Rabu, 15 Februari 2012

NAMA : Reza Rynaldy Prasetya
NIM       : 0705491
 
Teori struktural fungsional dalam perkembangan perekonomian Afrika
Sosiologi-Antropologi Pembangunan di Afrika
Modernisasi merupakan suatu konsep yang menggambarkan perubahan tatanan sosial yang dulunya telah mapan. Entah revolusi dalam hal pemikiran, kebudayaan, ilmu pengetahuan, atau bahkan teknologi. Istilah ini mulai menjadi mode setelah Perang Dunia II, seperti yang dikatakan Sosiolog dari Jerman ;
Modernisasi merupakan satu istilah yang menjadi mode setelah perang dunia II. Meskipun pengertiannya samar-samar, istilah kita bermanfaat oleh karena ia cenderung untuk membangkitkan asosiasi-asosiasi pikiran yang serupa pada pembaca-pembaca di zaman ini. Mungkin yang pertama terbayang dalam pikiran adalah apa-apa yang berkaitan dengan teknologi zaman sekarang, dengan perjalanan jet-nya, penjelajah antariksanya, dan tenaga nuklirnya. Akan tetapi, menurut pengertiannya secara umum, perkataan ‘modern’ mencakup seluruh era sejak abad ke-18, ketika penemuan-penemuan seperti mesin uap dan mesin pemintal meletakan landasan teknik yang pertama bagi industrialisasi berbagai masyarakat. Transformasi ekonomi di Inggris bersamaan waktunya dengan gerakan kemerdekaan di jajahan-jajahan Amerika dan dengan terbentuknya Negara-negara dalam kancah revolusi Perancis. Oleh karena itu konsep ‘modern’ juga membangkitkan asosiasi dengan demokratisasi masyarakat, terutama hancurnya hak-hak istimewa yang turun temurun dan pernyataan tentang persamaan hak-hak warga Negara. (Bendix, 1970 ; 1)
 Dalam artikel ini saya menggunakan terori structural fungsional dari Talcot Parson. Yang dijelaskan dalam buku karangannya The Social System, dan karya berikutnya yang menguraikan fungsi berbagai struktur bagi dipertahankannya sistem sosial. Juga kajian mengenai fungsi struktur bagi dipecahkannya lima masalah: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, pemeliharaan pola dan pengendalian ketegangan (Turner, 1978:51).
Pada abad ke-19 masyarakat-masyarakat tradisional di Timur Tengah terbangun oleh pengaruh peradaban barat dan abruk karenanya. Barat tidak dapat mengganti nilai-nilai yang telah menghancurkannya itu, demikian pula jamahannya tidak banyak melampaui kelas-kelas atas dan menengah. Yang terakhir ini dengan sendirinya tidak dapat disamakan dengan kelas menengah di Barat. Kelas itu terdiri dari pagawai-pegawai pemerintah yang digaji dan tenaga-tenaga profesi. Kelas-kelas lainnya untuk bagian terbesar tidak terjamah, terutama kaum tani. Massa rakyat, pada hakikatnya, tetap mempertahankan banyak dari norma-norma dan bentuk-bentuk tradisional. Sejumlah masyarakat, meskipun tidak tradisional lagi, paling banter baru memasuki tahap transisi (peralihan). (Belling dan Totten, 1985:262)
Suatu proses modernisasi yang di alami Negara-negara berkembang seringkali merupakan tata usaha yang menyeluruh di segala bidang. Yang melibatkan mobilisasi sumber daya Nasional.secara tidak sadar Negara-negara baru mereka meniru model-model sosialis dalammenyusun program-program pembangunan mereka seperti contoh di Negara Aljazair dan Tunisia.
Apa yang dinamakan model Almond-Coleman (1960) bukan merupakan usaha yang pertama dalam ilmu perbandingan politik untuk menggarap masalah membandingkan system-sistem politik Barat dengan system-sistem tradisional dan peralihan, namun demikian ia merupakan satu tonggak jarak yang penting. Model itu, yang didasarkan atas model input-output yang sebelumnya dari David Easton (1957:383-400), mengambil kategori-kategori fungsionalnya dari system-sistem yang sudah maju, lalu menerapkannya pada daerah-daerah yang terbelakang.
Dengan menggunakan cara pendekatan structural fungsional, Almond-Coleman menghindari kesalahan untuk mengacaukan masalahnya dengan komitmen-komitmen ideology yang mungkin telah diadakan oleh negara-negara yang terbelakang. Mereka menggunakan pengukuran-pengukuran empiris bagi berbagai fungsi dan dengan begitu dapat menggolongkan mereka berdasarkan perbandingan di bidang pembangunan – tradisional, peralihan, dan modern. Akan tetapi, oleh karena diambil dari system-sistem yang sudah maju, kategori-kategori itu menimbulkan masalah-masalah yang serius, hingga ada pihak-pihak tertentu yang berusaha membetulkannya.
Fred W. Riggs (1957:23-116), umpamanya, dalam usahanya untuk mengadakan koreksi, telah mengembangkan sebuah model yang cocok dengan campuran antara tradisional dan modern sebagaimana yang ditemukan di negeri-negeri yang sedang berkembang. Menurut modelnya yang ‘prismatik’ itu, maka cirri masyarakat-masyarakat peralihan adalah bahwa mereka terletak sepanjang suatu continuum antara masyarakat yang fused dan masyarakat yang refracted. Yang pertama adalah masyarakat tradisional di mana satu struktur, seperti keluarga, suku, atau marga (klan), melakukan semua fungsi kemasyarakatannya. Dalam masyarakat yang kedua, yakni yang modern, terdapat struktur-struktur khusus untuk tiap fungsi, seperti gereja, masjid, sekolah, pemerintah, dan lembaga stratafikasi lainnya.
Riggs membahas masalahnya dalam sebuah sub-model administrative dari masyarakat prismatic, atau masyarakat peralihan, dan menamakannya dengan model sala (konsep serba guna sebagai prototype fungsi rumah atau keratin yang dijadikan pusat pemerintahan).dengan menggunakan sala sebagai tempat kedudukan administrasi baik dalam masyarakat yang fused maupun dalam masyarakat yang refracted. Riggs memberikan sususan dalam sala dalam masyarakat-masyarakat prismatic yang heterogen, formalistis, dan saling melimpahi. Heterogen mengandung implikasi satu campuran tradisional dan modern; formalistis, perbedaan antara peraturan dan praktek; dan saling melimpahi, apabila fungsi-fungsi modern dilakukan oleh struktur-struktur tradisional, seperti keluarga atau kelompok komunal. Belling dan Totten, 1985:264)
Sebagai satu alat heuristik, model prismatic itu menyingkapkan cirri campuran dari proses pembangunan. Jika diterapkan pada pengembangan sumber-sumber daya manusia, model itu menempatkan dalam hubungan-hubungan yang sebenarnya beberapa di antara masalah-masalah yang khas – dan yang menyebabkan frustasi – yang terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang.
Dalam kasus nagara-negara berkembang seperti Kenya, Ghana, Nigeria, Afrika Selatan, Kongo, Liberia, Somalia, Uganda, juga Rwanda, teori ini nampaknya membuat masyarakat belum bisa menyesuaikan diri. Khususnya dari aspek ekonomi, negara-negara di atas sangat memprihatinkan. Sebagai contoh, seperti yang ditulis oleh Dr. Mereda John Opio, Dekan Administrasi Dan Manajemen Bisnis Universitas Uganda ;
*Kenya: 30. 6% populasi tidak bertahan hidup hingga usia 40 tahun; 56% populasi tanpa persediaan air minum; 42% masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, dan 26% mempertahankan hidup dengan penghasilan kurang dari 1$ per hari.
* Ghana : 20. 6% orang-orang bukan diharapkan untuk terus hidup ke 40; 75% tidak punya akses jasa kesehatan, 68% tidak punya akses penjagaan kesehatan; 31. 4% kehidupan di bawah garis kemiskinan nasional, sementara 78.4% mempertahankan hidup kurang dari 1$ per hari.
*Nigeria : 33. 3% bukan diharapkan untuk hidup ke 40; 51% tidak punya akses untuk menyimpan air minum; 59% kurang mendapatkan jasa kesehatan; 70. 2% mempertahankan hidup kurang dari 1$ per hari, sementara 43% hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
*Afrika selatan : 25. 9% populasi bukan diharapkan untuk terus hidup ke 40; 13% adalah tanpa akses untuk menyimpan air dan penjagaan kesehatan; 11. 5% mempertahankan hidup kurang dari 1$ per hari.
*Uganda : 45. 9% bukan diharapkan untuk terus hidup ke 40; 54% tidak punya akses untuk menikmati air minum; 29% tidak punya akses jasa kesehatan; 43% tidak punya akses kesehatan; 36% mempertahankan hidup kurang dari1$ per hari, sementara 55% hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
Negara-negara berkembang seperti itu adalah satu dunia dengan perampasan luar biasa, tekanan kemelaratan dan kekacauan integritas. Masalah lama masih menjadi persoalan utama bangsa. Kemiskinan, kelaparan, pelanggaran hak-hak asasi manusia, minim dari daya tarik wisatawan sebagai penuymbang devisa juga penindasan pada kaum peremuan. Selain itu, ancaman dari kaum separatis yang selalu meneror keamanan negara menjadikan perekonomian dan fungsi struktural masyarakat terganggu.  Walaupun kekacauan seperti ini dapat diamati seperti halnya di negara-negara lemah Asia, Eropa dan Amerika, keadaan tampak lebih parah untuk negara-negara Afrika. (John Opio:2000)
Termasuk peningkatan perang saudara dan seringnya terjadi peperangan antar masyarakat telah mengarahkan Afrika ke dalam satu pandangan pada perselisihan serius.seperti Negara Somalia, Liberia, Rwanda dan Kongo, dan kegagalan umum dari rencana pembangunan nasional sepanjang benua.selama satu dasawarsa terakhir.


DAFTAR PUSTAKA
Bendix, Reinhard. 1970.Tradition and Modernity Reconsidered. California. University of California.
Turner, Jonathan.1978. Handbook of Sociological Theory. New York. Kluwer Academic/Plenum Publishers.
Totten, dkk. 1985. Modernisasi: Masalah model pembangunan. Jakarta. Yayasan ilmu-ilmu sosial.
Colemant, James.S. 1960. The Politics of the developing areas. Princeton; Princeton Unversity Press.
Easton, David. 1957. An approach to the analysis or political systems. New York; New York Press.
Riggs, Fred.W. 1957. Agrarian and industrial; toward a typology of comparative administration. Bloomington; University of Indiana Press.
John Opio, 2000. Pembangunan ekonomi & Pembangunan Bangsa di Afrika: Mencari satu Paradigma Baru (artikel).

Minggu, 05 Februari 2012

NAMA: VEBRI AHMAD. S NIM : 0800965


Judul :
Peranan Chaebol terhadap pembangunan Perekonomian Korea Selatan
1960 – 2002
Penyaji ;
Nama               :Vebri Ahmad Sodikin 
Nim                 :0800965
Korea adalah sebuah semenanjung yang di Asia Timur (di antara Tiongkok dan Jepang). Korea terbagi menjadi dua negara, yakni Republik Korea (Korea Selatan) dan Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara) setelah Perang Dunia II pada tahun 1945. Korea Selatan kemudian berkembang menjadi negara demokratis sementara Korea Utara berhaluan komunis. Bangsa Korea tergolong ras kulit kuning (Mongoloid) dan rumpun Altai-Tungusik. Luas Republik Korea adalah 99.274 km2, lebih kecil dibanding Korea Utara. Keadaan topografinya sebagian besar berbukit dan tidak rata. Pegunungan di wilayah timur umumnya menjadi hulu sungai-sungai besar, seperti sungai Han dan sungai Naktong. Sementara wilayah barat merupakan bagian rendah yang terdiri dari daratan pantai yang berlumpur. Di wilayah barat dan selatan yang terdapat banyak teluk terdapat banyak pelabuhan yang baik dan strategis seperti Incheon, Mokpo, Gwangyang dan Busan.
Korea Selatan memiliki sekitar 3.000 pulau, sebagian besar adalah pulau kecil dan tidak berpenghuni. Pulau - pulau ini tersebar dari barat hingga ke selatan Korea Selatan. Pulau Jeju yang terletak sekitar 100 kilometer di bagian selatan Korea Selatan adalah pulau terbesar dengan luas area 1.845 km2. Gunung Halla adalah gunung berapi tertinggi sekaligus sebagai titik tertinggi di Korea Selatan yang terletak di Pulau Jeju. Korea Selatan adalah negara republik. Seperti pada negara-negara demokrasi lainnya, Korea Selatan membagi pemerintahannya dalam tiga bagian: eksekutif, yudikatif dan legislatif. Lembaga eksekutif dipegang oleh presiden yang dipilih berdasarkan hasil pemilu untuk masa jabatan 5 tahun dan dibantu oleh Perdana Menteri yang ditunjuk oleh presiden dengan persetujuan dewan perwakilan. Presiden bertindak sebagai kepala negara dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan.
Pada masa akhir Dinasti Chosun dikembangkan Pelajaran nasional yang menyebabkan munculnya para kaum terpelajar yang disebut Kuk-Hak (Semacam kaum Gentry di China pada masa Dinasti Han) setelah ini kemudian muncul para sarjana yang mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa, kesenian serta membangun hubungan internasional dalam ekonomi dan politik. Pada perkembangan selanjutnya terjadi kontak langsung dengan Jepang di pulau Tsushima lalu di bukalah Waegwan (perumahan Jepang). Untuk mempermudah hubungan ini maka Korea menempatkan wedana di Dongnae (sekarang Busan), disinilah terjadi kegiatan jual-beli barang-barang ekonomi dengan para konglomerat Jepang yang disebut Zaibatsu (Sejarah Korea. Radio Korea Internasional, KBS, 1995: 124 – 136). Inilah awal mulanya Chaebol muncul di Korea walaupun sempat terputus akibat adanya imperialisme Jepang tetapi peran itu kembali setelah Perang Korea hingga masa modern saat ini.
Chaebol  secara bahasa artinya milyarder atau juga konglomerat. Perang Korea pada tahun 1950 – 1953 telah meghancurkan semua aspek-aspek sosial masyarakat Korea termasuk aspek ekonomi. Dalam perkembangan berikutnya, Korea Utara yang beraliran komunis menganut perekonomian sosialis dalam pembangunan negara mereka dan bersekutu dengan Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Sementara Korea Selatan yang bersekutu dengan Amerika Serikat menganut sistem ekonomi liberal dalam pembangunan perekonomian mereka.
Kondisi keadaan alam yang miskin sumber daya alam membuat Korea Selatan memulai pembangunan negara mereka dengan cara melakukan pinjaman utang luar negeri. Pembangunan ekonomi inilah yang kemudian melahirkan konglomerasi dalam sosial masyarakat Korea Selatan. Gejala itu mulai muncul pada tahun 1960-an, di awal masa pemerintahan Presiden Park Chung Hee pada tahun 1961. Untuk mempercepat pembangunan perekonomian Korea Selatan yang modern dan berorientasi industri, Presiden Park Chung Hee mengajak peran serta swasta, dalam hal ini perusahaan-perusahaan menengah yang berbasis perusahaan keluarga. Pemerintah memberikan berbagai macam fasilitas dan kemudahan serta kebijakan bagi para pengusaha menengah ini untuk mendapat kredit pinjamian luar negeri serta menjamin iklim usaha yang menguntungkan. Pemerintah Korea Selatan membuat kebijakan yang menguntungkan para pengusaha dan perusahaannya dan membuat perusahaan-perusahaan terutama konstruksi yang telah berdiri sebelum adanya Perang Korea, seperti Samsung (1938), LG (1947), KIA dan Hyundai (1947) seolah mendapat kesempatan untuk mendapat keuntungan yang besar dengan adanya kebijakan dari Park Chung Hee saat itu dan melahirkan perusahaan keluarga berbasis konstruksi lainnya, antara lain Daewoo, Ssang Yong (1967), Lotte (1969) dan sebagainya. Chaebol merupakan salah satu komponen bangsa Korea yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan Korea Selatan yang menjadikannya sebagai sebuah negara yang maju dan sangat diperhitungan di kawasan Asia Pasifik dan dunia. Korea Selatan memiliki ekonomi pasar dan menempat urutan kelima belas berdasarkan PDB. Pasar bebas adalah pasar ideal, dimana seluruh keputusan ekonomi dan aksi oleh individu yang berhubungan dengan uang, barang, dan jasa adalah sukarela (Apridar, 2009: 19). Sebagai salah satu dari empat Macan Asia Timur, Korea Selatan telah mencapai rekor ekspor impor yang memukau, nilai ekspornya merupakan terbesar kedelapan di dunia. Sementara, nilai impornya terbesar kesebelas. Kemajuan ekonomi ini dikenal dengan nama Keajaiban di Sungai Han (http://id.wikipedia.org/wiki/korea).  
Di sisi lain Chaebol  menyebabkan jatuhnya perekonomian Korea Selatan dengan adanya krisis finansial Asia 1997 membuka kelemahan dari model pengembangan Korea Selatan, termasuk rasio utang yang besar, pinjaman luar yang besar, dan sektor finansial yang tidak disiplin menyebabkan banyaknya kebangktutan perusahaan-perusahaan dan para Chaebol pun akhirnya tidak bisa menggerakkan usahanya karena tidak memiliki modal lagi. Pertumbuhan jatuh sekitar 6,6% pada 1998, kemudian pulih dengan cepat ke 10,8% pada 1999 dan 9,2% pada 2000. Pertumbuhan kembali jatuh ke 3,3% pada 2001 karena perlambatan ekonomi dunia, ekspor yang menurun, dan adanya persepsi bahwa pembaharuan finansial dan perusahaan yang dibutuhkan tidak tumbuh. Perekonomian Korea Selatan mulai bangkit pada awal tahun 2002 dan para Chaebol pun turut serta menstabilkan ekonomi Korea Selatan karena diantara perusahaan yang bangkrut akibat krisis finansial 1997 masih ada yang bisa bertahan, diantaranya Samsung, LG, Hyundai dan KIA Motors untuk kembali membangun ekonomi Korea Selatan yang sempat tidak stabil akibat krisis.
   Dampak yang di timbulkan dengan adanya chaebol terhadap ekonomi korea selatan.
Pembangunan perekonomian yang dikuasai oleh kaum chebol ini tentu saja mempunyai dampak positif dan negatif bagi bangsa Korea. Eksistensi dan peran Chaebol sangat menentukan, terutama setelah krisis finansial Asia pada 1997. Para chaebol juga pernah terlibat skandal punya yang melibatkan Presiden Kim Dae-jung dan Roh Moo-hyun. Artinya, mereka masih memiliki peran penting dalam politik domestik dan global tidak hanya dalam ekonomi.
   A. Dampak Positif.
1.      Menggantarkan Korea sebagai industri baru di Asia dan Pasifik dan dunia.
2.      Besarnya GDP dan pendapatan negara itu naik drastis.
3.      Infrastruktur dan kemajuan teknologi berkembang dengan pesat.
4.      Menggerakkan semangat wirausaha di kalangan masyarakat Korea Selatan.
5.      Mampu melahirkan banyak perusahaan baru yang bergerak diberbagai bidang usaha.
   B.  Dampak Negatif
1.      Menjadi salah penyebab utama krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997.
2.      Terjadinya KKN.
3.      Memusatnya kemakmuran pada sekelompok elit saja.
4.      Banyaknya kredit macet yang dibuat oleh group chebol ini.

Analisis pembahasan :
Nama                           : M. Sadudin
Nim                            : 0800968
      Perang saudara di Korea pada tahun 1950 – 1953 telah meghancurkan dan memporak-porandakan semua aspek-aspek sosial masyarakat Korea, termasuk aspek ekonomi. Dalam perkembangan berikutnya, Korea Utara yang beraliran komunis mengusung perekonomian sosialis dalam pembangunan negara mereka dan bersekutu dengan Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Sementara Korea Selatan yang bersekutu dengan Amerika Serikat menganut sistem ekonomi liberal dalam pembangunan perekonomian mereka.
      Korea sendiri dengan kondisi keadaan alam yang miskin sumber daya alam membuat Korea Selatan memulai pembangunan negara mereka dengan cara melakukan pinjaman utang luar negeri. Pembangunan ekonomi inilah yang kemudian melahirkan konglomerasi atau yang disebut juga dengan (chaebol) dalam sosial masyarakat Korea. Gejala itu mulai muncul pada tahun 1960-an, di awal masa pemerintahan Presiden Park Chunghee pada tahun 1961.
      Untuk mempercepat pembangunan perekonomian Korea yang modern dan berorientasi industri, Presiden Park Chunghee mengajak peran serta swasta, dalam hal ini perusahaan-perusahaan menengah yang berbasis perusahaan keluarga. Pemerintah memberikan berbagai macam fasilitas dan kemudahan serta kebijakan bagi para pengusaha menengah ini untuk mendapat kredit pinjamian luar negeri serta menjamin iklim usaha yang menguntungkan. Pemerintah Korea membuat kebijakan yang menguntungkan para pengusaha atau perusahaan tersebut ini. Inilah yang kemudian yang disebut dengan (chaebol).
      Tetapi disisi lain Chaebol  menyebabkan jatuhnya perekonomian Korea Selatan dengan adanya krisis finansial Asia 1997 membuka kelemahan dari model pengembangan Korea Selatan, termasuk rasio utang yang besar, pinjaman luar yang besar, dan sektor finansial yang tidak disiplin menyebabkan banyaknya kebangktutan perusahaan-perusahaan dan para Chaebol pun akhirnya tidak bisa menggerakkan usahanya karena tidak memiliki modal lagi.
Meskipun tiga presiden terakhir (Kim Young-sam, Kim Dae-jung, dan Roh Moo-hyun) telah mencoba untuk merombak Chaebol; terutama setelah krisis finansial Asia pada 1997; mereka tetap memainkan peranan penting dalam ekonomi nasional.



Daftar Pustaka

__________ , (1995). Sejarah Korea. Seoul: Radio Korea Internasional, KBS. National Institute for International Education Development, Ministry of Education of Korea.
__________ , (2008). Fakta-Fakta tentang Korea. Seoul: Pelayanan Kebudayaan dan Informasi kementrian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata.
Apridar, (2009). Ekonomi Internasional: Sejarah, Teori, Konsep, dan Permasalahan dalam Aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Woo-Keun, Han. (1970). The History of Korea. Seoul: Eul-Yoo Publishing Co,.Ltd.
Sung-Nyong, Lee. (1970). Korean Studies Today. Seoul: Institute of Asian Studies, Seoul National University.
Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.