Jumat, 27 Januari 2012

STAGNASI PEMBANGUNAN DI PAPUA


Dicki Mahardika N. (0800956)
Noor Egie A. (0800961)

STAGNASI PEMBANGUNAN DI PAPUA

Gambaran tentang Pembangunan di Papua
Secara etno-biologis, Penduduk Papua merupakan sebuah suku bangsa yang memiliki pertalian etnis tersendiri yang berbeda dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Orang-orang Papua berasal dari etnis Melanesia yang banyak dijumpai disekitar Papua, Papua Nugini, dan daerah sekitar kepulauan Pasifik.  Papua yang terletak di ujung Timur Indonesia, hidup terisolir dan jauh dari kontak dengan kemajuan atau modernisasi. Kenyataan menujukkan bahwa situasi dan kondisi yang kurang kondusif membuat masyarakat berada dalam taraf hidup yang cukup memprihatinkan, seolah-olah mereka lah pemilik keterisolasian dan kemiskinan.
Pada saat ini sebagian besar orang Papua yang masih berbusana sederhana sebagai simbol keterbelakangan menurut stigma masyarakat yang merasa modern,  dengan mengatakan masyarakat Papua sebagai penduduk primitif, manusia jaman batu, kaum peramu, penduduk terasing dan masih banyak lagi stigma yang diberikan. Ada ciri-ciri khusus yang menandai kegagalan pembangunan di Papua diantaranya adalah :
·         Papua merupakan salah satu daerah yang terpencil jauh dari pusat pemerintahan RI, dengan laut dan pantai, topografi yang kasar, memiliki iklim tropis basah yang puncak pegunungannya selalu ditutupi salju abadi, diselimuti hutan dan hujan tropik basah dan hujan berekologi alpenik.
·         Jumlah penduduknya kurang banyak, yakni hanya 1 % dari penduduk Indonesia. Di tahun 1969 jumlah penduduk Papua sebanyak 800.000 dan di tahun 2007 jumlah penduduk asli Papua sebanyak 1,6 juta jiwa. Artinya kurang lebih 40 tahun mengalami minimizing zero growth. Mereka bermukim terpencar, hidup dalam sistem kesukuan dan terpencil di lereng-lereng gunung, lembah-lembah serta celah-celah gunung yang sulit di jangkau bahkan jauh dari pusat-pusat pelayanan pemerintah.
·         Kondisi sosial ekonomi mereka sangat memprihatinkan yakni kondisi perumahan sangat darurat hidup dalam honai/ owa, pola konsumsi sangat tidak teratur, sebagian besar dari mereka nyaris tanpa busana, dengan hanya mengenakan koteka, dan pola perekonomiannya subsistem.
·         Kondisi sosial masyarakat pada umumnya masih sederhana, tingkat pendidikan relatif rendah, tinggat kesehatan dan gizi rawan, dan tingkat penguasaan teknologi yang rendah.
·         Pengembangan perekonomian rakyat di daerah ini umumnya belum maksimal, karena kurangnya wawasan berpikir juga penyadaran pada masyarakat, termasuk dengan kurangnya insfrastruktur perhubungan darat dan udara disamping letaknya sangat jauh dari perkotaan, yaitu di daerah pedalaman yang terisolir dan terpencil. Seluruh jaringan transportasi dilakukan melalui udara. Tersendatnya pembangunan jalan trans Papua belum memberi dampak yang positif, terutama mobilisasi penduduk baik urbanisasi maupun reurbanisasi, mobilitas barang dan jasa.


Masalah utama Kegagalan dalam Pembangunan di Papua
Jika kita melihat kembali akar permasalahan di Papua maka secara substansial adalah masalah kemerdekaan, baik persoalan kemerdekaan secara politis maupun juga merdeka dari 5 K (Kemiskinan, Kebodohan, Keterbelakangan, Ketelanjangan dan Kemerosotan moral). penyebab utama kegagalan pembangunan di Papua selama hampir setengah abad sejak berintegrasi dengan RI adalah sebagai berikut.
·         Persoalan Kemerdekaan Politik (Trauma Historisme)
Konflik politik di Papua ini tidak begitu saja muncul, yang tentu ada akar historisnya, dan akar historis tersebut tidak jarang bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan RI. Integrasi politik atas wilayah ini hingga kini masih belum mantap. Hal ini disebabkan karena klaim Indonesia dan Belanda baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi dipenuhi dengan sikap kooperatif antar penguasa demi kepentingan pembendungan ideologi komunisme internasional- yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua, tidak pernah melibatkan rakyat Papua dalam proses integrasi politik, dari setiap perundingan rakyat Papua bertindak sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi pelanggaran terhadap hak menetukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541 (XV)) tahun 1960, dimana pada waktu yang bersamaan di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu konsensus politik 1969 yang disebut PEPERA, termasuk pelaksanaan dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila yang berbeda dengan standar internasional (one man one vote) sesuai New York Agreement.
Pemerintah pusat beralasan bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup yang primitif, hal ini menurut masyarakat Papua merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri sehingga alasan dengan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Dari ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan itu, muncullah ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Dan sejak saat itu pemerintah pusat di Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni korporatisme negara dan rakyat Papua diliputi rasa ketakutan totaliter. Karena itulah sepanjang berintegrasi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui berbagai aksi kerusuhan, pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan yang semuanya ini objek/sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua) yang menurut mereka merupakan bagian integral dari sistem politik bangsa Indonesia, orang sawo matang, orang bule. Hal ini merupakan ekspresi rasa kekecewaan dan ungkapan kebencian dari trauma historisme daan sejarah penderitaan bangsa Papua (the history of sadness) terhadap pemerintah RI.

·         Persoalan Kemerdekaan Sosial Ekonomi (Disparitas Ekonomi dan Sosial)
Terdapat anomali antara masyarakat Papua dengan sumber daya alamnya yang tidak terhingga, masyarakat Papua merupakan masyarakat termiskin di abad ini. Indonesia sudah mulai menentukan tolak ukur kemiskinannya dengan kain kebaya dan batik, namun orang Papua (gunung) sedang berada dalam ketelanjangan dan keterisolasian (The stone age period society in 21t century) masyarakat jaman batu di abad ke dua puluh satu. Mengapa Papua harus diintegrasikan kalau Jakarta tidak sunggung-sungguh membangun daerah ini?
Pemerintah Pusat hanya memfokuskan perhatian pada pembangunan ekonomi dan sosial semata. Pembangunan sosial ekonomi dilaksanakan secara politis sejak tahun 1963-1969 dimasa transisi ada nuansa pembangunan seperti pendirian sekolah-sekolah, dari TK hingga perguruan Tinggi seperti Universitas Cendrawasih, pembangunan sarana dan prasarana infrastuktur, pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos pemerintahan. Bahkan Gubernurnya diberikan kepada putra asli Papua yang tidak pernah orang Papua merasakan pada jaman Belanda. Namun seluruh kebijakan sosial ekonomi dikendalikan oleh militer dengan dalih keamanan dan pembangunan.

Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan keputusan akhir, pembangunan dengan program Task forces dengan bantuan dana Fundwi dan ADB namun dana tersebut dialokasikan ke dana pertahanan dan keamanan, sehingga dana pembangunan sosial ekonomi sesungguhnya diabaikan. Karena itu tidak mengherankan sampai pada tahun 1996 77% desa di Irian Jaya berada dibawah garis kemiskinan dan menjadi desa binaan program IDT dan pada tahun 2005 hampir 85 persen penduduk Papua miskin.

Sebagian besar orang Papua adalah bertani dan sebagian tanah pertanian telah dikavling-kan oleh para penguasa, seperti pertanian seluas 8,65%, pemukiman penduduk 3,36%, sarana sosial budaya sebesar 1,75 %, Transmigrasi seluas 0,55% sedangkan penggunaan tanah untuk keperluan lainnya kurang dari 1%. Dengan demikian sebagian besar tanah di Papua dimiliki oleh negara seluas 1.528.277 ha 993,36%) sehingga rakyat mengalami kesulitan mencari tempat tinggal yang baik dengan pemukiman yang basah karena itu dikhawatirkan masa depan generasi selanjutnya yang akan merana diatas tanahnya sendiri. Disamping itu pembukaan industrialisasi dengan mengandalkan pada penggunaan teknologi canggih yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat lokal, pengiriman tenaga terampil dari luar Papua dengan mengesampingkan tenaga kerja lokal dibarengi pemberian kompensasi yang lebih kecil dari standar minimumnya menjadi faktor pemicu kesenjangan terutama dengan PT. Freeport Indonesia.

Implikasinya adalah pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi dengan pertimbangan masyarakat Papua yang berada pada kondisi stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan jumlah populasi seperti tingkat harapan hidup diperpendek, tingkat pertumbuhan diperlambat, angka kematian bertambah, epidemi penyakit merajalela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, termasuk sistem sosial budayanya menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang lalu.

Sikap Penduduk Lokal terhadap Tawaran Pembangunan
Salah satu konsekuensi logis kepemimpinan yang akomodatif menyebabkan kurang perhatian terhadap masyarakat lokal pada beberapa waktu dan saat ini lalu pemerintah dinilai gagal dan kurang menjawab tantangan dan substansi masalah. Ada beberpa hal yang sifatnya kontradiktif di Papua saat ini adalah :
·         Pembangunan fisik dengan pendekatan proyek mungkin sesuai dengan pandangan pemerintah saja, tetapi tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.
·         Rakyat dianggap hanya penting untuk mendukung tujuan pembangunan sesuai keinginan pemimpin serta dianggap telah menerima pembangunan yang telah dibangun.
·         Adanya gejala bahwa masyarakat tidak diharapkan untuk pembangunan karena pembangunan telah dipikirkan oleh pemimpin itu sendiri.
·         Adanya pemaksaan kehendak pembangunan kepada rakyat agar diterima dan dilaksaanakan dengan dalil ditumbuhkan dan ditingkatkan taraf hidup masyarakat tanpa menciptakan keadaan untuk tumbuh dan berkembang sendiri.
·         Ada kecendrungan penduduk lokal yang tenggelam diantara harapan semata tanpa realita. Karena tidak terbiasa bertindak otonom terhadap situasi yang mereka alami.
·         Akibat pendekatan pembangunan yang keliru maka kemampuan adaptasi mereka pasif dan tanpa kritis, sikap open minded lebih dominan dari pada sikap kritisisme dalam menghadapi modernisasi.

Solusi
Pembinaan sumber daya manusia di Papua bukanlah persoalan bagaimana memberi pendidikan, meningkatkan keterampilan serta membekali mereka dengan IPTEK, bahkan sekedar tahu membaca dan menulis serta bebas dari penyakit dan kelaparan dan penciptaan suasana lingkungan hidup yang kondusif baik dalam pengertian sosial, ekonomi dan politik. Tetapi apa yang mereka harapkan adalah:
·         Menjadi masyarakat yang mandiri, menjunjung tinggi martabat dan harga diri, maupun menolong dirinya sendiri dan melihat jauh ke depan, dan menjadikan mereka menjadi pelaku pembangunan.
·         Kenyataan yang menujukkan bahwa stigmatisasi penduduk lokal oleh mereka yang dianggap telah maju, menyebutnya orang koteka, orang hitam, orang asli, orang primitif dsb. Kesalahan pemahaman ini dapat mengiring pikiran kita ke arah yang keliru dalam memahami masyarakat tersebut. Oleh karena itu walaupun alam pikiran masyarakat primitif ini memang lain dengan alam pikiran masyarakat modern. Namun akhirnya dalam setiap manusia dan semua pola sosial baik modern atau primitif akan kita temukan garis-garis yang sama dan susunan-susunan yang sama pula dalam dinamika sosial.

Kampung Adat Cireundeu


Fiqih Fauziah A. (0800966)
Andi Ahmad S. (0800971)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Kampung adat Cireundeu merupakan kampung adat yang berada di dalam Kota Cimahi. Walaupun berada dalam kota, kampung ini memiliki tradisi dan adat yang masih dipegang teguh dari leluhur mereka. Perilaku masyarakatnya juga masih mencirikan adat dan tradisi masyarakat kampung yang lainnya, seperti gotong royong, saling membantu, dan dalam mata pencahariannya pun bersama-sama, saling membantu satu sama lain. Masyarakat cireundeu memegang teguh prinsip “Teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat”.
Prinsip itulah yang mencirikan masyarakat adat kampung Cireundeu. Disisi kepercayaan, masyarakat di cireundeu memegang kepercayaan ateisme, mereka masih memegang kepercayaan dari leluhur mereka. Mereka menyebutnya ‘kuring’, karena merasa setiap ajaran yang mereka anut ini sebenarnya sama saja dengan agama lainnya seperti agama islam. Hal itu bisa dilihat dari pemahaman simbol warna dimulai kuning, putih, merah hitam, yang dimana dalam setiap warna itu bisa berhubungan dengan ciri dari sejarah manusia itu sendiri. Warna merah mewakili amarah, kuning mewakili angin, hitam mewakili tanah, dan putih mewakili air. Masyarakat adat ini menganggap bahwa manusia itu terwujud dari keempat unsur itu. Pada intinya mereka juga menganggap bahwa Tuhan mereka itu juga adalah Allah akan tetapi berbeda dalam hal peribadatannya.
Untuk kepercayaan, ternyata di kampung adat Cireundeu ini ada beberapa masalah yang bisa kami angkat atau tema-tema yang menarik yang berkaitan dengan kearifan budaya lokal masyarakat Cireundeu. Sehingga kelompok kami di  sini mencoba untuk mengangkat nilai-nilai budaya yang mengalami perkembangan ataupun penurunan nilai-nilai budayanya itu sendiri. Adapun rincian dari perkembangan kampung ini bisa diklasifikasikan ke dalam beberapa unsur, yang dimana unsur-unsur tersebut dimulai dari keseniannya, mata pencaharian, sistem teknologi, bahasa, dll. Kemudian kami dapat melihat juga hasil budaya masyarakat setempat yang berkaitan dengan bentuk rumah masyarakat yang mengalami pergeseran nilai oleh perkembangan zaman.

1.2  Rumusan dan Batasan Masalah
Dalam makalah ini, kelompok kami mencoba mengangkat sebuah permasalahan utama dimana hal itu yaitu PEMBANGUNAN DI KAMPUNG ADAT CIREUNDEU” dan untuk menjawab rumusan masalah diatas tersebut,penulis membatasinya dalam beberapa pertanyaan yang saya buat dan hal itu ialah:
1.      Bagaimana proses pembangunan di kampong Cireundeu?
2.      Faktor-faktor apa sajakah yang jadi pendukung dan penghambat pembangunan kampung Cireundeu?
3.      Keunikan yang apa sajakah yang terdapat di kampong Cireundeu?

1.3  Tujuan Penelitian
Dari hasil rumusan dan batasan masalah dalam penelitian ini, maka tujuan dari penelitian ini ialah sebagai berkut:
1.      Melihat proses pembangunan yang telah di bangun oleh kampung Cireundeu.
2.      Melihat faktor-faktor yang jadi pendukung dan penghambat pembangunan kampung Cireundeu.
3.      Melihat keunikan-keunikan yang terdapat di kampung Cireundeu.



1.4  Sistematika Penulisan
1.5   
Untuk menguraikan isi dari makalah ini, kami membuat sistematika penulisan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi makalah. Dimulai dengan kata pengantar dan daftar isi kemudian dilanjutkan dengan Bab 1 Pendahuluan, Bab 2 Pembahasan, Bab 3 Kesimpulan, dan terahir Daftar pustaka.

1.      Dalam Bab 1 Pendahuluan, berisi latar belakang masalah yang menjadi pendorong dibuatnya makalah ini, rumusan masalah sebagai batasan kajian, tujuan penulisan makalah yang ingin dicapai dari penulisan,  dan sistematika penulisan.
2.      Dalam Bab 2  pembahasan, berisi tentang pembahasan yang jadi acuan yaitu tentang PEMBANGUNAN DI KAMPUNG ADAT CIREUNDEU.
3.      Dalam Bab 3 Penutup, merupakan bab penutup dalam makalah ini. Pada bagian ini, tim penulis menyimpulkan uraian sebelumnya dan mengambil makna dari kajian yang telah tim penulis bahas dalam bab sebelumnya. Dan kelompok kami menggunakan cara/metode observasi dan wawancara.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pembangunan Kampung Adat Cireundeu
Kampung Cireundeu merupakan salah satu lokasi yang terletak dikelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi, hal ini berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Cimahi. Kampung Cireundeu terletak diperbatasan kota Cimahi dengan Kabupaten Bandung Barat tepatnya dengan Kecamatan Batujajar.  Jarak dari kampung Cireundeu ke Kelurahan Leuwigajah -/+ 3 Km dan 4 Km ke kecamatan serta 6 Km ke kota atau Pemerintah Kota Cimahi, dengan keadaan topografi datar, bergelombang sampai berbukit. 
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga kampung. Mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara,  sebagian masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya, makanan pokoknya nasi yang terbuat dari singkong atau dikenal dengan nama “ Rasi “atau beras singkong, bahkan diversifikasi produk makanan yang berbahan dasar  singkong tersedia di kampung ini.
Kampung Cireundeu adalah model salah satu kampung yang sebagian besar penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya akan beras sebagai makanan pokok sehari-hari.  Singkong adalah pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan warganya dari krisis pangan yang telah terjadi.  Sampai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan kekurangan kebutuhan akan makanan pokok.  Singkong di kampung Cireundeu dapat dibuat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat dijadikan sebagai contoh yang bisa diimplementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata Program Ketahanan Pangan.
Potensi kegiatan pengolahan singkong yang dilakukan oleh warga Kampung Cireundeu dapat memberikan banyak manfaat, salah satunya dapat meningkatkan perekonomian warga kampung secara signifikan dibandingkan dengan hanya menjual singkong dalam kondisi bahan mentah. Pola makanan pokok kampung Cireundeu mudah-mudahan dapat dijadikan contoh dan disosialisasikan ke khalayak umum di seluruh wilayah Indonesia.  Sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat terwujud, agar kita dapat terbebas dari krisis pangan yang selalu menghantui masyarakat kecil khususnya, dengan sendirinya beban pemerintah akan subsidi pemenuhan beras akan berkurang.
2.2 Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat tetap bertahannya nilai-nilai kearifan budaya lokal
a) Faktor pendukung
·                     Kepala adat dan penduduk adat yang masih ada.
·                     Kondisi lingkungan yang masih belum terlalu terbawa arus industri.
·                     Kondisi tanah yang lumayan subur dan agraris untuk di Tanami singkong sebagai sumber makan pokok kampung cireundeu.
·                     Peninggalan-peninggalan leluhur yang masih di jaga dan di rawat dengan baik.
·                     Penduduk adat yang masih teguh memegang aturan adat.
b) Faktor penghambat
• Palsafah hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka
• Perkembangan zaman atau pengaruh moderenisasi
• Letak wilayah kampung adat ini yang sangat strategis
•Regenerasi yang mengalami perkembangan dan penurunan.

2.3 Beberapa keunikan kampung Cireundeu, diantaranya sebagai berikut :
1.      Karakteristik Makanan Pokok Kp. Cireundeu
Masyarakat Kampung Cireundeu pada umumnya telah terbiasa dengan  kegiatan budidayaan tanaman singkong, dari mulai proses pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pembuatan beraneka ragam jenis makanan yang berbahan dasar singkong, salah satunya adalah “Rasi” atau beras singkong.  Hal ini telah dilakukan sejak lebih dari 80 tahun, dan merupakan keseharian masyarakat kampung Cireundeu hingga saat ini. Dalam kehidupan keseharian penduduk kampung Cireundeu dapat dikatakan sudah mandiri pangan dalam hal makanan pokok, sehingga tidak terpengaruh oleh gejolak sosial terutama pada harga beras. Taraf ekonomi masyarakat kampung Cireundeu sudah tidak ada yang kekurangan, dalam hal mengkonsumsi beras singkong bukan disebabkan oleh kondisi ekonominya tetapi disebabkan karena tradisi yang dianutnya.
2.      Budaya dalam Bertani
Masyarakat kampung ini masih mempertahankan budaya lokal bercocok tanam secara tradisional, baik dalam hal teknik bertanam hingga penggunaan pupuk alami. Selain itu mereka pun termasuk masyarakat yang mandiri pangan, yaitu menanam beragam tanaman mulai dari bahan makanan pokok, sayuran, hingga obat-obatan.
3.      Budaya dalam beternak
Di bidang peternakan masyarakat adat kampung Cireundeu mengusahakan ternak domba dan ayam.  Populasi ternak di kampung Cireundeu yang paling dominan adalah ternak domba yakni sekitar ............ekor, sedangkan ternak ayam hanya sekitar ....... ekor.  Hal ini karena ternak domba dapat dimanfaatkan untuk penggunaan limbah singkong berupa kulit dan daunnya  sebagai makanannya.
4.      Agroindustri yang sedang berjalan
Agroindustri yang sedang berjalan di kampung Cireundeu berupa pengolahan diversifikasi produk makanan yang berbahan dasar singkong, diantaranya pembuatan rasi, kerupuk aci, opak singkong, ranggining, aci singkong, tape gendul, peuyeum mutiara, isrud, ciwel, sorandil,kecimpring, awug, katimus dan gegetuk. Saat ini dilakukan di beberapa lokasi dan rumah penduduk jadi belum ada tempat khusus / pabrik pengolahan yang tersentralisasi.
Diversifikasi produk olahan dari bahan dasar singkong segar ini dapat dibuat menjadi Beras singkong (Rasi) dan kanji.  Selain itu limbah olahannya yaitu kulitnya dapat dijadikan nilai tambah yang sangat berarti untuk pakan ternak.
Di Kampung Cireundeu Kota Cimahi penganekaragaman produk olahan singkong sudah berjalan selama puluhan tahun. Produk olahan tersebut mempunyai nilai jual yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan singkong segar hasil panen.
Dengan adanya industri pengolahan tersebut, hasil proses produksinya dapat segera tersosialisasi kepada masyarakat umum., apabila hal ini terjadi akan mendorong tumbuhnya kemandirian pangan di lingkungan keluarga, masyarakat dan akhirnya ketahanan pangan nasional dapat segera tercapai.
5.      Alat Musik
Bale Saresehan digunakan sebagai pusat pagelaran seni sunda, pusat kegiatan masyarakat dan tempat berkumpul warga untuk mempererat silaturahmi antar warga. Di tempat ini pula terdapat Gamelan, Kecapi, Angklung Buncis, dan lain-lain. Semua alat – alat kesenian yang ada digunakan oleh sesepuh sebagai perantara untuk mewariskan nilai-nilai adat kepada generasi muda pada umumnya dan agar generasi muda tidak melupakan kesenian tradisionalnya sendiri pada khususnya.
1.      Pembuatan Karinding dan Celempung
Alat musik tradisional masyarakat Kampung Cireundeu  misalnya Karinding dan Celempung. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat budaya masyarakat terutama generasi muda agar tidak lupa akan kesenian tradisionalnya.
2.      Gamelan
Seperangkat alat musik tradisional ini terdiri dari Saron, Bonang, Goong, Gendang, Suling, dan Kecapi. Alat musik yang terdapat di Bale Saresehan ini sering dimainkan pada saat acara-acara tertentu, misalnya pada acara Hajatan atau Syukuran. Sedangkan Kecapi dimainkan pada saat menyambut tamu yang datang ke kampung ini. Latihan Gamelan dilaksanakan tidak teratur, hanya jika ada acara tertentu saja atau jika diperlukan.




BAB III
KESIMPULAN
Kampung Cireundeu dengan segala keunikannya tidak saja dikenal oleh lingkungan masyarakat Kota Cimahi, namun sudah dikenal luas karena mempunyai ciri khas dalam kehidupannya sehari-hari.  Salah satu keunikannya adalah makanan pokoknya singkong dan tanaman singkongnya pun menanam sendiri disekitar lokasi kampung.
Kampung Cireundeu menjadi suatu kampung yang hampir tidak pernah terpengaruh oleh gejolak sosial yang sering terjadi terutama mahalnya harga makanan pokok terutama beras.  Menurut hemat kami kampung Cireundeu telah menjadi Pilot Project dalam rangka melaksanakan program ketahanan pangan, terbukti bahwa masyarakat setempat makanan pokoknya tidak bergantung pada beras, dengan kata lain bahwa kampung Cireundeu sudah menjadi kampung yang Mandiri Pangan.







Selasa, 17 Januari 2012

Pembangunan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II

Pembangunan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II
Penyaji : Arif Nugraha (0705553)

A.                Perkembangan Pembangunan Ekonomi Jepang
Pada saat Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak sekutu tahun 1945, keadaan ekonomi sudah sangat terpuruk. Pada bulan Agustus 1945 produksi industri merosot sangat tajam, jumlahnya hanya merupakan persentase yang kecil jika dibandingkan dengan tingkat produksi di tahun sebelumnya. Produksi pangan yang sebelumnya dapat dipertahankan pada tingkat yang relatif tinggi, tetapi pada tahun 1945 turun sekitar 30%. Akibatnya pada akhir tahun 1945 terjadi krisis pangan yang berlangsung sampai awal tahun 1946. Kondisi tersebut diperparah dengan lumpuhnya aparat pemerintah dalam mengumpulkan dan mendistribusikan barang berdasarkan harga yang telah ditentukan. Kekalahan perang ini menghilangkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan menciptakan keadaan yang hampir mengarah pada anarki.
Pemboman sekutu telah menghancurkan sekitar 25% kekayaan nasional Jepang. Pemboman tersebut antara lain menyebabkan terjadinya kekurangan perumahan yang sangat luas di kota-kota besar Jepang. Lepasnya daerah-daerah jajahan menyebabkan hilangnya sumber-sumber alam yang sebelumnya dapat diperoleh Jepang untuk kepentingan dalam negerinya. Kondisi awal pasca PD II yang dialami Jepang dipersulit dengan pendudukan yang dilakukan pihak sekutu di negeri tersebut. Pihak sekutu menerapkan kebijakan non responsibility terhadap keadaan yang dialami Jepang pada awal pasca PD II.
Sekutu memberlakukan pelucutan senjata, liberalisasi, unifikasi wilayah dan desentralisasi ekonomi di Jepang. Sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat, menginginkan kemakmuran dan kekuatan ekonomi di Jepang saat itu tidak terkonsentrasi, tetapi harus lebih disebarluaskan (desentralisasi) dan dijadikan perusahaan publik dalam kerangka demokrasi.
Saat itu di Jepang ada 4 konglomerat-keluarga (zaibatsu) yang dikenal dengan “the big four”, dan 14 yang lebih kecil. Mitsubishi yang merupakan “the big four” pada saat itu harus tunduk pula pada aturan sekutu. Kemudian aset Mitsubishi dibagikan ke seluruh pekerja dan penduduk lokal dalam bentuk saham, sehingga pada tahun 1946 Mitsubishi berubah menjadi perusahaan independent. Pada kenyataannya perusahaan yang terdesentralisasi mengalami banyak kesulitan dalam permodalan, produksi, dan pendistribusian hasil produksinya, sehingga akhirnya mereka saling menggabungkan saham mereka dan membentuk group (keiretsu), menjadi Mitsubishi keiretsu atau Mitsubishi group.
Jadi secara historis, zaibatsu (konglomerat keluarga) yang muncul di era Edo dan berkembang di era Meiji, pada tahun 1946 harus berubah menjadi perusahaan publik yang pada perkembangannya berubah menjadi keiretsu (perhimpunan antara para pemegang saham). Perkembangan selanjutnya antara keiretsu ini saling bergabung dan menjadi komposisi perusahaan seperti yang ada di Jepang saat ini. Jadi bisa dikatakan bangsa Jepang memang telah memiliki skill tinggi sejak jaman Edo (1600-1867).
Pada perkembangan selanjutnya tahun 1946 pihak sekutu merubah kebijaksanaan yang sebelumnya bersifat non responsibility menjadi sikap mendorong perekonomian Jepang. Perubahan tersebut dapat terjadi karena Amerika Serikat yang pada dasarnya menentukan kebijaksanaan pendudukan sekutu di Jepang memiliki pandangan yang positif terhadap peranan Jepang di Asia pasca PD II. Dengan adanya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang merupakan perang pengaruh ideologi. Menyebabkan hubungan Amerika Serikat dengan Jepang semakin membaik, hal tersebut dikarenakan Amerika Serikat memiliki suatu keinginan bahwa Jepang dapat menjadi negara yang mampu menjadi kekuatan pengimbang terhadap komunisme di Asia.
            Setelah sekutu mengakhiri pendudukannya di Jepang, hubungan antara Amerika Serikat dan Jepang masih terjalin dengan baik. Hubungan yang terjalin dengan baik tersebut dibuktikan dengan adanya sistem Bretton Woods. Salah satu bagian dari sistem baru tersebut adalah General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang dibentuk berdasarkan anggapan bahwa perdagangan bebas adalah sarana terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bagi Jepang yang pembangunan ekonominya sangat tergantung pada perdagangan luar negeri, sistem ekonomi baru tersebut sangat bermanfaat dan berharga. Sistem tersebut tidak hanya memungkinkan Jepang meningkatkan volume perdagangan dan memperoleh manfaat yang lebih besar, tetapi juga meningkatkan efisiensi dengan ditempatkanya perusahaan-perusahaan Jepang ke dalam ajang persaingan Internasional dan memperluas pasar. Tetapi perusahaan yang berorientasi dalam negeri pun harus mengalami persaingan dengan adanya sistem tersebut, karena terjadinya liberalisasi impor dan pengurangan tarif impor. Namun Jepang dapat bersaing dalam hal tersebut dimana ekspor semakin dapat ditingkatkan dan impor dapat ditanggulangi dengan baik. Hal tersebut karena Jepang didukukng oleh SDM dan hasil produksi yang sangat berkualitas dan dapat bersaing dengan negara lain.
B.                 Faktor-Faktor Pendukung Pembangunan Ekonomi Jepang
Bangsa Jepang dari segi budaya menerapkan sistem kerja kolektif dan bukan merupakan bangsa yang senang meniru. Mereka selalu berusaha belajar dari kemajuan dan kesalahan bangsa lain tanpa harus mencontoh seutuhnya. Seorang ilmuan di Jepang benar-benar memiliki andil yang sangat besar dalam proses pembangunan bangsa. Ketika para ilmuan jepang belajar teknologi maupun perekonomian di Amerika maupun negara Eropa, saat studi tersebut selesai, mereka akan dengan bangga kembali ke tanah airnya dan menerapkan apa yang didapat dengan beberapa modifikasi keunikan sistem sosial dan sistem budaya yang mereka miliki.
Bangsa Jepang memiliki rakyat yang cukup nasionalis. Ekonomi modern berkembang secara simultan dengan identitas budaya nasionalnya. Banyak pengamat Barat menyebut bahwa identitas kebudayaan dan institusi sosial adalah embrio kapitalisme Jepang. Ilmuwan barat menjuluki kebangkitan perekonomian Jepang sebagai sebuah pengecualian menyimpang (anomaly) dan paradoksal.
Bagi ilmuwan Jepang teori ekonomi barat hanya dianggap sebagai “bahan baku.” dan bukan alat yang langsung bisa dipakai. Para perencana ekonomi Jepang tidak pernah percaya bahwa untuk menjadi negara maju, nilai-nilai tradisional harus dipinggirkan seperti yang terjadi di Barat. Mereka sangat percaya bahwa nilai nilai tradisional justru harus dipertahankan sebagai penyeimbang. Itulah kenapa bangsa jepang dapat tumbuh pesat secara perekonomian namun masih dengan ciri negara Timur yang khas. Life-time employment, seniority based system, dan traditional family system adalah contoh-contoh nilai dan institusi tradisionil Jepang yang dipertahankan.
Dengan adanya industrialisasi pada dasarnya tidak sesuai dengan masyarakat tradisional, karena industrialisasi memerlukan lembaga dan nilai-nilai baru. Tetapi industrialisasi yang terjadi di Jepang tidak menghilangkan nilai-nilai tradisional yang telah ada. Bahkan nilai-nilai tradisional yang telah ada tersebut tetap dipertahankan selama berlangsungnya kemajuan industri.
Keluarga tradisional memberikan dasar untuk lembaga ekonomi baru yang diperlukan oleh industrialisasi, sehingga perusahaan-perusahaan Jepang mencerminkan keluarga tradisional. Sebagaimana halnya anak-anak di dalam sebuah keluarga, maka para karyawan tetap bekerja di dalam satu perusahaan sampai mencapai usia pensiun. Bagi pimpinan perusahaan sulit memecat mereka seperti seorang ayah yang sulit menolak mengakui anaknya sendiri. Seperti halnya usia menentukan kedudukan seseorang dalam keluarga, usia itu pun memainkan peranan penting dalam menentukan kedudukan seseorang pada hirarki persusahaan. Hubungan ayah-anak ini diterjemahkan kedalam suatu bentuk hubungan kekeluargaan yang fiktif disebut sebagai oyabun-kobun. Dalam pabrik, mandor adalah oyabun dan bawahannya kobun. Tugas utama seorang oyabun adalah melatih dan mengawasi kobun, tetapi oyabun juga memiliki tugas yang sama pentingnya yaitu untuk memberikan perhatian terhadap keperluan emosional dan keperluan sosial kobun.
Dari tinjauan mikro, salah satu aspek yang mendorong keberhasilan Jepang dalam membangun sumberdaya manusia pasca perang dunia II adalah membudayakan sistem “Kerja Kelompok” (Team work). Yaitu suatu sistem dimana para insinyur Jepang dikirim ke Barat untuk belajar harus kembali ke Jepang dengan membawa ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian, ilmu dan teknologi yang mereka bawa harus diajarkan kepada semua anggota kelompoknya.
Sedangakan dilihat dari aspek makro pembangunan, Jepang memprioritaskan kebijakan pemerataan pembangunan. Diantara Negara-negara maju, Jepang adalah negara yang paling tinggi tingkat pemerataan hasil-hasil pembangunannya. Bukan hanya dari aspek pendapatan tetapi juga meliputi fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur-fisik, dan lain-lain. Rakyat jepang masa sekarang sudah menikmati fasilitas - fasilitas tersebut. Bahkan untuk daerah pedesaan di pegunungan, mereka mendapatkan fasilitas jalan, air minum dan listrik kurang lebih seperti di Tokyo, Kyoto, Osaka dan kota-kota besar lainnya.
Untuk sumber daya pembangunan, jepang memang berbeda dengan negara - negara maju lainnya. Bangsa Jepang sangat sedikit menggunakan sumberdaya yang berasal dari hutang luar negeri terutama pada dekade awal pembangunan industri. Sementara Negara-negara eropa seperti Belgia, Perancis, bahkan Rusia justru menggantungkan pada foreign capital (hutang luar negeri) yang difasilitasi oleh “British Capital” dan “French Capital” pada era tahun 1800-an.
C.                Kesimpulan
Jepang dalam pembangunan ekonominya tidak tergantung pada pinjaman utang luar negeri. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari ketergantungan terhadap negara atau badan yang memberikan pinjaman utang luar negeri tersebut. Sehingga Jepang dalam perkembangannya dapat mengembangkan model pembangunan ekonominya sendiri tanpa ketergantungan dengan negara lain. Jepang juga dalam pembangunan ekonominya sangat mengandalkan perdagangan luar negeri. Dengan dukungan SDM yang memiliki keahlian tinggi dan hasil produksi yang dapat bersaing di pasar dunia. Hal tersebut menyebabkan Jepang dapat bertarung dalam kancah perdagangan luar negeri sehingga dapat meningkatkan nilai ekspor negara tersebut.
Kemudian Jepang mampu mempertahankan nilai-nilai tradisional yang dinilai positif untuk bersama-sama berjalan dalam modernisasi. Hal yang dianggap sebagai nilai-nilai tradisional dalam teori modernisasi klasik dan dapat menghambat modernisasi, ternyata hal tersebut tidak terjadi di Jepang. Malahan Jepang mampu berkembang dalam modernisasinya dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional yang dianggapnya dapat memberikan sesuatu yang positif dalam modernisasi Jepang.
Tidak hilangnya nilai tradisional yang dimiliki bangsa Jepang dalam proses pembangunan yang sedang dilaksanakannya, merupakan sebuah bukti bahwa Jepang merupakan suatu negara yang sejalan dengan teori modernisasi baru. Karena pada teori modernisasi baru, aspek yang berkaitan dengan tradisi tidak dipandang sebagai penghambat pembangunan. Akan tetapi dipandang sebagai faktor positif yang tidak mempertentangkan dengan tajam antara nilai tradisional dan modern. Sehingga Jepang dapat dikatakan meruapakan suatu negara yang dapat membuktikan keberhasilan dari teori modernisasi baru.
Sumber Buku
Alvin Y. So, Suwarsono. (2000). Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta : LP3ES.
Budiman, Arief. (2000). Teori Pembanguan Dunia Ketiga. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Kunio, Yoshihara. (1983). Perkembangan Ekonomi Jepang. Jakarta : Gramedia

Sumber Internet
_____.(2011). Pembangunan Bangsa Jepang Pasca Perang DuniaII. [Online].Tersedia:http://kampekique.wordpress.com/2011/08/08/pembangunan-bangsa-jepang-pasca-perang-dunia-ii/ (27 Desember 2011)

Analisis Pembahas: Rizal Hamzah Saragih (0705628)
Kondisi yang terjadi pada Jepang pasca PD II mengakibatkan negara tersebut tidak dapat terlepas dari yang disebut dengan modernisasi yang dilakukan Amerika Serikat. Jepang sebagai negara yang perekonomiannya hancur dikarenakan kekalahan perang dan menyerah kepada pihak sekutu, mau tidak mau harus mengikuti setiap kebijakan sekutu. Sekutu yang sangat berpengaruh saat pendudukannya di Jepang adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat pacsa PD II merupakan negara yang menjadi contoh pembangunan bagi negara dunia ketiga dengan teori modernisasinya. Salah satu Teori Modernisasi adalah Teori Modernisasi Klasik beranggapan bahwa untuk mencapai kondisi modern, seluruh nila-nilai tradisional harus diganti oleh seperangkat struktur yang modern. Karena itu, Huntington (1976) menganggap bahwa antara nilai-nilai tradisional dan modern adalah hal  yang saling bertentangan. Dalam arti,  jika modernisasi ingin dicapai, maka nilai-nilai tradsional harus dirombak total alias dilenyapkan. Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir seluruh aspek perilaku sosial, termasuk industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi, sekularisasi dan sentralisasi pada satu tempat yang mengakibatkan terjadinya pengelompokan, sehingga modernisasi bercirikan keteraturan dan tidak dalam kondisi yang terpisah-pisah.
Namun yang menarik dari Jepang pasca PD II adalah negara tersebut walaupun melakukan modernisasi untuk pembangunan kembali negaranya yang hancur karena kekalahan PD II. Tetapi modernisasi yang mereka lakukan tidak menghilangkan atau melenyapkan nilai-nilai tradisional yang telah ada sebelumnya. Modernisasi yang mereka jalankan dapat berjalan beriringan dengan nilai-nilai tradisional yang telah ada di dalam kehidupan masyrakatnya. Sehingga saya sependapat dengan penyaji bahwa modernisasi yang Jepang lakukan pasca PD II adalah sejalan dengan Teori Modernisasi Baru dimana nilai-nilai tradisional yang telah ada tidak dihilangkan tetapi menjadi faktor positif untuk pembangunan ekonomi Jepang pasca PD II. Jepang yang sampai saat ini merupakan negara maju merupakan bukti dari keberhasilan Teori Modernsiasi Baru dalam menempatkan nilai-nilai tradisonal sabagai faktor positif pendukung modernisasi.