa artefak hampir seluruh bagiannya penuh ditutupi ornamen. Hal itu menunjukkan bahwa para pembuatnya, orang-orang Dong-son (senimannya) memiliki selera estetika yang tinggi (Wagner 1995: 25—26). Kemahiran seni tuang perunggu dan penambahan bentuk ornamen tersebut kemudian ditularkan kepada seluruh seniman sezaman di wilayah Asia Tenggara, oleh karenanya artefak perunggu Dong-son dapat dianggap sebagai salah satu peradaban pengikat bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Seorang ahli sejarah Kebudayaan bernama J.L.A.Brandes pernah melakukan kajian yang mendalam tentang perkembangan kebudayaan Asia Tenggara dalam masa proto-sejarah. Brandes menyatakan bahwa penduduk Asia Tenggara daratan ataupun kepulauan telah memiliki 10 kepandaian yang meluas di awal tarikh Masehi sebelum datangnya pengaruh asing, yaitu:
1.         Telah dapat membuat figur boneka
2.         Mengembangkan seni hias ornamen
3.         Mengenal pengecoran logam
4.         Melaksanakan perdagangan barter
5.         Mengenal instrumen musik
6.         Memahami astronomi
7.         Menguasai teknik navigasi dan pelayaran
8.         Menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan  pengetahuan
9.         Menguasai teknik irigasi
10.     .Telah mengenal tata masyarakat yang teratur
Pencapaian peradaban tersebut dapat diperluas lagi setelah kajian-kajian terbaru tentang kebudayaan kuno Asia Tenggara yang telah dilakukan oleh G.Coedes. Beberapa pencapaian manusia Austronesia penghuni Asia Tenggara sebelum masuknya kebudayaan luar.
Di bidang kebudayaan materi telah mampu:
·            Kemahiran mengolah sawah, bahkan dalam bentuk terassering dengan teknik irigasi yang cukup maju
·            Mengembangkan peternakan kerbau dan sapi
·            Telah menggunakan peralatan logam
·            Menguasai navigasi secara baik
Pencapaian di bidang sosial
·            Menghargai peranan wanita dan memperhitungkan keturunan berdasarkan garis ibu
·            Mengembangkan organisasi sistem pertanian dengan pengaturan irigasinya
Pencapaian di bidang religi:
·            Memuliakan tempat-tempat tinggi sebagai lokasi yang suci dan keramat
·            Pemujaan kepada arwah nenek moyang/leluhur (ancestor worship)
·            Mengenal penguburan kedua (secondary burial) dalam gentong, tempayan, atau sarkopagus.
Dalam hal religi penduduk kepulauan Indonesia masa itu mengenal upacara pemujaan kepada arwah nenek moyang (ancestor worship). Kekuatan supernatural yang dipuja umumnya adalah arwah pemimpin kelompok atau ketua suku yang telah meninggal. Sebagai sarana pemujaannya didirikan berbagai monumen megalitik, antara lain punden berundak, menhir, dolmen, kubur batu, batu temu gelang, dan lain-lain.

2.       Masuknya Pengaruh Cina

Kebudayaan Austronesia  tidak mungkin berkembang sendiri di wilayah Asia Tenggara, karena kawasan tersebut menjadi arena pertemuan dua kebudayaan besar Asia yang telah lama berkembang, kedua kebudayaan itu adalah India dan Cina. Di awal tarikh Masehi, dalam periode protosejarah, dapat dipastikan banyak pelaut dan niagawan dari Cina dan India saling berkunjung. Para pelaut tersebut sudah pasti melalui laut, selat, dan pantai-pantai Asia Tenggara. Pada masa itulah terjadi interaksi antara para pelaut Cina dan India dengan penduduk Asia Tenggara yang merupakan bangsa besar Austronesia yang telah mengalami diasporanya.
Kebudayaan bangsa-bangsa di Asia Tenggara (baca: Austronesia) akhirnya diperkaya dengan diterimanya pengaruh dua kebudayaan besar Asia pada masa itu. Maka tidak mengherankan apabila banyak aspek kebudayaan yang datang dari India dan Cina kemudian diterima oleh sub-bangsa-bangsa Austronesia di Asia Tenggara.
Apabila diperhatikan secara saksama, maka banyak bangsa Asia Tenggara yang pada awal tarikh Masehi justru menerima kebudayaan India. Penduduk di wilayah Jawa, Sumatera, Bali, Semenanjung Malaysia, Tumasik (Singapura), Thailand, Khmer, Champa, Myanmar yang menerima aspek-aspek budaya India. Adapun Laos dan Vietnam banyak dipengaruhi oleh budaya Cina, walaupun pengaruh kebudayaan India  meninggalkan pula jejaknya–walau sedikit–di Laos dan Vietnam. Filipina agaknya lebih lama berada dalam masa proto-sejarah dan tetap mengembangkan kebudayaan Austronesia yang awal. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang dapat dilacak di Filipina, dapat ditafsirkan bahwa Filipina tidak banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan India atau Cina. Penduduk Filipina selatan langsung menerima agama Islam dalam abad ke-15, sedangkan penduduk Filipina di pulau-pulau bagian utara yang masih mengembangkan kebudayaan Austronesia langsung bergaul dan menerima kebudayaan Spanyol yang mengembangkan agama Katholik.
Apabila dibuat prosentasinya negara-negara Asia Tenggara yang mendapat pengaruh budaya India dan yang mendapat pengaruh budaya Cina di awal tarikh Masehi,  maka keluarlah angka 70 % untuk budaya India, 20 % untuk budaya Cina, dan 10 % yang masih mengembangkan budaya Austronesianya, artinya tidak mendapat pengaruh dari dua kebudayaan tersebut. Sebenarnya hanya 3 aspek yang diterima dari kebudayaan India oleh kebudayaan sub-bangsa-bangsa Austronesia di Asia Tenggara, yaitu (1) agama Hindu-Buddha, (2) penggunaan aksara Pallawa yang menjadi dasar terbentuknya aksara-aksara tradisional Asia Tenggara, dan (3) sistem kalender Saka. Berpijak kepada 3 hal itulah maka kebudayaan Austronesia menjadi lebih pesat berkembang memasuki zaman sejarahnya. Sumbangan dari kebudayaan Cina yang mengendap dan menjadi dasar perkembangan perkembangan kebudayaan selanjutnya hampir sedikit dirasakan oleh orang-orang Austronesia, kecuali pengaruh politik yang dirasa lebih dominan dari pada India. Banyak sumber sejarah Asia Tenggara selalu menyatakan bahwa raja-raja yang baru dilantik akan mengirimkan utusan ke Cina sebagai informasi atas kedudukan barunya dan seperti meminta pengesahan dari para kaisar Cina.
Bangsa-bangsa Asia Tenggara telah memiliki benih dari perkembangan peradabannya. Datangnya pengaruh kebudayaan India, Cina, dan Islam, sejatinya bagaikan air penyiram benih yang siap disemaikan. Benih itulah yang mengakar jauh sejak masa prasaejarah lalu memasuki era protosejarah dan akhirnya menembus zaman sejarah. Akar yang sama itu dimiliki oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara, akar tersebut berupa segala pencapaian yang telah berhasil diraih oleh bangsa Austronesia sebelum pengaruh luar memperkaya kebudayaan mereka. Akar itu adalah segala kepandaian yang dimiliki bangsa Austronesia dalam masa prasejarah sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu. Kemudian masuklah berbagai aspek kebudayaan dari India  dan Cina.
Cina memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang. Beberapa abad yang lalu, Cina menyebut dirinya sebagai “Kerajaan Tengah”. Cina menyumbang kebudayaan yang cukup besar di kawasan Asia Tenggara, terutama Vietnam yakni berupa agama, budaya hingga ide-ide. Masuknya budaya Cina ke Asia Tenggara, terjadi akibat adanya perdagangan antar pedagang Cina dan Asia Tenggara.

Selasa, 19 Juni 2012

Pengaruh Restorasi Meiji terhadap Modernisasi Jepang

Oleh :
M Nur Kholis Majid (0906059)
Muhammad Fitrah   (0906734)
Listiani Chofia B       (0908891)
Restorasi meiji yang dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin merupakan suatu kegiatan pembaharuan sehingga menyebabkan perubahan dalam struktur politik serta sosial masyarakat jepang. Sebelum tahun 1853 jepang merupakan Negara yang tertutup dari bangsa asing terutama ketika dibawah pemerintahan Shogun Tokugawa. Pada masa pemerintahan Tokugawa dijalankan sebuah politik isolasi atau bisa juga disebut dengan politik Sakoku, yang artinya menutup diri (Negara) untuk berhubungan dengan dunia internasional. Dalam hal perdagangan hanya orang-orang China dan Belanda yang diperbolehkan untuk melakukan perdagangan ke Jepang dan itu pun terbatas dan hanya pada waktu-waktu tertentu. Dorongan modernisasi Jepang pada akhirnya muncul ketika Angkatan Laut Amerika datang ke Jepang di bawah pimpinan Laksamana Perry. Kemudian terjadi perundingan antara Amerika dengan Shogun yang saat itu memimpin Jepang yang ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Shimoda oleh Shogun. Secara garis besar isi dari perjanjian tersebut adalah pembukaan Jepang bagi Amerika, maksudnya bahwa Amerika diperbolehkan untuk datang dan masuk ke Jepang untuk melakukan perdagangan dan hubungan luar negeri.
Perjanjian antara Shogun dan Amerika tersebut telah mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan anti Shogun serta timbul gerakan-gerakan untuk memperkuat kekuasaan Tenno. Oleh karena itu setelah terjadinya Restorasi Meiji terdapat beberapa perubahan dalam struktur politik, militer, sosial, ekonomi maupun pendidikan masyarakat Jepang.
Politik
Dalam bidang politik langkah pertama yang diambil oleh Kaisar Meiji adalah memindahkan ibukota pemerintahan Jepang dari Kyoto  ke Yedo yang kemudian diganti namanya dengan Tokyo. Langkah selanjutnya dalam politik dan pemerintahan di Jepang adalah sebagai berikut:
a.       Diciptakan bendera kebangsaan Jepang Hinomaru beserta lagu kebangsaannya Kimigayo.
b.      Shintoisme dijadikan sebagai agama nasional
c.       Disusunnya Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi Jepang
d.      Dibentuk parlemen dan cabinet
e.       Tenno menjadi kepala Negara yang bersifat sebagai Dewa Abadi
f.       Hapusnya sistem feodalisme yang berkembang dan dilaksanakan pada masa shogun Tokugawa
g.      Terjadinya penghapusan daimyo dan jabatan Shogun dan samurai dibubarkan. Hal tersebut mengakibatkan perubahan kedudukan, para Daimyo diangkat sebagai pegawai negeri dan samurai dijadikan sebagai tentara nasional. Selain tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh para daimyo dan bangsawan diserahkan kepada Tenno.
Militer
Dalam hal militer terdapat dua peranan besar yang mempengaruhi pembaharuan angkatan perang yaitu Choshu dan Satsuma. Choshu yang memegang angkatan darat lebih condong ke Jerman dalam angkatan perangnya. Sedangkan Satsuma yang menguasai angkatan laut lebih condong ke Inggris dalam kekuatan militernya. Bersamaan dengan modernisasi angkatan perang tersebut dihidupkan kembali dengan ajaran Bushido sebagai jiwa kemiliterannya. Selain itu tiap-tiap warga Negara yang berumur sudah 20 tahun dikenakan wajib militer dan untuk prakteknya dikirim ke daerah-daerah perbatasan yang berbahaya. Posisi kementerian pertahanan tidak bertanggungjawab terhadap parlemen tetapi kepada Tenno. Dengan demikian kementerian pertahanan memiliki kedudukan yang sangat kuat hingga pada akhirnya ia dapat menjelma menjadi Gunbatsu ( Pemerintahan Diktator Militer).
Salah satu yang menjadi gejolak dalam pemerintahan jepang dari bidang militer adalah dengan dilaksanakannya pembubaran samurai yang diganti menjadi tentara nasional. Hal tersebut dilakukan agar ada tentara yang kompeten untuk melindungi Tenno, selain itu untuk mencegah terjadi pemberontak akibat kembalinya pemerintahan Tenno. Apalagi orang-orang yang disebut golongan reformis berada di dalam kelompok Samurai. Akibatnya dengan adanya penghapusan Samurai tersebut menimbulkan pemberontakan yang dikenal dengan pemberontakan Satsuma pada tahun 1877.  Pemberontakan Satsuma selain karena penghapusan Samurai juga dikarenakan adanya peraturan penghapusan pedang Haito-Rei yang melarang Samurai untuk membawa ketana yang merupakan senjata para Samurai.
Ekonomi
Perekonomian pada masa Tokugawa masih sangat terbatas dan hanya bersifat perdagangan antar daerah dan barang- barang yang diperdagangkan hanya sebatas pada beras dan barang tekstil. Seperti telah diketahui pada masa pemerintahan Tokugawa pemerintahannya menetapkan untuk menjalankan politik isolasi begitu pun dalam hal perekonomian, terdapat larangan untuk berhubungan dan berdagang dengan orang asing. Tujuannya untuk memurnikan jepang agar tidak tercampur kebudayaannya dengan asing, tetapi justru diterapkan sistem politik osilasi tersebut mengakibatkan masyarakat jepang menjadi terisolasi dari pergaulan dari dunia  internasional dan perekonomian Jepang kurang dapat berkembang. Hal tersebut dilakukan terutama karena sikap samurai yang memandang rendah akan segala hal yang berkaitan dengan uang termasuk di dalamnya perdagangan. Maka dengan adanya restorasi Meiji telah memberikan kesempatan pada Jepang untuk berkembang dan melakukan pembaharuan. Pembaharuan yang paling utama dilakukan adalah penghapusan sistem feodal yang diterapkan selama masa pemerintahan Tokugawa.
Pembaharuan yang dilakukan oleh Jepang juga adalah dalam industry. Dalam hal ini Jepang mulai meniru sistem pendidikan dunia barat dengan menerapkan sistem moneter dan sistem pajak yang menungkinkan untuk berkembangnya kaum pemodal atau kapitalis. Modernisasi dalam industry dilakukan dengan memodernisasi mesin-mesin produksi yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan. Dengan adanya perkembangan industry tersebut menimbulkan golongan baru yaitu kapitalis yang berkuasa di bawah militer.
Akibat modernisasi Jepang dalam bidang ekonomi adalah sebagai berikut :
a.       Industry jepang semakin berkembang dengan pesat
b.      Jumlah penduduk semakin bertambah sementara luas lahan semakin sempit (ledakan penduduk)
c.       Sebagai Negara yang merasa telah maju timbul keinginan untuk mengikuti Negara barat yaitu bersaing untuk mendapatkan daerah jajahan yang akan digunakan sebagai daerah pemasok hasil industry dan sebagai daerah yang menyediakan bahan baku untuk industry
Sosial dan Pendidikan
Selain membawa perubahan terhadap politik, ekonomi, maupun militer restorasi meiji juga telah membawa perubahan terhadap pendidikan di Jepang. Anak-anak pada masa ini telah mendapatkan pendidikan ala barat yang tidak pernah ada ketika kepemimpinan Shogun. Akibat modernisasi tersebut telah memberikan pengaruh terhadap pendidikan. Telah dilakukan sistem pendidikan baru yaitu kewajiban belajar bagi semua penduduk yang di mulai pada anak usia 6 tahun. Pertama-tama kewajiban belajar tersebut hanya berlangsung 4 tahun tapi kemudian diberlakukan menjadi 8 tahun. Salah satu hal yang paling penting adalah pertukaran pelajar ke luar negeri untuk menyempurnakan ilmu pengetahuan. Dan mereka harus kembali ke Jepang dan mengamalkan apa yang telah ia dapat di luar negeri untuk modernisasi di jepang. Dalam bidang sosial masyarakat jepang diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial.